Share

Sepucuk Surat Cinta
Sepucuk Surat Cinta
Penulis: Virdiya

Bab 1

Suara keyword laptop mengganggu gendang telinganya. Tanpa sebab, hatinya kacau. Pikirannya kalut. Suasana kelas yang hangat tak bisa ia rasakan. Tugas yang seharusnya segera dikerjakan terbengkalai, karena sang empu hanya menatap kosong layar dihadapannya. Berbeda dengan teman-temannya.

Tak biasanya seorang Almahyra Batari tidak fokus saat mengerjakan tugas. Membuat beberapa dari mereka yang menyadari perubahan yang dialami perempuan berparas ayu itu sedikit bertanya-tanya.

 “Kenapa?”

Gadis itu hanya mendengus kesal, tak ada niatan menjawab pertanyaan laki-laki dihadapannya.

“Ra ... Hyra!” Dari luar dua temannya itu tampak heboh memanggilnya. “Ra, kamu dipanggil tuh ... suruh ke lobi, kamu habis buat masalah?”

Si pemilik nama mengernyitkan dahinya. “Kalian nggak salah denger? Nggak, aku nggak ada buat masalah ko.”

“Ya tadinya sih kita dengernya Haidar, eh pas di ulang ternyata Almahyra,” ungkap salah seorang dari keduanya.

Tak menunggu lama, langkahnya terayun ke lobi. Detak jantungnya semakin kencang, ia merasa ada yang tidak beres.

Benar saja, di ruang lobi tersebut ada seseorang yang ia kenal, amat sangat kenal.

“Almahyra itu ada bapak kamu mau bicara sebentar katanya,” jelas resepsionis.

Ia hanya membalas dengan anggukan.

Ditatapnya laki-laki paruh baya dihadapannya. Matanya memerah.

“Nak, kita bicara di luar ya?” ujarnya, “Bu, Almahyranya saya ajak bicara diluar sebentar ya, di depan lobi,” tambahnya pada resepsionis.

“Baik Pak, silahkan.”

Almahyra hanya mengekor di belakang, mengikuti setiap ayunanan langkah seseorang yang menyandang status sebagai bapaknya. Sedangkan Sastro, mencari tempat yang nyaman untuk bisa ngobrol dengan putrinya.

“Kamu janji ya, harus belajar yang bener. Dan kamu harus janji, jadi anak yang kuat, nggak boleh cengeng. Bapak pamit,” ungkapnya ketika ia telah menemukan tempat yang pas untuk duduk. Matanya berkaca-kaca, menahan sekuat tenaga untuk tidak luruh dihadapan putrinya yang masih berumur 15 tahun.

Almahyra tergugu, ternyata ini yang membuat hatinya sesak sedari tadi. Pikirannya semakin kalut. Ia tak bisa menutupi kesedihannya. Pertahanannya runtuh.

“Kemana?” tanya Hyra. Sosok yang selalu tampil hangat, ramah dan ceria. Dengan begitu cepat mengambil alih sisi lainnya yang dingin.

“Bapak belum tahu, tolong jaga ibu dan adikmu ya. Bapak kesini hanya ingin berpamitan padamu. Dan bapak nggak bisa lama-lama di sini. Bapak harus pergi.” Tangannya terayun menghapus butir bening yang jatuh di pipi putri tercintanya.

“Janji kalo air mata ini adalah yang terakhir untuk menangisi bapak,” ucapnya sekali lagi.

Setelah mengecup kening putrinya ia berlalu, meninggalkan Almahyra yang masih tidak percaya dengan keadaan yang dialaminya. Kenapa bapaknya tiba-tiba pamit, sebenarnya ada apa?

“Apa yang akan aku hadapi setelah ini? Ya Rabb tolong aku.”

Dengan mata yang masih memerah ia kembali ke kelas. Menunduk sepanjang koridor untuk menyembunyikan kesedihannya. Hancur, hatinya terluka. Semua terjadi secara tiba-tiba, karena kemarin sore keluarganya terlihat masih baik-baik saja.

“Begitu mudahnya engkau membolak-balikan keadaan ya Rabb, karenanya aku mohon mampukan aku untuk segera menyelesaikan permasalah ini. Aku yakin semua akan baik-baik saja, karena Engkau selalu ada,” gumamnya yang tak lain untuk meneguhkan hatinya, supaya bisa ikhlas dalam menghadapi kenyataan yang tak semanis ia bayangkan sebelumnya.

Tak butuh waktu lama, jarak antara lobi dan kelasnya yang cukup dekat memberi keuntungan tersendiri bagi gadis cantik yang lebih akrab dipanggil Hyra untuk segera mengakhiri rasa pedihnya. Sebelum masuk ke kelas ia membenahi diri, mengusap jejak air mata yang tadi ia buat, merapikan jilbabnya yang sedikit berantakan, dan tentunya ia menarik nafas panjang sebelum akhirnya mengembangkan senyum manisnya. Tidak ingin terlalu dalam meratapi masalah yang kini satu persatu akan menimpanya. Meskipun ia sendiri tidak tahu, sebesar apa masalah yang akan dihadapinya.

