Share

2

Mata Naya mengerjap saat merasakan mobil yang ia tumpangi berhenti. Cahaya yang tiba-tiba memasuki matanya membuatnya tidak nyaman dan menyipitkan mata. Ia mengamati kesekeliling mobil, dan tidak mendapati siapapun disana. Terakhir kali ia mengingat Yera dan Tian yang sedang bercanda sembari ikut menyanyikan lagu lawas dari radio.

Apa mereka sudah sampai?

“Oh, sudah bangun? Aku baru saja mau membangunkanmu untuk memakan ini,” 

Tiba-tiba Yera membuka pintu mobil dan membawa satu mie cup yang kelihatannya sangat enak untuk dinikmati di cuaca yang dingin. Naya membalas tawaran Yera dengan senyuman, lalu bangkit dari duduknya.

Cahaya lampu putih yang begitu terang  langsung menyapanya begitu ia keluar. Ternyata yang membuat matanya tidak nyaman adalah lampu-lampu pom bensin yang terangnya memang bisa membuat mata orang bangun tidur tidak nyaman.

“Sini, Nay. Mau teh hangat  apa susu coklat?” Kedatangan Naya di sambut Tian dengan pertanyaan. “Susu coklat saja,”

Tian mengangguk dan pergi memesankan susu coklat untuknya. Dari kejauhan ia melihat Tian yang memesan susu coklat itu mulai panik, dan berlari ke tempat duduk yang mereka duduki tadi.

“Astaga, aku lupa kalau dompetku ketinggalan di mobil. Aku juga lupa kalau mie nya yang bayar tadi kamu,” ujar Tian pada Yera dengan wajah paniknya.

“Nih, aku tadi sekalian ambilin dompetnya,”

“Ya, ampun makasih. Luv yu~”

Setelah itu Tian kembali menuju ke penjual, meninggalkan Naya yang geleng-geleng tak percaya dan Yera yang terkekeh pelan. “Kenapa bisa Kak Yera mau sama orang teledor kayak dia, sih?” Ujar Naya yang masih menatap malas kakak laki-lakinya itu.

“Mungkin karena itu aku suka,” ujar Yera sembari tersenyum ke arah Tian, tanpa peduli Naya sedang menatapnya aneh sekarang.

Yera adalah kekasih Tian dari semasa SMA hingga sekarang. Pasangan ini dikenal dengan gelar ‘Pasangan Gemar Kerja’ semasa SMA dulu. Karena, Tian semasa SMA sempat menjabat menjadi ketua OSIS dan Yera adalah sekretarisnya yang kadang menggantikan tugas wakilnya yang semena-mena. Dari situ mereka mulai jatuh cinta karena kerjaan.

Saat ini pun wanita satu ini bekerja sebagai sekretaris Tian di perusahaannya. Ia ingin ikut mengantar Naya.

 

“Saat CEO pergi, maka sekretaris nya harus ikut. Masalah pekerjaan? Aku bisa menyelesaikannya sekaligus saat kita pulang nanti,”

Begitulah kiranya alasan ia bisa disini bersama Naya dan Tian, toh Naya malah senang karena ada Yera yang biasanya membuat candaan selama perjalanan. Beda suasana kalau nanti hanya ada Tian, pasti suasana akan menjadi menyebalkan. Bukannya Tian tidak lucu, bukan, tapi setiap candaan Tian bahkan saat laki-laki itu diam saja dapat membuat Naya naik darah.

“Kapan kita sampai?” Tanya Naya ketika susu yang dipesannya sudah datang.

“Kira-kira sekitar empat jam lagi. Kenapa? Apa kau mulai ingin muntah, atau ingin buang air besar?”

Lihat saja, baru saja dibicarakan tentang seberapa sebalnya Naya terhadap kakaknya itu, dan kini Tian sukses membuat Naya menahan amarah yang segera ia redam. Ia lagi tidak mood untuk memukul Tian, karena beberapa menit yang lalu gadis ini baru saja bangun dari mimpinya bertemu dengan Gerald.

“Hei, sudahlah. Pertanyaan seperti itu akan membuat malu kami para perempuan,” ujar Yera sembari menepuk bahu lebar Tian.

Laki-laki itu mengangguk, “Oh, begitu ya? Aku tidak akan bertanya hal seperti itu padamu kalau begitu. Tapi, anak ini, memangnya dia perempuan? Tidak ada elegannya sama sekali,” Tian pura-pura meneliti wajah Naya, sampai akhirnya tangan Naya mencubit hidungya dengan sangat erat. Moodnya kembali setelah emosinnya benar-benar tersulut.

