Share

Dijemput

Dijemput

Pagi itu, Yana membantu Si Mbah menyusun keranjang sayuran. Sejujurnya, Yana merasa sedih, karena tidak bisa membalas Budi kebaikan Si Mbah selama Yana tinggal di sana sebelum menikah.

"Nduk, biar Mbah aja yang nyusun sayurannya. Kamu temani Dila main aja." Ujar Si Mbah mengelus punggung Yana.

"Nggak apa-apa, Mbah. Yana rindu dengan pekerjaan ini," ujar Yana sembari tangannya terus menyusun sayuran.

Terdengar suara pintu di ketuk.

"Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam," jawab Yana dan Si Mbah berbarengan. Yana membuka pintu, dan sangat kaget, karena Arif telah berdiri di depan pintu dengan wajah lelah.

"Alhamdulillah, kamu ada di sini, Dek!" ujar Arif sembari memeluk Yana dengan erat. Yana hanya tercenung. Tidak merespon pelukan Arif.

"Papa ... Papa ... " Dila berjalan menyongsong Arif dengan sumringah.

"Anak papa, Sayang ... Papa kangen," ujar Arif memeluk dan mencium Dila bertubi-tubi.

"Dek, pulang yuk, maafkan Mas, Mas khilaf. Mas janji, nggak akan mengulanginya lagi," ujar Arif memegang erat tangan Yana. 

Yana melepas genggaman tangan Arif. "Maaf, Mas. Tapi aku mau kita bercerai saja." Ujar Yana dengan suara parau.

"Apa maksudmu, Dek? Ujar Arif mengernyitkan keningnya.

"Aku udah nggak mampu lagi bersabar, Mas. Aku lelah," ujar Yana duduk di dipan ruang tengah.

"Mas minta maaf, Dek. Mas janji, mas nggak akan kasar lagi." Arif bersimpuh di hadapan Yana, meraih tangannya dan mencium berkali-kali.

"Mas sayang sama kamu dan Dila." Arif memeluk Dila dengan erat.

Hening, Yana tidak bersuara, hanya terdengar isak tangis Arif. Mbah Marijan dan Istrinya hanya mendengar pembicaraan Yana dan Arif di balik dinding dapur.

"Aku lelah, Mas. Benar-benar lelah. Kamu berulang kali menyakitiku, berulang kali meminta maaf, dan berulang kali juga melakukan kesalahan yang sama," Yana menatap Arif dengan tajam.

"Mas tau, mas salah. Tapi mas mohon, beri mas kesempatan sekalii lagi, Mas janji nggak akan kasar lagi." Arif kembali menggenggam tangan Yana dengan erat.

Yana menjadi dilema, jujur, Yana sangat mencintai Arif, Yana juga tidak ingin Dila tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah. Tapi, Yana sungguh tidak tahan setiap hari harus berhadapan dengan ibu mertunya. setiap bulan harus mendapat perlakuan kasar dari Arif, jika ibunya mulai menagis. Tangisan air mata buaya. Ketika Yana masih berpikir sejenak, Mbah Marijan dan Istrinya keluar dari dapur, dan menemui mereka .

"Nduk, sebaiknya kamu pulang ikut suamimu." Mbah Marijan menatap Yana dan Arif secara bergantian.

"Nak Arif, jangn ulangi lagi kesalahan yang membuat Yana kecewa." Mbah Marijan menepuk pundak Arif dengan lembut.

"Iya, Mbah." Jawab Arif memegang tangan Mbah. 

"Maaf, Mas. Tapi keputusanku sudah bulat, kita lebih baik bercerai saja," Yana masuk ke dalam kamar membawa Dila yang menangis meronta.

"Dek, maafin Mas, Dek. Mas mohon, ikut mas pulang, Ya ..." Arif menggedor-gedor pintu kamar. Namun, Yana tetap tidak memperdulikan.

Tangisan Dila semakin kencang..sepertinya, Dila ingin ikut dengan Arif, Yana menutup telinganya dengan kedua tangannya. yana tidak ingin mendengar jerit tangis Dila.

Arif, Mbah Marijan, dan Istrinya terkejut mendengar Jerit tangis Dila tak kunjung reda.

"Dek, buka pintunya, Dek ..." Arif kembali menggedor-gedor pintu, namun tidak ada sahutan. Arif memandang Mbah Marijan dan mengisyaratkan minta izin untuk mendobrak pintu. Mbah Marijan pun mengangguk.

Arif mendobrak pintu, dan segera masuk, di susul Mbah Marijan dan istrinya.

"Ya Allah, Nduk. Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu biarkan Dila menangis kejer begini?" Si Mbah mengambil Dila di lantai yang menjerit histeris, sedangkan Arif berhambur meraih Yana dan memeluknya. Yana menangis dengan masih menutup kedua telinganya.

"Yana nggak mau pulang, Mas ..." Yana sesegukan. Dila dibawa Si Mbah kekuar kamar, Arif memberikan air putih kepada Yana. Lalu mengusap wajah yang penuh dengan air mata.

