Share

3

Kelopak mata Naya yang terpejam mulai bergetar. Iris hazelnya terlihat sedikit demi sedikit saat ia berusaha membuka matanya yang berat. Tapi, mengapa yang ia lihat pertama kali adalah warna hitam?

'Miaw?'

“WAAAAA!”

Dengan segera ia mendudukkan tubuhnya dan memejamkan matanya erat kembali, gumpalan bulu hitam tadi sudah lari entah kemana karena terkejut juga dengan teriakan Naya. “Oh? Kau sudah sadar?” Seorang pria dengan sorot mata yang tajam muncul dengan dua gelas minuman di tangannya. Rambutnya yang senada dengan iris kelamnya entah mengapa membuat pria itu terlihat memiliki aura gelap.

“Wah, aku tidak menyangka kalau pemilik rumah ini akan kembali kesini. Padahal aku ingin menjadi penghuni tetap disini bersama muffin,” pria itu duduk dengan santainya di sofa yang terletak bersebrangan dengan posisi tidur Naya tadi, sembari sesekali menyesap minumannya. Sementara itu, Naya masih memandanginya dengan tatapan was-was. Ia tidak yakin yang berbicara di depannya ini adalah makhluk hidup.

Sesekali gadis itu mencubiti tangannya sendiri, dan menampar pelan wajahnya. Namun, tidak ada yang terjadi, pria dihadapannya tadi juga tidak hilang. Ditambah lagi, kucing hitam yang sempat kabur tadi, datang kembali dan duduk di pangkuan pria itu.

Memperburuk suasana.

“Kenapa kau diam saja? Kau masih menganggap kami penunggu rumah yang menerormu di malam hari?”

Sadar dengan dirinya yang larut dalam pikirannya sendiri, Naya langsung menggelengkan kepalanya cepat. “B-bukan begitu, tapi Anda siapa? M-memangnya benar ada penunggu di rumah ini? Saya tidak bisa percaya,” ujar Naya berusaha untuk bersikap normal dan tenang. Pria dihadapannya menautkan alisnya mendengar perkataan Naya.

“Itu memang benar adanya. Kau bisa tanya langsung ke Muffin,” katanya sembari menyodorkan kucing hitam yang seakan menatap benci ke arah Naya karena telah mengagetinya tadi.

“B-b-benarkah itu? Apa d-dia bisa bicara?”

Pria itu menghela napasnya melihat Naya berbicara dengan nada ketakutan.

“Lihatlah dirimu, katanya tidak percaya. Kau saja tadi pingsan hanya mendengar suaraku yang mengageti Muffin, bagaimana kau bisa bilang kalau kau tidak percaya?”

“Jadi, Anda berbohong?”

“Tentu saja,”

Pria itu menaruh kembali muffin di pangkuannya, dan menyesap minuman yang sempat ia letakkan di meja tadi. Sementara Naya sudah agak sebal dengan pria tak dikenal dihadapannya ini. Ia juga bingung kenapa pria ini bisa masuk dengan sesuka hatinya ke rumah orang lain hanya untuk mengageti kucing.

Tapi, jika dilihat baik-baik, entah mengapa ia mirip dengan seseorang.

Apa Naya pernah bertemu dengannya sebelumnya?

“Kenapa menatapku seperti itu?” Ujar pria itu yang peka saat dirinya ditatap begitu lama oleh Naya.

“Anda belum menjawab siapa Anda, dan kenapa memasuki rumah orang dengan seenaknya?” Kata Naya tak mau dicap sebagai pengamat wajah orang. Bisa-bisa pria dihadapannya itu kegeer an jika ditatap lama.

“Aku hanya orang lewat yang sebelumnya sering mampir kesini. Jika kau mau tau saja, namaku adalah Gavin. Kau tak perlu memanggilku dengan sebutan ‘Anda’ dan tidak perlu berbicara formal denganku,” Gavin melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam. “Aku harus kembali. Senang akhirnya bisa melihat isi rumah ini, dan terima kasih untuk tehnya,”

“Tunggu!”