“Astaga! Apa kau titisan Tuan Krab dari Bikini Bottom?!”

“Rasakan itu, dasar Plankton sialan!”

Yera hanya terkekeh melihat tingkah mereka berdua.

“Kalau begitu aku akan jadi Nyonya Puff!”

Naya dan Tian melihat ke arah Yera secara bersamaan, lalu beberapa detik kemudian tertawa.

***

Mobil Tian terparkir di sisi jalan, mereka sudah sampai di tempat tujuan. Bukannya Tian berniat untuk mengerjai adiknya untuk berjalan kaki ke tempat tujuan, tapi seingatnya jalan menuju tempat tujuan mereka yang terdekat tidak bisa dilalui mobil.

Naya segera menurunkan barang-barangnya dari mobil. Ia mengamati jalan yang akan dilaluinya nanti. Dihadapannya sekarang ada anak tangga yang seakan tidak ada ujungnya dan satu lagi jalan menurun khusus untuk sepeda motor dan sepeda kayuh.

Di samping-samping jalan tersebut hanya ada pepohonan dan beberapa bambu hijau yang menghiasi.

Tempatnya benar-benar terpencil, jalan raya yang membentang lebar ke sisi jalan lainnya juga nampak sepi. Hanya ada satu atau dua truk pengangkut yang lewat, padahal ini sudah pukul tujuh lewat sepuluh menit.

“Kakak tidak menaruhku disini untuk syuting film horor, kan?”

“Kenapa? Apa kau takut? Katanya suka suasana hutan,” 

“U-untuk apa takut?!”

Kata Naya dan malah mendahului berjalan menaiki tangga itu meski perasaannya tidak yakin. Sementara itu Tian mengomel sebentar karena Naya sudah meneriakinya, dan segera menyusul setelah lengannya di tarik olah Yera.

Setelah anak tangga ke lima puluh yang mereka naiki, mereka menemukan gerbang rumah yang nampak sudah berkarat di pinggir jalanan penuh anak tangga yang mereka lalui tadi. Rumahnya nampak tidak terurus dari luar.

“Kak? Kakak benar-benar akan menaruhku disini?” Ujar Naya mulai panik sembari menarik-narik ujung kaos yang dikenakan kakaknya itu. Sementara yang ditarik, malah menghela napas panjang dan menampilkan sorot mata yang tidak dapat diartikan ketika melihat gerbang rumah itu.

“Ayo masuk dan segera beres-beres,” Tian mulai berjalan maju dan membuka gerbangnya. Pemandangan halaman depan rumah yang sangat kotor membuat Tian menghela napas lagi.

“Semoga saja paman tidak menghantuiku karena aku jarang berkunjung,” gumam Tian yang secara kebetulan di tangkap gendang telinga Naya.

‘Paman siapa?! Apa penunggu disini?’ Batin Naya mulai ketakutan.

Mereka bertiga mulai memasuki rumah minimalis terebut. Suasana di dalamnya terlihat rapi, tidak seperti kondisi di halaman depan yang cukup meyakinkan untuk menobatkan rumah ini sebagai rumah angker bagi beberapa orang yang melewatinya. Namun, debu-debu tipis sangat rapi menutupi perabotan dan lantai kayu rumah ini.

“Baiklah, kalau begitu mari bekerja sesuai rencana. Aku dan Naya akan membersihkan rumah, sementara kau akan membersihkan halaman,” ujar Yera bersemangat, lalu segera mencari alat-alat kebersihan. Begitu juga Tian yang sudah mulai menggulung lengan kaosnya, dan berjalan keluar.

“Eh, tunggu dulu. Apa kita benar-benar melakukan ini?!” Seperti orang frustasi Naya malah menutupi wajahnya dan menyesal karena mengikuti rencana kakaknya. Renungannya tidak berjalan lama, hingga Yera menyodorkan sebuah sapu padanya.

“Oke, baiklah. Mari lakukan ini,”

Mereka bertiga bekerja dengan keras hingga pertengahan hari menyapa. Keadaan rumah sudah tidak seburuk tadi. Debu yang ada di dalam sudah hilang, dan pekarangan sudah lebih bersih dari yang tadi.

“Apa air mancur itu tidak berfungsi?” Ujar Naya sembari mengamati air mancur yang sudah berlumut dari beranda. Mereka bertiga kini sedang bersantai di teras rumah dengan memakan kue buatan Yera yang sempat ia bawa turun dari mobil.

