Share

BAB 02

Siapa Sebenarnya Suamiku

BAB 02

Istri mana yang tidak sedih melihat kondisi suaminya yang tangan dan kaki terbalut perban.

Bobi mengantar Mas Herman kekamar untuk beristirahat. Setelah itu dia pamit untuk kembali kekantor.

Aku mendekat kearah suamiku. Ku beranikan diri untuk bertanya.

"Mas! Sebenarnya apa yang terjadi kepada Mas? mengapa sampai seperti ini Mas? "tanyaku dengan raut wajah sedih.

"Mas baik-baik saja Dek."jawabnya lembut namun singkat.

"Tapi... Mengapa Mas bisa terluka seperti ini?"tanyaku lagi karena tidak puas dengan jawaban Mas Herman.

"Namanya bisnis iya seperti ini Dek. Sudah jangan sedih, hapus air mata mu. "ucapnya lembut dan tegas.

"Sebenarnya apa yang Mas rahasiakan dariku?"tanyaku lagi

"Dek! Kamu harus kuat menghadapi situasi apapun. Hidup itu keras penuh perjuangan. Jika kamu lemah akan ditindas."jawabnya dengan sedikit ditekan.

"Tapi Mas! Aku takut jika terjadi sesuatu kepada mu. Kita ini hanya berdua, Mas tidak memiliki sanak sodara lagi. Jika terjadi sesuatu dengan Mas, bagaimana denganku. Aku tidak sanggup menjalaninya sendiri."ucapku sambil menggenggam tangannya.

Mas Herman mengusap lembut rambutku.

"Dek, Mas janji tidak akan meninggalkan mu sendirian didunia ini. "perkataan Mas Herman semakin membuatku yakin jika banyak hal yang tidak aku ketahui tentang siapa Mas Herman.

Sudah seminggu Mas Herman bekerja dari rumah, karena kondisi yang tidak memungkinkan untuknya kekantor.

Setiap hari, Bobi selalu datang dijam-jam tertentu. Entah apa yang mereka bicarakan.

Karena setiap Bobi datang. Mas Herman selalu menyuruhku untuk meninggalkan mereka berdua.

Sore itu Bobi membawa seorang Dokter datang untuk memeriksa luka Mas Herman dan lagi-lagi Mas Herman menyuruhku untuk meninggalkan mereka.

sebenarnya Mas Herman terluka kenapa? pertanyaan bermunculan dalam kepalaku.

Ketika sedang melamun di ruang tengah.

Pak Agus supir pribadi Mas Herman lewat. Lalu aku memanggilnya, siapa tahu aku dapat jawaban dari rasa penasaranku.

"Pak Agus! Sini!"panggilku, dan diapun langsung berjalan kearahku.

"Ibu memanggil saya?"tanyanya, aku mengangguk.

"Pak! Bagaimana bisa Mas Herman sampai terluka seperti itu?"tanyaku dengan nada sedikit ku tekan.

"I-itu..."Pak Agus belum sempat menjawab. Bobi sudah berdiri didepan pintu kamar. Pak Agus yang melihat Bobi terlihat sangat terkejut. Lalu pak Agus pamit kebelakang untuk makan.

Aku heran mengapa semua orang takut terhadap Bobi?

Belum juga hilang rasa penasaranku, tiba-tiba terdengar suara tembakan dari arah luar.

Bobi yang mendengar itu langsung berlari kearahku dan menarikku untuk segera masuk kedalam kamar bersama Mas Herman.

Setelah memastikan aku dan Mas Herman aman. Bobi langsung keluar kamar untuk melihat situasi disana.

Aku yang ketakutan hanya bisa diam dengan keringat bercucuran. Mas Herman yang melihatku langsung menarikku dalam dekapannya dan berbisik.

"Jangan takut ada Mas disini."ucapnya sambil memelukku.

"Mas itu suara tembakan, mengapa ada yang menembaki rumah kita Mas? "tanyaku sambil terisak karena takut.

"Semua akan baik-baik saja. Mas akan selalu menjagamu."Mas Herman menenangkan ku.

Setelah situasi aman. Bobi meminta salah satu anak buahnya untuk mengantar Dokter tadi pulang.

Setelah itu. Bobi kembali masuk kedalam kamar dan mengatakan jika situasi sudah aman.

Bobi menyarankan nanti malam untuk kami pindah ke Villa.

Waktu menunjukkan pukul dua dini hari. Kami bertiga berangkat menuju Villa menggunakan mobil dan anak buah Bobi mengikuti kami dari belakang.

Sejak kejadian tadi sore. Aku tak bisa tenang selalu dihantui rasa takut.

