MEKAR BUNGA KHAS musim semi di luar sana tampak begitu indah, berbanding terbalik dengan suasana hati seorang perempuan pirang yang tengah duduk di sebuah kursi restoran makanan tradisional. Lampu lampion gantung dan dekorasi klasik berupa tumbuhan sintetis menghiasi tempat makan mahal itu. Meja dan kursi berjejer rapi, hanya terisi oleh beberapa pengunjung saja. Dinding ruangan berupa kaca, memperlihatkan mekar bunga sakura di halaman sana.
Mewah dan elegan merupakan kata-kata yang tepat untuk mendeskripsikan tempat ini.
Airi akan menikmatinya kalau saja dia tidak sedang berbincang dengan sosok wanita paruh baya di hadapannya. Seolah terlahir untuk hidup lingkungan elite, sosok itu terlihat begitu cocok berada di tempat mewah nan elegan semacam ini. Rambut hitam panjangnya digelung rapi. Manik permata tersemat di masing-masing telinga. Dia dihiasi oleh benda-benda mewah yang tampak serasi dengan rupa jelitanya meski dia telah berkepala lima.
"Jadikan Kazuki sebagai pewaris sah keluarga kami. Dengan begitu, masa depannya akan lebih terjamin. Dia dapat membantu melancarkan pekerjaanmu di perusahaan. Setelah menyandang nama Hasegawa, dia bisa memberikan kebebasan akses pada ibunya. Kau akan dimudahkan dalam meminta bantuan dana untuk perusahaanmu. Apakah kau bersedia, Ishihara-san?"
Mulut Airi mengatup. Dia menggenggam erat gelas minumnya.
"Tanpa menjadi pewaris keluarga besar Anda, dia sudah memiliki masa depan cerah," tandas Airi, suaranya terdengar sangat tegas. "Saya lebih dari mampu untuk membiayai pendidikannya. Dia sendiri adalah anak cerdas. Dengan kemampuannya, dia akan tetap mendapatkan masa depan yang cerah tanpa harus menjadi bagian dari keluarga Anda."
Ulasan senyum tersemat di bibir sang wanita paruh baya.
"Keturunan Hasegawa memang selalu cemerlang, bukankah begitu? Dia begitu mirip dengan ayahnya."
Semakin banyak Airi mendengar, semakin menipis pula kesabarannya.
"Dia hanya mempunyai satu orang tua. Dan orang itu adalah saya," jelas Airi. Dia menarik napas pelan dan mengeluarkannya dengan perlahan. Ulasan senyum dia paksakan untuk hadir. "Maafkan saya, Hasegawa-san. Saya pikir, Anda sudah paham dengan jawaban yang saya berikan."
Sosok di hadapan Airi mengaduk minumannya dengan pelan. Dia mengangguk.
"Ah, ya, tentu saja. Aku mengerti pada pertimbanganmu. Membesarkan seorang anak seorang diri selama dua belas tahun memang memerlukan usaha besar," katanya. "Saat itu, kau masih sangat muda. Masa mudamu hilang karena sudah diharuskan untuk membesarkan seorang anak. Meskipun begitu, itu adalah pilihanmu sendiri. Aku menghormatinya." Dia menatap Airi lekat. Senyuman sopan yang mengancam kembali terukir di bibirnya. "Kalian mengakhiri hubungan dengan baik-baik. Sudah seharusnya begitu. Tapi, kau juga menyembunyikan kandunganmu darinya."
Airi berusaha mati-matian untuk menahan kemarahan.
"Ishihara-san, tidakkah menurutmu dia mempunyai hak untuk tahu?" tanya wanita itu. "Sampai sekarang dia masih tak tahu apa pun. Kau mungkin menolak tawaranku. Tapi, apa yang akan terjadi jika dia tahu bahwa selama ini kau menyembunyikan anakmu yang juga putranya? Kurasa dia takkan tinggal diam."
"Kenapa Anda sangat yakin bahwa Kazuki berhubungan dengan keluarga Anda?" jawab Airi. Ekspresinya teramat kaku. "Saya tinggal di Manhattan selama hampir dua belas tahun. Ayah biologis Kazuki bisa siapa saja."
Nyonya Hasegawa tertawa ringan, terlihat begitu geli akan pernyataan Airi.
"Semua orang akan menyangkut-pautkan dia dengan putra bungsuku setelah melihat rupanya. Dia bagaikan salinan dari ayahnya. Silakan pertemukan mereka. Tanpa diberi tahu, putraku pasti langsung curiga." Dia kembali menyesap minumannya dengan tenang. "Apakah kau ingin membawa kasus ini ke ranah hukum? Jaksa akan langsung menawarkan tes DNA untuk menyelesaikan kasus. Bagaimana menurutmu, Ishihara-san? Aku mempersilakanmu untuk memilih antara memberi tahu dia secara langsung dan secara sukarela membagi hak asuh pada keluarga kami, atau menyelesaikan masalah ini lewat hukum?"
Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari mulut Airi.