"Maafkan mas, Dek. Maaf ..." Arif mengecup pucuk kepala Yana berkali-kali.

Arif tidak pernah melihat Yana serapuh ini sebelumnya.

"Maafkan mas, Dek," hanya kata-kata itu yang terus Arif ucapkan.

Yana melepaskan diri dari pelukan Arif. "Tolong tinggalkan Yana sendirian, Mas ..." Yana berbaring dan memunggungi Arif.

Arif hanya menarik napas berat. Tidak menyangka, akan seperti kejadiannya. Arif lalu ke luar kamar dan menghampiri Dila bersama Mbah.

"Nak Arif, ada masalah apa?" Mbah Marijan menatap manik mata Arif.

Arif hanya terdiam, menceritakan masalahnya pada Mbah, hanya akan membuka aib rumah tangganya.

"Sebaiknya, kamu nginap aja di sini dlu. Bicarakan ini baik-baik sama Yana. Biarkan dia berpikir." Ujar Si Mbah menasehati Arif.

Arif mengiyakan perkataan Mbah, sepanjang hari, Yana hanya mengurung diri di kamar. Arif menemani Dila bermain di luar kamar. Si Mbah menyarankan kepada Arif untuk bertahan sejenak. Menunggu suasana hati Yana yang membaik.

"Mbah boleh bertanya sesuatu padamu?" Tanya Mbah Marijan pada Arif.

"Nggeh, Mbah," jawab Arif sopan.

"Apa permasalahanmu sama Yana tentang perempuan lain? Atau masih tentang ibumu?" Si Mbah menatap Arif dengan tatapan yang tajam.

"Ehm, masih masalah dengan ibu, Mbah," jawab Arif dengan nada yang ditekan.

"Sudah tiga tahun kalian menikah, tapi ibumu tidak juga bisa berbaikan sama Yana, apa kamu tidak pernah menanyakan, apa yang dilakukan ibumu ketika kamu nggak ada?" Tanya Mbah lagi.

"Pernah, Mbah, dan itu yang terkadang memicu keributan saya dengan Yana." Jawab Arif menatap wajah Mbah.

"Kamu hanya menanyakan ibumu, pernah nggak, kamu nanyain Yana?"tanya Mbah lagi, kali ini dengan penuh penekanan.

Arif hanya menggelengkan kepala..

"Itu kesalahanmu, kamu hanya mendengar cerita versi ibumu, bukan versi Yana." Mbah kembali menatap Arif dengan tajam.

"Seharusnya, kamu tanya kebenaran ucapan ibumu pada Yana, jangan langsung mengiyakan apa yang dikatakan oleh ibumu," ujar Mbah menghela napas berat.

" Pantas saja, Yana kabur dari rumah. Jiwanya tertekan. Jangan bilang, kamu lebih percaya ibumu dari pada Yana!" Pungkas Mbah lagi.

Arif terperangah, apa yang sebenarnya Mbah takutkan, itulah kenyataannya. Arif lebih percaya ucapan ibunya dari pada Yana. Arif bahkan langsung memaki dan berbuat kasar pada Yana, jika mendapat info yang tidak bagus tentang Yang, baik itu dari tetangga, ataupun dari ibunya sendiri.

Arif mengusap wajahnya dengan kasar, bagaimana mungkin, selama 3 tahun pernikahan, Arif tidak peka terhadap Yana. Arif bahkan tidak pernah mau mendengar penjelasan Yana. Selalu tangannya yang berbicara.

Arif memandang waja mungil Dila. "Sayangnya kamu belum bisa bicara, Nak!" gumam Arif di dalam hati 

Mungkin, kalau Dila bisa berbicara, Arif akan bertanya pada Dila. Karena kata orang tua zaman dahulu, anak kecil tidak bisa berbohong.

Arif kembali menatap pintu kamar yang masih tertutup rapat. Arif mendekati pintu kamar, lalu membukanya perlahan. Arif mendekati Yana yang msih berbaring menghadap dinding. Mungkin, luka hati Yana teramat dalam, sehingga, sepanjang hari Yana hanya mengurung diri di kamar. Tanpa makan, dan melakukan apa pun. Arif mengusap dengan lembut bahu Yana.

"Dek, Maafkan Mas, ceritakan pada mas, apa yang sebenarnya terjadi," ujar Arif dengan nada yang lembut.

Yana membalikkan badannya, menatap wajah Arif yang tampak sendu.

"Mas mau mendengar apa yang Yana katakan?" ujar Yana dengan suara yang berat.

Arif menganganggukkan kepalanya.

Yana bangkit dan tersenyum. Yana bertekad akan menceritakan semuanya kepada Arif. Tentang kejahatan ibu mertuanya.

"Mas, setiap mas nggak ada ..."

 Baru saja Yana memulai cerita, ponsel Arif berdering. Arif mengangkat telpon tersebut, lalu mengucap Istighfar. Arif menatap Yana dengan tatapan sendu.

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Diajheng Widia
udah deh yaana jangan mau balik lagi..bakalan lebih parah kamu nanti diperlakukan ama mertuamu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status