Gavin memutar badannya kembali, dan memiringkan sedikit kepalanya. “Jika kau mau tau saja, namaku Naya. Lain kali bertamulah seperti orang normal!”

Laki-laki itu tersenyum untuk pertama kalinya dihadapan Naya setelah yang ditunjukkannya adalah wajah datar menyebalkan miliknya. Setelah itu ia berlalu, di ikuti Naya dibelakangnya. Jujur Naya masih merasa orang ini bisa saja aneh-aneh jika ditinggalkan sendiri.

“Ijinkan aku untuk terakhir kalinya menjadi tamu tak lazim mu,”

Benar saja. Ia meletakkan Muffin di bawah, dan memanjat dinding pagar rumah bersama kucing itu. Seperti melakukan lomba memanjat dinding. Naya membuka mulutnya tak percaya, lalu dengan cepat mengunci pintu rumahnya dan pintu geser menuju halaman belakang sebelum ada hal yang tak lazim menimpanya lagi.

***

Pukul lima pagi Naya sudah bersiap-siap untuk menuju desa. Pagi ini juga saat ia terbangun, rasanya gadis itu ingin pulang saja ke rumahnya.

Membayangkan ia setiap hari disini bersama hewan ternak cukup membuatnya tersiksa. Ia menyukai hewan, tapi tidak dengan bau kotorannya yang sangat menyengat.

Tapi, yang lebih penting daripada itu, ia sangat takut dengan ayam.

“Hanya satu bulan, Nay. Semangat!”

Ujarnya sembari membawa tas punggungnya yang sudah berisi bekal dan minum yang ia bawa. Namun, saat ia berada di halaman depan, air mancur yang kemarin tidak sempat di perbaiki olehnya dan Tian menyala. Kali ini wujudnya juga tidak banyak lumutnya seperti kemarin.

“Loh? Tapi, kan...”

Gumamannya tidak jadi ia lanjutkan ketika melihat jas putih yang nampak seperti jas lab yang tergeletak sembarangan di pinggir air mancur. Menjadikan jas itu sedikit kotor. Ia melihat nama yang ada di saku jas itu. 

Evano Gavin.

“Gavin? Bukannya itu nama...”

Naya mengingat tamu tak lazimnya kemarin, lalu menatap air mancur yang menyala dengan indahnya. “Masa dia yang memperbaiki ini?”

***

Disisi lain, klinik desa yang  mulai ramai karena ada pengecekan kesehatan secara berkala setiap bulan membuat kepala Daisy pening. Ia mengomando perawat lainnya untuk mengatur warga agar tidak berdesakan dan antri. Kepalanya tambah pening karena belum mendapati dokter sialan itu disini.

Kakinya langsung berlari menuju asrama yang disediakan untuk sukarelawan medis disini. Padahal dirinya sudah membangunkan Gavin tadi. Terakhir Daisy melihatnya ketika laki-laki itu sedang menyantap sarapannya di ruang TV.

“GAVINNNNNNNNNN!!!!!!”

Suaranya menggelegar di dalam asrama yang hening itu. Merasa tidak ada jawaban dan tanda-tanda kehidupan mendekat, Daisy langsung menuju ke ruang TV dimana Gavin terakhir terlihat. Namun saat Daisy kesanapun, tidak ada Gavin. Hanya ada piring kotor di atas meja depan televisi. Kebiasaan Gavin tidak mau mencuci piringnya sendiri.

“Awas saja! Aku bersumpah tidak akan memasak untukmu jika menemukanmu dalam keadaan yang menyebalkan,”

Tanpa berlama-lama, Daisy melangkah menuju kamar Gavin. Keadaan ‘menyebalkan’ yang ia maksud sangatlah beragam. Dari Gavin buang air besar dengan bernyanyi santai hingga ia bermain dengan Muffin adalah contoh keadaan menyebalkan yang terjadi ketika jelas-jelas Gavin masih mempunyai tugas yang ia kerjakan di klinik.

Pintu kamar Gavin berhasil dibuka, menampakkan dirinya yang sedang terlelap dengan memeluk Muffin. Daisy menggigit bibir bagian bawahnya kesal.

“BANGUN SIALAN!!”