Lalu, Mas Herman meminta Bobi untuk mencarikanku seorang Bodyguard perempuan untuk menemaniku selama di Villa.

Setelah menepuh perjalanan kurang lebih tiga jam akhirnya kami sampai disebuah Villa yang sangat besar.

Aku bertanya kepada Mas Herman tentang Villa ini, dan kata Mas Herman ini adalah Villa peninggalan orang tuanya. Aku semakin merasa bodoh karena tidak tahu apapun tentang suamiku.

Mas Herman lalu mengajakku masuk

kedalam Villa dan kamipun disambut oleh sepasang suami istri yang sudah paruh baya.

Mas Herman memperkenalkan aku kepada mereka. Mas Herman mempercayakan Villa itu kepada suami istri itu.

Mas Herman menyuruh Bu Sannah untuk menunjukkan dimana letak kamar kami. Karena Mas Herman masih ada yang perlu dibicarkan dengan Bobi.

Setelah Bu Sannah menunjukkan kamar kami. Aku langsung masuk dan membaringkan tubuhku yang sangat lelah dan mengantuk.

Aku langsung tertidur karena memang sangat lelah.

Aku terbangun dan ternyata sudah pukul sembilan pagi. Aku edarkan pandangan untuk mencari sosok suamiku, namun tak ku temukan.

Lalu aku beranjak kekamar mandi untuk membersihkan tubuh, setelah mandi aku lalu menuju meja makan karena perut terasa lapar.

Ketika membuka pintu. Aku dikejutkan dengan adanya seorang wanita berdiri disamping pintu dan menyapaku.

"Selamat pagi Ibu Herman. Saya, Vivi orang yang ditugaskan Pak Bobi untuk menjaga Ibu." sapanya dengan sopan.

Sudah aku duga. Pasti Bobi dan Mas Herman akan menyuruh seseorang untuk menjagaku. Aku sebenarnya capek hidup seperti ini, aku bagaikan hidup dalam penjara saja. Dan tak berselang lama

Mbok Sannah memanggilku dengan sopan. Dia mengatakan jika sarapan sudah terhidang dimeja.

Aku menuju meja makan dengan didampingi Vivi, ketika aku sedang duduk Vivi hanya berdiri disampingku.

"Vi, duduk jangan buat saya merasa seperti tahanan."perintahku, Vivi awalnya ragu namun aku memaksa.

Setelah Vivi duduk. Aku panggil Mbok Sannah.

"Mbok! Sini duduk temani saya sarapan."ucapku. Mereka tidak bisa menolak perintahku.

"Jangan buat Saya tidak nyaman. Mari kita sarapan bersama, anggap saya keluarga kalian."ucapku dengan lembut.

"Tapi Bu..."Vivi menjeda ucapannya.

"Disini, Saya yang berhak atas Kamu. Jadi turuti perintah saya!"sebenarnya aku tidak tega bicara seperti itu. Tapi kalau tidak seperti ini, aku pasti akan diperlakukan seperti tahanan.

Tak ada yang berani membatahku. Kami pun sarapan bersama. Setelah sarapan aku berjalan kehalaman belakang Villa.

Aku duduk disebuah kursi,

mataku menerawang jauh mengingatkanku akan kejadian sepuluh tahun silam.

Hari dimana aku harus kehilangan bapak dan Ibuku.

Hari itu hari dimana aku pulang dari sekolah, Ketika sampai jalan di depan rumah ternyata sudah banyak warga yang berkumpul dirumahku.

Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan orang tuaku. Aku bergegas masuk menyibak kerumunan orang. Tangisku pecan. Tat kala melihat Bapak dan Ibuku bersimbah darah.

Aku menangis histeris. Ku goyangkan tubuh mereka bergantian, namun nihil tak ada satupun yang bergerak.

seorang teman baik Ibu datang menghampiriku dan memelukku dengan erat.

Bu Susan mengatakan jika orang tuaku sudah meninggal.

Aku menangis histeris sampai aku tak sadarkan diri.

ketika aku sadar orang tuaku sudah dimakamkan. Mereka bukan tidak mau menungguku sadar, namun mereka tidak tega melihatku yang sangat syok berat jika melihat kondisi orang tuaku.

Orang tuaku adalah orang yang sangat baik dan disegani dikampungku, walaupun aku tidak tahu persis apa sebenarnya pekerjaan bapak. Tapi aku yakin jika Bapak orang yang sangat baik.

Bapak dan Ibuku selalu menolong setiap warga kampung yang kesusahan. Bapak sangat dermawan. Karena hal itulah banyak warga kampung sangat menghormati keluarga kami.

