Share

Akal bulus

Akal bulus

Yana menatap wajah gusar Arif. Arif mendekati Yana dengan tubuh lemas.

"Dek, Ibu sakit, Sekarang di rawat dirumah sakit." Ujar Arif dengan suara yang bergetar. Kekhawatiran tergambar jelas dari raut wajahnya.

"Lalu?" Yana mendengkus kesal. Yana yakin, kalau itu hanyalah akal-akalan ibu mertuanya agar Arif segera pulang.

"Lalu? Kamu kok malah nanya gitu sih, Dek?" Arif membelalakkan matanya.

"Trus, Yana harus bilang apa, Mas?" Ujar Yana masih menampakkan wajah kesalnya.

"Kita pulang sekarang, ya … kasian ibu, nggak ada yang menjaganya di rumah sakit." Arif meraih tangan Yana agar turun dari dipan.

"Nggak, Mas! Kamu aja yang pulang. Aku tetap di sini," Yana menepis kasar tangan Arif.

"Dek, tidak bisakah kamu mengesampingkan egomu?" Arif menatap Yana dengan tajam.

"Suasana sedang tidak tepat untuk mendengarkan pembelaan darimu!" Lanjut Arif. Masih dengan tatapan tajam.

"Pembelaan?" Yana mencebikkan bibirnya, lalu kembali memunggungi Arif.

Arif megusap wajahnya dengan kasar. Bagaimanapun, Yana harus ikut pulang. Arif tidak ingin para tetangga berpikir yang tidak-tidak akan kepergian Yana. Tapi, Arif juga tidak mungkin menunggu sampai perasaan Yana membaik.

Arif duduk di pinggir dipan. Lalu mengelus rambut Yana dengan lembut.

"Dek, ayolah ikut mas pulang. Mas janji, akan mendengarkan ceritamu setelah ibu pulang dari rumah sakit." Arif naik ke atas dipan dan memeluk Yana dengan erat.

"Mas sayang sama kamu dan Dila, aku nggak kasian melihat Dila jauh dari mas?" Arif berusaha meyakinkan hati Yana dengan mencium pundaknya.

"Mas juga janji, nanti kita jalan-jalan seperti yang kamu inginkan waktu itu." Ujar Arif lagi.

Yana hanya terdiam. Ingin sekali menolak ajakan Arif, tapi Yana juga tidak ingin merepotkan Si mbah dengan berlama-lama di sana.

 Yana juga memikirkan nasib Dila jika memang mereka bercerai. Dila pasti akana merasa sangat kesepian.

Karena, walaupun Arif hanya pulang tiap bulan, tapi itu sudah cukup membuat Dila bahagia.

Terdengar suara tangisan. Dila menangis dengan kencang, Arif bangkit dari dipan, lalu keluar kamar dan mengambil Dila dari gendongan Si Mbah.

"Sepertinya Dila pengen digendong mamanya." Si Mbah menyerahkan Dila yang masih menangis.

Arif membawa Dila ke dalam kamar. Yana bangun dan segera meraih Dila dalam gendongannya.

"Mama … uyang … au uyang …" ujar bocah kecil itu tersedu-sedu.

"Kita di sini aja ya, Sayang," bujuk Yana sambil mencium pipi Dila.

"Au uyang … au uyang," Dila semakin menangis.

Yana bingung harus melakukan apa. Pikirannya kacau. Arif kembali menggendong Dila, Arif menghibur Dila dengan mengajak Dila bermain pesawat-pesawatan.

Ponsel Arif kembali berdering.

"Halo, iya buk. Saya segera pulang," Arif kembali memandang Yana.

"Dek …."

"Oke, Yana ikut pulang, tapi mas harus janji. Mendengarkan cerita Yana dan kita jalan-jalan," ujar Yana dengan wajah datar.

"Iya, Sayang. Mas janji," ujar Arif meraih Yana ke dalam pelukannya.

Sore itu, mereka pulang kembali ke rumah Arif. Arif sengaja memesan travel untuk mereka karena tidak ingin terlalu lama sampai jika harus naik bis.

"Mas, kita langsung ke rumah sakit, atau pulang ke rumah dulu?" Tanya Yana ketika sudah separuh dalam perjalanan.

"Mas pikir, sebaiknya kita pulang ke rumah saja dulu," ujar Arif memindahkan Dila dari pangkuan Yana ke pangkuannya.

"Tidurlah, nanti kalau sudah sampai, Mas banguni." Arif meraih kepala Yana dan menyandarkan di bahunya.

Yana merasa bahagia jika Arif seperti ini. Yana berharap, kebahagiaan ini akan selalu ada. Terlebih, jika Arif memperlakukan Yana dengan manis seperti masa awal pernikahan mereka dulu.