Suara perawat itu sukses membuat keduanya, baik Muffin maupun manusia yang memeluknya terkejut. Muffin langsung melarikan diri keluar dari kamar, sementara Gavin masih menyipitkan matanya untuk menstabilkan pengelihatan.

“Kenapa teriak-teriak, sih? Harus, ya, kau membangunkanku seperti ini?” Ujarnya dengan nada sebal, sementara Daisy membalasnya dengan memutar bola matanya malas. “Kalau kau tidak dibangunkan seperti ini, pasien yang ada di klinik akan semakin menumpuk. Mereka juga akan kelelahan mengantri hanya karena menunggu dokter sialan sepertimu,” sarkras Daisy.

“Oh memangnya sudah mulai? Kukira ini masih jam enam,”

“KAU –“

Daisy menarik napasnya dalam-dalam, lalu membuangnya. Ia bisa menjadi wanita yang berani mencakar wajah tampan Gavin sekarang. Itulah kelebihan Daisy, tidak tertarik dengan ketampanan Gavin.

“Sudahlah sekarang segera ganti baju dan pakai jas mu,”

“Jas?”

Daisy menautkan alisnya, “Iya, jas. Kenapa kau nampak seperti orang bingung?”

“Memangnya, dimana jas ku?”

“APA?! Kenapa juga kau bertanya –“

Daisy memijit pelipisnya pelan, ia membuang napasnya berkali-kali agar darahnya tidak naik dengan percuma hanya untuk meladeni orang dihadapannya ini.

“Pakai kemeja saja. Cepat ganti, aku akan ke klinik sekarang,”

Daisy melenggang pergi dengan cepat, meninggalkan Gavin yang menatapnya aneh. Tidak biasanya Daisy berlaku agak lunak seperti ini padanya. Mungkin wanita itu mendapat surat dari tunangannya yang ada di kota. Gavin mengendikkan bahu tak peduli, berusaha menepis pikiran tidak penting yang terlintas.

Gavin lewat pintu belakang klinik untuk menghindari para antrian. Ia tidak suka jika harus meladeni beberapa ibu-ibu yang selalu mengajakknya untuk makan malam bersama di rumah mereka. Itu akan merepotkan, meski Gavin pernah menerimanya dua kali karena tidak dapat jatah makan dari Daisy yang mengamuk.

“Wah-wah, ini yang namanya dokter? Becus sekali kerjanya, hingga terlambat sampai tiga puluh menit,” seorang laki-laki dengan wajah mengejek sudah ada dalam ruangannya. Nampaknya ia pasien pertama yang akan di tangani Gavin.

“Kenapa wajahmu pertama kali yang kulihat disini? Apa aku sedang sial?” Ujar Gavin malas, sembari merebut buku tebal kedokteran yang sedang dibaca anak laki-laki itu.

“Enak saja bilang aku sial –“

“Baiklah pasien, apa ada yang anda keluhkan akhir-akhir ini?”  Gavin sengaja menekan kata ‘pasien’ agar laki-laki itu menjadi sebal. Zoe sangat benci jika harus dipanggil pasien oleh Gavin.

“Lihat saja, suatu saat aku juga bisa memanggil seseorang ‘pasien’,” ujar Zoe memutar bola matanya malas. “Maaf, ya Zoe tapi aku ini bukan psikolog yang harus mendengar curhatanmu. Mari kita percepat ini agar kau bisa kembali ke realita mu,” Gavin menarik wajah Zoe, dan dengan paksa membuka mulutnya. Ia mulai melihat kondisi dalam mulutnya.

“Kelihatannya panas dalam yang kau keluhkan beberapa hari lalu sudah hilang. Minumlah yang banyak dan kurangi gorengan,” kata Gavin sembari mengisi catatan kesehatan milik Zoe. Sementara itu, Zoe hanya diam memandangi Gavin yang entah mengapa sekarang terlihat keren. Ia benci mengatakannya, tapi ia ingin menjadi seperti Gavin.

“Kenapa memandangku seperti itu? Kau membuatku merinding,”

“Boleh aku tinggal disini selama pengecekan untuk membaca buku-buku mu?”