“Entahlah, mau coba memperbaikinya?”

Tian beranjak dari duduknya dan mulai mengamati air mancur yang berlumut itu, Naya mengamatinya dari belakang. Gadis itu melihat saklar putih berdebu di bagian bawah air mancur, dan segera memencetnya.

“Whoa! Apa yang kau lakukan?! Kalau terjadi konsleting bagaimana, ha?!”

Suara ‘klik’ yang ditimbulkan dari saklar kecil itu cukup membuat Tian untuk segera menarik tangan adiknya yang aneh-aneh. “Aneh sekali, kenapa tidak mau nyala? Dulu kan kalau ingin menyalakan ini –“

'Loh? Eh? Kenapa aku sok tahu? Kenapa rasanya aku pernah menekan benda ini sebelumnya?' Batin Naya terkejut. Seperti ada rasa de javu.

“Kau itu yang aneh. Tidak pernah berurusan dengan air mancur, malah bertindak seenaknya,” omel Tian yang melepaskan genggaman tangannya pada Naya. Sementara itu Naya masih mematung karena omongannya barusan.

Tiba-tiba di saat mereka berdua sibuk mengamati air mancur dan mematung, satu orang pria yang sudah cukup tua untuk bisa dipanggil ‘kakek’ mendatangi mereka. Kakek itu tersenyum melihat Tian, senyumannya lebih menghangat saat melihat Naya yang masih mematung.

“Jadi kalian sudah sampai? Kenapa tidak mengabariku?”

Sontak kedua insan yang ada di depan air mancur menoleh pada kakek tersebut, sementara itu pikiran paranoid Naya mulai menyala. Ia masih belum lepas dari pikiran bahwa rumah ini memiliki ‘penunggu’.

“Paman! Sudah lama tidak berjumpa. Bagaimana kabar paman?” Tian memeluk tubuh lumayan gemuk kakek itu. Mereka nampak akrab jika dilihat.

Tunggu dulu...

Apa Tian barusan memanggilnya PAMAN?!

Naya langsung berpura-pura mengecek bagian bawah air mancur dengan berjongkok. Ia mengamati kakek itu dengan saksama. Oke, kaki kakek itu menapak, dan nampaknya Tian bisa memeluknya. Jadi, dapat disimpulkan dia bukan penunggu disini atau semacam hal halus lainnya. Tapi bagaimana kalau dia adalah dukun?!

“Nay, kenapa diam saja? Sini beri salam ke paman dulu,”

Naya melangkah dengan ragu sampai akhirnya ia tersenyum canggung dihadapan kakek itu. “Paman ini kepala desa disini. Namanya Pak Danar, dan ini adik saya Kanaya,” kata Tian saling memperkenalkan.

“Eh? Emang disini ada desa?” Tanya Naya bingung. Pasalnya memang saat melihat anak tangga yang tidak berujung itu, mustahil jika ada desa. Naya malah menduga ujung dari anak tangga ini adalah kuil tua atau air terjun.

Danar terkekeh saat mendengar pertanyaan itu, “Kau pasti berpikir ini tempat yang tidak mungkin ada desa, kan? Desa kami bisa ditemukan di tangga yang ke seratus. Tenang saja, tidak ada perempatan atau jalan yang bercabang disini. Jadi, tinggal naik dan lurus saja untuk bisa menuju desa,”

Naya hanya mengangguk saja. Ia sebenarnya tidak tahu ini tempat apa, rumah siapa, dan kenapa kakaknya bisa tahu tempat seperti ini. Dirinya hendak protes kepada Tian karena berani menaruh gadis itu di tempat yang terisolasi seperti ini. Benar kalau Naya suka suasana hutan, tapi tidak kalau rumah yang ditempatinya seperti rumah yang memiliki kesan angker dari awal.

Dua orang lagi datang tiba-tiba dengan membawa kotak yang kelihatannya berisi makanan. Kali ini satu gadis kecil dan satu wanita dewasa yang memakai baju perawat. “Ah, kalian lama sekali. Dimana Dr. Gavin?”

Wanita yang memakai baju perawat itu memasang wajah memelas dan menggeleng, sementara gadis kecil itu berlari ke arah Naya dengan wajah berbinarnya. “Hey, apa kakak berasal dari kota? Kakak cantik sekali!” 

“Eren, bukannya kau harus memperkenalkan dirimu dulu? Lihat kau membuat kakak itu bingung,” ujar wanita dengan baju perawat sembari tersenyum ‘maklum ya dia anak kecil’ ke arah Naya.