Malam itu Bu Susan menemaniku, Beliau tidak tega jika meninggalkanku, bagitu juga beberapa warga yang lain. Mereka yang mengurus semua acara selamatan dan membersihkan rumahku.

"Nak ayo makan, nanti kamu sakit." ucap Bu Susana dengan membawakanku makanan.

"Saya tidak lapar Bu."jawabku dengan lemah.

"Jangan seperti ini terus Nak, nanti kamu sakit" Ucap Bu Susan.

"Bu... Sebenarnya apa yang terjadi kepada orang tuaku?"tanyaku

"Ibu juga tidak tahu pasti Nak, Ibu melihat ada dua buah mobil bagus terparkir didepan rumahmu dan tidak berselang lama ada tiga kali suara tembakan cukup keras. Lalu mobil-mobil itu langsung melaju dengan kencang. Kami yang mendengar itu langsung berlari kerumahmu namun kami telambat Ibu mu sudah meninggal terlebih dahulu, terus Ibu mendekati Bapak mu yang masih bernafas beliau menitipkan sebuah kotak kecil kepada Ibu untuk mu."lalu Bu Susan merogoh saku bajunya dan memberikan kotak penuh darah itu kepadaku.

Aku menangis melihat kotak penuh darah itu, lalu Bu Susan memberiku minum agar aku bisa sedikit tenang.

Setelah melihatku tenang. Bu Susan pamit keluar untuk membantu warga yang lain menyiapkan yasinan untuk kedua orang tuaku.

Dengan tangan bergetar dan air mata yang mengalir deras Ku buka kotak itu."Sebuah kunci"

Kunci apa ini sehingga membuat orang tuaku harus meregang nyawa.

karena fisikku masih lemah. Aku putuskan untuk menyimpan kunci itu, setelah fisikku membaik aku akan mencari tahu tentang kunci ini "pikirku"

Satu bulan telah berlalu. Setelah kepergian orang tuaku. Para warga disini bergantian menghiburku.

Bu Susan selalu menemaniku. Karena Dia juga hidup sendiri dan akhirnya aku menyuruhnya untuk tinggal bersamaku.

Untuk masalah ekonomi. Aku tidak pernah kekurangan, setiap akhir bulan selalu ada seseorang yang mengantarkan kebutuhan pokok dan uang sebesar dua puluh juta.

Awalnya aku menolak tapi mereka bilang itu adalah hak orang tuaku dan aku tidak boleh menolaknya karena sudah ada perjanjian diatas matrai.

Awalnya aku tidak percaya akan hal itu, lalu mereka menunjukkan surat perjanjian yang ada tanda tangan Bapak dan Ibu.

Agar aku tidak bisa menolak hal itu lagi.

👌👌👌👌👌👌👌👌👌👌👌👌👌👌

Tanpa Ku sadari air mataku menetes ketika mengingat kejadian itu, membuat Vivi cemas.

"Bu... Apa yang membuat Ibu bersedih? "tanyanya dengan raut wajah cemas.

Aku langusng menghambur kepelukan Vivi. Aku lihat Vivi canggung namun sepertinya Dia tidak tega menolakku.

"Bu... Apa yang bisa Vivi bantu untuk meredakan rasa sedih Ibu?"tanyanya lagi sambil mmebalas pelukakanku.

"Cukup perlakukan Saya seperti saudaramu."ucapku dengan isakkan. Vivi lalu membelai rambuku dengan penuh kasih seperti seorang kakak yang sedang membelai adiknya.

Aku kambali tenang. Aku ajak Vivi duduk disampingku.

"Vi... Bisakah Kamu menolong Saya?"tanyaku dengan wajah yang serius.

"Apa yang bisa Vivi bantu Bu?"tanyanya dengan wajah tak kalah serius dariku.

"Tolong, Kamu cari tahu tentang kasus orang tua saya, mengapa sampai orang tua saya dibunuh dengan sangat keji." ujarku.

"Kalau boleh Vivi tahu siapa nama orang tua Ibu dan bisa Ibu ceritakan dengan details tentang kematian mereka. "ucap Vivi.

"Nama orang tuaku adalah Gunawan Wiguna dan Yasmine. Cari tahu semua tentang mereka!"lalu aku menceritakan dengan sangat details tentang orang tuaku sampai orang tuaku dibunuh.

Vivi terlihat serius mendengar ceritaku.

"Baik Bu. Saya akan mencoba mencari tahu tentang orang tua Ibu."ucapnya dengan nada serius.

"Terima kasih Vi, dan ingat jangan sampai Bapak tahu!"ucapku. Vivi mengangguk tanda mengerti. Bukan tanpa alasan aku melakukan hal itu, tapi, aku harus mencari tahu kebenarannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status