Gavin menghentikan tangannya, lalu memandang laki-laki yang lebih muda darinya itu dengan tatapan datar. “Lalu, bagaimana dengan pekerjaanmu di kandang ayam?”

“Tidak masalah. Aku dengar dari Ayah kalau ada sukarelawan yang membantu hari ini dan seterusnya selama satu bulan,” ujar Zoe sembari menatap Gavin penuh harap. Berharap pria itu mengizinkannya untuk tinggal disini sebentar setidaknya tiga puluh menit.

Gavin menautkan alisnya. Ia menelusuri ingatannya tentang sukarelawan itu, sepertinya ia mendengar samar-samar ini kemarin dari kepala desa. Danar memberi tahunya kalau sukarelawan itu adalah seorang gadis yang tinggal di rumah dekat tangga ke lima puluh.

Gadis.

Rumah.

Tangga ke lima puluh.

Gavin langsung menggebrak mejanya, membuat yang ada di hadapannya mengeluarkan kata umpatan dengan mulusnya. “Kenapa sih kau membuatku kaget?!!”

“Hey, apa kau sudah gila?! Kau menyuruh seorang gadis bekerja sendirian di peternakan? Tidak, kau tidak boleh disini. Sekarang cepat kembali ke habitatmu!” Gavin mendorong paksa Zoe keluar dari ruangannya.

“Seorang gadis? Tapi, kenapa bibi juga melakukannya sendiri –“

Brak!

Pintu sudah ditutup terlebih dahulu oleh Gavin. Ia menghela napasnya lega karena sudah tidak ada lagi penggangu yang akan duduk dan berkomentar sepanjang pengecekan di ruangannya. Pernah sekali ia mengizinkan Zoe untuk tinggal dan membaca beberapa buku kedokteran miliknya, tapi setiap pasien berganti Zoe akan mengejek Gavin dengan menyebutnya ‘sok keren, padahal tidak becus,’ setiap saat. Untunglah ide ‘sok peduli terhadap wanita’ milik Gavin muncul sehingga ia bisa mengusir Zoe.

Tapi, mengenai perkataan Danar. Kenapa Gavin baru ingat sekarang? Ia bahkan kemarin sempat kaget mendapati rumah tersebut lampunya menyala. Biasanya, Danar juga akan mengajaknya bersama Daisy jika ada orang baru pindahan.

Apa dia melewatkan sesuatu kemarin?

Oh, ya. Dia baru ingat bahwa sebelum jam makan siang kemarin ia tidur dan mengunci kamarnya agar Daisy tidak meneriakinya dari radius yang dekat. Maka dari itu ingatannya samar-samar mengenai informasi yang diberikan Danar setelah ia bangun tidur di sore harinya.

“Ah, sudahlah. Mari lanjut bekerja,”

***

Naya hampir menangis rasanya mengambil butir demi butir telur ini seharian. Ia harus bekerja sendirian karena yang lain masih ada cek kesehatan di klinik desa. Bau kotoran ayam yang khas dan bulu ayamnya kadang membuat ia bersin berkali-kali.

Pak Jaya yang tadi mengarahkannya juga belum kembali dari kandang sapi. Kata beliau jika sudah selesai dengan masalah sapi, beliau akan membantu Naya disini. Tapi, satu jam berlalu dan Pak Jaya belum kembali.

Sebenarnya, sedari Naya tahu bahwa dirinya akan ditempatkan di kandang ayam, dirinya hampir protes. Tapi, kebaikan Jaya sudah meluluhkan hatinya. Pria paruh baya itu hanya memberinya pekerjaan mengambil telur saja, bukan membersihkan kotoran.

“Ayolah, Nay. Kamu bisa! Harusnya kamu juga bersyukur!” Ujar Naya sembari mencoba mengambil telur-telur yang ada di bagian paling ujung.

Ia mengambil telur-telur itu dengan rengekan dan umpatan yang ditujukan kepada kakaknya. Pikirannya sudah negatif tentang ide Tian ini dari kemarin tepat saat melihat kondisi rumah yang ia tempati sebelumnya. Pikiran negatif itu semakin sempurna ketika ia mendengar dari kakaknya bahwa ia akan jadi sukarelawan di desa ini dengan alasan, desa ini akan menerima orang luar jika ia adalah sukarelawan.