“Oh, iya! Namaku Serenia. Senang bertemu dengan kakak cantik,”

“Panggil saja aku Daisy, senang bisa bertemu dengan sukarelawan lain,”

Naya tersenyum kepada mereka berdua, ia mencubit pelan ujung hidung Eren.

“Aku juga senang bertemu dengan kalian. Tapi, apa maksudnya dengan sukarelawan lainnya?”

“Oh, soal itu mari kita diskusikan di dalam,” ujar Tian sembari menampilkan senyum jahilnya pada Naya seorang.

Ini tidak baik.

***

Naya merebahkan dirinya di sofa ruang tengah. Suasana jadi tidak seramai tadi siang, kini hanya tertinggal dirinya dan suara jangkrik yang mulai berbunyi karena hari sudah mulai petang.

Kakaknya dan Yera sudah pamit pulang karena mereka sudah tidak bisa munda pekerjaan lagi.

‘Bekerjalah dengan baik ya disini. Buat kakakmu bangga!’

‘Mau bagaimana lagi, mereka akan menerimamu tinggal disini kalau kau menjadi relawan!’

Naya mencakar kembali sofa yang ia duduki mengingat wajah tanpa dosa kakaknya sebelum benar-benar pergi dari sini. Ia merasa dibodohi disini, dan entah mengapa sekarang ia mulai beranggapan kakaknya sedang bekerjasama dengan orang tua mereka untuk membuatnya bekerja disini.

Bagaimana tidak gadis itu tidak berpikiran negatif?

Harusnya Naya cuma bersembunyi dari pertunangannya yang di jadwalkan tiba-tiba, dan mengerjakan desain bangunan perumahan mewah kakaknya yang ada di dekat daerah ini. Tapi, pekerjaannya harus menambah karena kakak bodohnya itu malah mengabari kepala desa yang merupakan kenalan lamanya bahwa Naya akan menjadi sukarelawan disini.

Ditambah lagi, ia harus menjadi sukarelawan di bagian peternakan.

Jarinya ingin sekali menekan tombol delete pada laptopnya sekarang. Tapi, ia tidak bisa. Ia masih memiliki sedikit pikiran positif tentang ide gila Tian ini.

“Oke, pertama-tama mari kita menenangkan diri dengan secangkir kopi. Lihat dirimu, kau jadi lupa kalau rumah ini angker karena emosi,” ujarnya sudah benar-benar mengeklaim tempat ini tempat angker karena ucapan Eren. Namun karena emosi, ia jadi tidak fokus ke hal-hal lembut itu.

Setelah menyalakan kompor, Naya mencoba menyusuri setiap bagian rumah ini sendiri. Ia penasaran, siapa pemilik rumah yang terbengkalai ini sebelumnya. Ia lupa menanyakan hal ini kepada Tian tadi, karena asyik mengobrol dengan Daisy.

Ia memulai dari halaman belakang yang kecil rumah ini. Perlahan ia menggeser pintu yang menjadi sekat dapur dan halaman belakang. Angin langsung menyapa wajahnya dengan lembut. Aroma pohon khas hutan bisa tercium dan membuat pikiran Naya tenang.

Sampai...

MIAWWWW!

MIAWRRRR!

BRAK!

Hendak saja ia menempatkan pantatnya untuk duduk di antara pintu geser itu sebentar, tapi suara keributan tiba-tiba membuatnya langsung berdiri. Ia tiba-tiba teringat cerita Eren mengenai kucing hitam yang sebenarnya adalah hantu. Biasanya muncul disaat hari mulai petang, dan ini adalah saat yang tepat untuk mereka muncul. Naya tahu kalau Eren hanyalah seorang anak kecil yang senang berpikir konyol, tapi kucing hitam yang sekarang sedang menatapnya ini....kenapa menatapnya tajam?!

“WAA!”

“KYAAAAAAAA!!!!!”

Hilang sudah nyali Naya untuk tinggal disini. Tubuhnya sudah meringkuk dengan sempurna di lantai kayu rumah sembari menutupi telinganya. Terakhir kali yang ia lihat tadi adalah bayangan putih yang melintas cepat dengan suara teriakan setelah kucing hitam tadi. Air matanya sudah mengalir lumayan deras sekarang.

“Wah, kelihatannya kita memiliki pendatang baru, Muffin,”

Naya mencoba untuk membuka matanya, namun hal itu tidak bisa ia lakukan karena kepalanya begitu berat. Hal yang terakhir ia lihat adalah sepasang mata kelam seperti malam dengan sorot yang tajam.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status