Dering suara telepon menginterupsi mereka. Nyonya Hasegawa melihat ponselnya. Sebelum beranjak dan menerima panggilan, dia berujar, "Kutunggu keputusanmu selama seminggu, Ishihara-san. Jika kau masih diam, aku akan memberi tahu Kei untuk membawa masalah ini ke pengadilan. Tolong pikirkan tawaranku dengan baik."
Telapak tangan Airi mengepal, erat. Dua belas tahun sudah dia merelakan semuanya. Kenapa seseorang ingin kembali mengambil harta berharganya? Tidakkah dia tahu berbagai kesulitan yang Airi hadapi untuk membesarkan Kazuki hingga titik ini?
Ketika meninggalkan restoran, Airi telah bertekad bahwa dia tidak akan kalah. Dia tidak akan menyerah atupun melepas putranya begitu saja.
"Kei takkan mengambilnya dariku. Dia telah menemukan kebahagiaannya. Dia takkan ingin kembali mengungkit kami, sama seperti yang sejak dulu telah kulakukan." []
"PAMAN NISHIDA! KAU datang!" Seorang pria jangkung dengan rambut kecokelatan yang cukup panjang tertawa ringan. Dia menerima high five yang dilemparkan seorang pemuda dua belas tahun yang baru saja berlari menghampiri. Kacamata hitam bertengger bangga di hidung bangir si pemuda, hitam kacamatanya tampak begitu kontras dengan kulit putih pucat yang akan membuat banyak anak perempuan merasa iri. Dia kembali memasukkan kedua tangan ke dalam saku hoodie yang dikenakan. Seringaian di wajahnya berhasil membuat beberapa perempuan di bandara itu berhenti sejenak untuk menoleh. "Bahasa Jepangmu membaik," komentar Ethan, pria yang barusan disapa oleh si pemuda. "Sekarang kau juga sudah sangat besar. Terakhir kali aku melihatmu, kau masih setinggi ini." Ethan menunjuk pinggangnya. "Aku masih bisa tumbuh. Kau tunggu saja," balas si pemuda. Dia melepas kacamata dan menggantungnya pada kerah pakaian. "Di sekolahku ada anak baru dari Kyoto. Kami bicara den
TINGGAL DI LINGKUNGAN baru tidaklah mudah. Sejak meninggalkan Tokyo dua belas tahun lalu, Airi jadi lupa seberapa disiplinnya orang-orang dari negara ini. Disiplin yang dimaksud Airi merujuk pada sesuatu yang baik. Jepang menjadi salah satu negara maju di Asia dan di dunia bukan tanpa alasan. Warga di negara ini begitu sopan dan patuh pada aturan. Di sini, kau takkan melihat orang-orang berdebat dan menyumpah satu sama lain akibat insiden lalu lintas, kau juga takkan mendapati perkelahian antar orang mabuk di sebuah gang sempit. Banyak hal yang disukai Airi dari negara ini. Namun, rasa sukanya juga sebanding dengan rasa tidak sukanya terhadap upah yang tidak setimpal, banyaknya formalitas, dan budaya senioritas yang begitu kental. Dari tiga ketidaksukaan itu, Airi telah merasakan dua di antaranya. Hari ini, dia baru saja memenuhi undangan pertemuan dengan Presdir Kage Summit Cinema, Akito Shigaki. Beliau adalah kaki tangan dari Presdir Kage Summit Studios, perusahan
MAKAN MALAM KELUARGA besar seharusnya terasa hangat, bukan memuakkan dan membuat para anggota keluarga tidak nyaman. Paling tidak, Kei selalu merasakan hal itu sejak dia kecil. Keluarga adalah omong kosong. Mereka tinggal satu atap hanya karena kesamaan genetika, sebuah garis biologis yang menyatukan, bukan karena keinginan untuk tinggal bersama. Keluarga hanya bagaikan benalu, sebuah jerat yang mengekang hidupnya. Mereka membesarkan anak-anak hanya untuk mendapatkan balasan, agar ketika besar nanti mereka bisa menuntut anak-anak itu untuk memenuhi keinginan—memenuhi ambisi dan keserakahan sang orang tua. Definisi tersebut mungkin akan sangat salah untuk sebagian besar orang. Kei mengerti. Keluarga normal takkan mengartikan sebuah keluarga dengan cara pandang ini. Namun, kata normal tidak berlaku untuk keluarga Hasegawa. Baik secara keseluruhan, maupun keluarga kecil yang dibangun sang ayah. Meja berbentuk oval di sebuah ruangan meg
AIRI TIDAK MENYANGKA bahwa proposalnya diterima dengan mudah. Penerimaan proposal memang belum menunjukkan keputusan final kerja sama. Mereka masih harus melakukan presentasi untuk memperlihatkan nilai dari proyek yang ditawarkan. Melalui presentasi tersebut, pihak yang mendapatkan penawaran akan mempertimbangkan keuntungan yang akan mereka dapat dari partner baru mereka. Airi percaya diri dengan materi presentasi yang akan dibawanya. Namun, di saat yang sama dia cukup ragu. Izanami merupakan sebuah perusahaan yang begitu berjaya. Perusahaan tersebut juga merupakan rival yang beberapa hari lalu dibicarakan Ethan. "Sudah tahu ingin sekolah di mana?" Airi bertanya pada Kazuki selagi menyiapkan sandwich untuk sarapan. Kazuki tengah duduk di belakang konter dapur. Rambutnya masih acak-acakan khas bangun tidur. Dia menelungkupkan kepala di sana, menahan kantuk yang menerpa. Berbanding terbalik dengan penampilannya, sang ibu kelihatan sud