Travel melaju dengan kecepatan sedang, Yana terlelap dalam tidurnya, begitupun dengan Dila. Arif termenung, memandang wajah Yana yang bersandar di pundaknya, lalu beralih memandang wajah mungil Dila dalam dekapannya.

Sejujurnya, Arif sangat mencintai Yana, tidak peduli bagaimana tanggapan orang dikarenakan Yana bukanlah wanita berwajah cantik seperti istri teman-temannya.

Arif sering menanggapi olokan temannya, semata-mata karena tidak ingin dikatakan lelaki lemah, padahal, pada kenyataannya, Arif tidak mampu hidup tanpa Yana.

Hanya saja, Arif begitu mencintai ibunya, karena Bu Wongso selalu menceritakan bagaimana kesulitannya menghidupi Arif tanpa suami dengan bekerja hanya sebagai buruh cuci.

Arif bisa sukses, itu juga karena didikan ibu. Itulah yang selalu Bu Wongso tanamkan dalam otak Arif sejak masih remaja, sehingga Arif akhirnya menjadi sangat penurut.

Travel yang ditumpangi Arif dan Yana sampai di halaman rumah Arif, Arif merasa ada yang aneh. Karena lampu di dalam rumah menyala dan ada suara orang berbincang.

"Assalamualaikum," Arif dan Yana mengucap salam beriringan.

"Wassalamu'alaikum," terdengar sahutan dari dalam rumah.

Arif melangkah masuk bersama Yana dan Dila.

Di ruang televisi, Arif melihat ibunya sedang berbincang dengan beberapa ibu-ibu sekitar rumah mereka.

"Rif, ibumu minta antar pulang, jadi kami bawa saja," ujar Bu Nani sebelum Arif bertanya pada ibunya.

"Terima kasih ya, Bu" Arif mendekati ibunya dan meraba kening Ibunya.

"Mana yang sakit, Bu? tanya Arif dengan wajah cemas.

Yana mencium ketidakberesan di depan matanya. Yana memustuskan untuk masuk ke dalam kamarnya.

"Istrimu itu, kebangetan banget ya, Rif. Mertua sakit, bukannya di rawat, malah masuk kamar begitu saja." Bu Nani mencibir bibirnya melihat Yana yang berlalu masuk kamar tanpa pamit.

"Yana lelah, Bu. Mungkin mau istirahat," ujar Arif mencoba menenangkan hatinya yang nyeri mendengar ucapan Bu Nani.

"Karena kamu udah datang, kami pulang dulu ya, Rif," pamit Bu Nani dan temannya kepada Arif.

"Iya, Bu. Terima kasih," Arif tersenyum menatap Bu Nani dan temannya.

"Nasehati istrimu itu, jangan suka jahatin mertua." Bu Nani menepuk pundak Arif dan berlalu pergi.

Arif hanya menarik napas berat. Tidak ingin ambil pusing dengan pengaduan-pengaduan yang nanti akan membuatnya ribut dengan Yana.

"Ibu mau aku pijitin?" Tanya Arif yang disertai anggukan oleh sang ibu.

"Kalau kamu capek, tidur saja. Tapi temani ibu tidur di sini, ya. Ibu malas tidur di kamar," ujar Bu Wongso dengan suara pelan.

"Iya, Bu. Aku bilang Yana dulu." Ujar Arif bangkit dari duduknya.

"Nngak perlu, Rif. Yana juga pasti ngerti, kok." Bu Wongso menahan pergerakan Arif.

Arif lalu berbaring di samping Ibunya, dan terlelap karena lelah. 

Yana belum tidur. Masih menunggu Arif di kamarnya. Karena lelah menunggu, akhirnya Yana keluar kamar, dan mendapati Arif yang tidur di samping Ibunya. Yana memundurkan langkahnya. Karena Yana tau, yang akan terjadi. Aeif pasti akan menolak tidur di dalam kamarnya.

Yana kembali ke kamar, penyesalan kembali menyusup dalam hatinya.

Menyesal percaya akan perkataan Arif, menyesal memaafkan Arif kembali. Yana yakin, kalau ibu mertuanya hanya pura-pura sakit.

"Kita lihat saja, Bu … berapa lama ibu akan bertahan dengan sandiwara ini," Yana berkata di dalam hati dengan menyunggingkan senyumnya.

Bersambung

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Sri Rina
Ceritanya seru tp......
goodnovel comment avatar
Diajheng Widia
kaannn baru dateng aja udh begituu...hadehhh tetangga sok ikut campur lagi
goodnovel comment avatar
Herlina Hasibuan
inspirasi bt kta para wanita dan pelajaran hidup bt para suami dlm bersikap d rmah tangga
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status