Perlahan dibukanya gagang pintu kelas, terlihat tidak ada guru yang sedang mengajar, karena setelah memberi tugas guru itu langsung pergi ke kantor. Beberapa pasang mata tertuju padanya.

“Ada yang salah?” tanyanya.

Mereka yang semula menatapnya pun menggelengkan kepala lalu melanjutkan aktifitasnya masing-masing, terkecuali Haidar. Dia bangkit dari tempat duduknya mendekat ke arah Hyra.

“Kenapa?” tanyanya, menelisik mata sembab perempuan dihadapannya.

“Tidak ada apa-apa!” ketusnya.

“Matamu merah, pasti habis nangis 'kan? Dan bisa nggak, kalo ngomong sama aku nggak usah jutek kaya gitu. Giliran sama yang lain aja senyum.”

Yang diajak ngobrol pun menunjukan deretan gigi dengan paksa, lalu pergi ke tempat duduknya tanpa meninggalkan sepatah kata pun.

“Sabar Haidar ... sabar, ingat tidak semua perempuan mudah ditaklukan,” desis laki-laki berkulit sawo matang.

Tidak ada yang tahu bahwa ia menyukai perempuan yang baru saja meninggalkannya, ia pandai menyembunyikan perasaan dan perhatiannya pada Hyra. Iya, selama ini Haidar selalu menunjukan perhatiannya pada Hyra tanpa sepengatahuan teman-temannya. Melalui chat misalnya. Diam-diam Hayra dan Haidar saling berkomukanisi melalui media virtualnya. Akan tetapi, di dunia nyata mereka saling mengasingkan diri seperti orang yang tidak kenal satu sama lain. Maaf, sepertinya bukan mereka, tapi Hyra saja. 

Di sekolah terutama kelas, ia tidak pernah menceritakan kedekatannya dengan Haidar. Bahkan berbicara dengan Haidar pun hanya seperlunya, seperti tidak ada ikatan yang ia dan Haidar bangun. Berbeda dengan Haidar, dengan sikap humorisnya yang dibumbui kejahilan ia pandai mengolah keadaan. Sesekali ia mencoba membuka pembicaraan dengan Hyra ketika bersama teman-temannya dengan diakhiri sebuah candaan. Sehingga tidak banyak yang mengira bahwa ada benih-benih asmara yang tumbuh dalam hatinya. Ke duanya saling menutup diri dan mereka punya caranya masing-masing untuk mengungkapkan isi hatinya.

“Ra, tadi dipanggil kenapa?” Putri, teman sebangku Hyra terlihat begitu cemas saat ia mendapati Hyra pulang dari lobi dengan wajah sendu.

“Tidak apa-apa,” balas Hyra menciptakan bulan sabit di kedua bibirnya.

“Kapan pun kamu mau, aku siap mendengar ceritamu. Terbukalah padaku Ra, aku sayang sama kamu,” papar Putri yang statusnya telah berubah menjadi sahabatnya kini berhambur memeluk Hyra.

“Iya,” jawabnya tersenyum.

Hyra bukanlah tipe orang yang ingin mengharap belas kasih atas keadaan apapun yang menimpanya. Sebisa mungkin ia menyembunyikan setiap rasa sakit yang diterimanya, menampilkan sosok kuat padahal sebenarnya rapuh. Dan hanya putri yang bisa merasakan sisi lain dari seorang Hyra. Ia tahu kapan Hyra sedang tertekan, sedih atau apa pun itu.

“Nantu pulang sama siapa? Bareng aja sama aku ya,” pintanya sembari melepas pelukannya.

Bayangan percakapan ia dan bapaknya terlintas kembali. Bapaknya pamit pergi, lalu setelah ini siapa yang akan antar-jemput sekolahnya?

“Bukannya beda arah?”

“Iya, tapi tidak apa-apa. Sekalian aku mau main ke rumah kamu.”

“Oke.”

Ketika bel pulang dibunyikan, Hyra dan Putri bergegas pulang menuju parkiran motor. Hyra yang berniat bonceng Putri, tiba-tiba melihat seseorang yang dikenalinya di depan gerbang.

“Put, aku nggak jadi nebeng sama kamu. Terus soal main, lain kali aja ya.”

“Iya, ya tapi kan ....” Belum sempat ia melanjutkan ucapannyaa, Hyra sudah pergi dengan tergesa-gesa.

“Aku tahu kamu sedang sedih Ra, makanya aku mau main ke rumah kamu. Supaya kamu bisa leluasa cerita sama aku, eh malah pergi gitu aja,” monolognya.

Putri yang melihat Hyra berbincang dengan seseorang di depan gerbang, memicingkan matanya memperjelas siapa yang dilihatnya.

“Itu siapa sih yang ngobrol sama Hyra?” Ketika ia akan melajukan motornya untuk menghampiri Hyra, Hyra sudah keduluan pergi bersama seorang laki-laki yang Putri taksir umurnya sekitar tiga puluhan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening cant wait to read the next chapter.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status