MEREKA SALING MENGENAL setelah Airi menghabiskan waktu istirahat dengan mengunjungi loteng sekolah, tempat terlarang bagi para siswa kecuali staf sekolah dan Kei Hasegawa.Entah kapan Airi memutuskan untuk mendekati Kei. Dia tak terlalu ingat waktu pastinya. Airi mendaftar di Kogakuen High School, sebuah SMA ternama yang rata-rata diisi oleh siswa-siswi yang berlatar belakang menengah ke atas. Jika bukan karena bantuan dana dari Shizune, yang bersikeras menyekolahkan Airi di yayasan bergengsi ini, dia takkan punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan di sana.Airi tak punya catatan akademik yang mencolok. Dia hanya memiliki nilai rata-rata, tidak terlalu tinggi ataupun rendah. Alasan dia lulus seleksi di sekolah itu hanya karena motivasi untuk membalas budi baik Shizune. Ethan, yang tak punya kesempatan untuk mencoba mengikuti ujian seleksi di Kogakuen, ikut membantu Airi belajar. Selain karena dia lebih tua dari Airi, dia dapat membantu Airi karena kemampuan akademik
AIRI TIDAK BERENCANA untuk memberikan pengalaman pertama-nya pada Kei. Sudah enam bulan sejak mereka memutuskan untuk saling mengenal. Selama itu pula, mereka hanya akan bertemu di sekolah, dengan Airi yang menghampiri Kei di loteng. Tempat itu seolah telah menjadi persembunyian khusus mereka. Airi akan menemui Kei di sana pada lima belas menit pertama jam istirahat. Mereka juga akan kembali bertemu sepulang sekolah setelah Airi menjadikan ajang 'Kei mentraktir ramen untuk Airi' sebagai agenda rutin. Tindakan ini dilakukan karena Kei bersikeras menolak ajakannya untuk bertemu siswa-siswa lain. Dia memang menerima Airi sebagai teman, tapi bukan berarti dia mau ikut bergaul dengan yang lain. Airi mengerti. Dia tidak memaksa. Mengenal Kei lebih dekat cukup untuk mengonfirmasikan anggapan tentang Kei yang tak seburuk berita-berita di sekitarnya. Dia memang dingin, menutup diri, dan sangat jarang berinisiatif untuk mengawali pembicaraan. Namun, sebenarnya
PENJELASAN SANG WALI kelas terdengar samar di telinga Airi. Dia sedang mengingatkan para murid mengenai ujian seleksi kampus yang akan diadakan kurang dari dua minggu lagi." ... mental dan pikiran. Jangan sampai rasa khawatir kalian mengganggu konsentrasi hingga merusak kompetensi diri. Kogakuen High School adalah sekolah unggulan yang memiliki tingkat penerimaan tertinggi di Tokyo University ...."Airi mengerling pada layar ponsel, memperhatikan jam digital yang menunjukkan pukul tiga lebih tiga belas menit. Dia mengembuskan napas pelan dan mengalihkan pandangan untuk melihat bentang langit kebiruan.Bel pulang sekolah terdengar beberapa saat kemudian. Pertemuan di hari itu selesai. Kelas dibubarkan meski sang guru belum mencurahkan seluruh pidato motivasinya. Airi berberes untuk keluar. Dia sempat membalas high five Nomura dan Itsuki ketika melewati mereka."Kau tak mau main basket lagi?" seru Itsuki."Kita harus bersenang-senang sebelu
KEMBALI MELENTANGKAN TUBUH, Airi mengutuki efek obat yang tak kunjung membuatnya mengantuk.Kenapa juga dia harus setampan itu? Bajingan sekali. Harusnya dia sedikit buruk rupa—tidak, dia harus sangat buruk rupa biar aku bisa langsung menendangnya waktu pertama kali dia menciumku di vila.Rasanya ingin menghantamkan kepala ke dinding terdekat. Pertanyaan-pertanyaan di kepalanya murni untuk menghibur diri. Kei memang bajingan karena memulai hubungan itu. Tapi, Airi sama tidak warasnya. Dia mengikuti permainan Kei dan sesumbar bahwa dia takkan merasakan apa pun.Embusan napas kembali dilakukan. Dia menoleh saat mendengar kedatangan seseorang. Shizune, masih mengenakan jas musim dingin, datang dengan membawa semangkuk sup hangat.Airi bangkit untuk duduk. Dengan pelan, dia berucap, "Sudah kubilang, kau tak perlu merawatku, Shizune-san.""Persediaan makanmu kosong. Tadi aku sempat mampir ke swalayan," tukas Shizune, tak peduli pada prote