“Hah! Kenapa harus seperti ini? Apa sebaiknya aku pasrah menikah saja, ya?” Ujarnya lemas. Omong-omong soal menikah, Naya masih belum tahu siapa laki-laki yang akan melamarnya nanti. Tian sudah berjanji, bahwa selama Naya disini, ia akan mencari informasi tentang laki-laki itu.

Gadis itu jadi kepikiran. Kenapa mendadak Ibunya mengadakan pertunangan untuk Naya? Apa Naya hanya anak perempuan yang dibesarkan untuk  keuntungan perusahaan keluarga? Lihat, Naya kembali berpikiran negatif. Ini membuatnya sesak kembali. Ia sudah mencoba berpikiran positif mengenai orang tuanya, tapi ia tak punya cukup bukti untuk tetap berpikiran positif terhadap mereka.

Ia meletakkan keranjang yang penuh dengan telur, lalu merogoh saku celananya. Mengambil benda pipih yang kemarin malam belum sempat ia pegang. Berharap di pedesaan ini ada sinyal atau hal semacamnya yang dapat membuat tangga kecil di layar ponsel Naya penuh.

“Wah, hebat sekali. Apa tangga sinyal nya sedang ada perbaikan sampai di depannya ada tanda silang,” Naya mencoba berjinjit dan menggerak-gerakkan ponselnya di atas. Berharap ada satu saja anak tangga yang muncul.

“Ish! Ini tidak berhasil,” decaknya sebal sembari berjongkok pasrah.

Tiba-tiba, suara pintu kandang terdengar, membuat Naya langsung menoleh. Ia mendapati anak laki-laki yang sedang tersenyum canggung ke arahnya. Ia menggendong ayam yang entah ia bawa dari mana.

“Halo, kakak pasti sukarelawan disini?” Ujar Zoe seramah mungkin. Mata bulatnya kini melengkung, seakan tersenyum bersama bibirnya.

Naya langsung memasukkan ponselnya kedalam saku, lalu menghampirinya dengan senyuman. “Ah, iya benar. Apa ada yang bisa ku bantu?” 

Zoe menggeleng lucu, membuat Naya menahan hasrat mencubit pipi milik Zoe yang agak tembem dan putih. Zoe memang sangat imut dengan mata bulat, bibir tipis, dan hidung yang mungil, tapi tinggi badan Zoe membuat orang-orang di sekitarnya langsung ingat dengan usianya yang enam belas tahun sekarang.

“Aku....”

“Iya?”

Zoe nampak berpikir sebentar, ia memainkan bulu ayam yang ia gendong sebelum menatap Naya lagi. “...boleh bicara tidak formal dengan kakak?”

Hati Naya rasanya ingin meledak. Bagaimana ada seseorang yang seimut Zoe. Naya tersenyum, “Iya, silahkan. Kau juga bisa memanggilku Naya, aku agak ehm aneh kalau dipanggil kakak. Soalnya aku anak bungsu,”

“Ah, jangan. Tidak sopan rasanya, aku akan panggil kakak ‘Kak Naya’ saja,” Zoe mengulurkan tangannya sebagai formalitas bahwa mereka sudah berkenalan sekarang dan akan menjadi teman kerja satu bulan kedepan.

“Okei, rasanya aneh mendapat adik secara tiba-tiba begini,” ujar Naya sembari mengulurkan tangannya hendak menjabat uluran tangan Zoe. Ia bahkan lupa bahwa ayam yang sedang dalam gendongan Zoe sedang menatap tajam ke arahnya, sampai...

POK!POK!

Ayam di gendongan Zoe mematok tangan Naya dan bergerak-gerak tidak sabar seakan ingin segera membuat Naya sebagai target yang akan di kejarnya. Naya yang terkejut dengan rasa patokan tadi langsung berteriak, tubuhnya mulai mengeluarkan keringat dingin. Fobianya terhadap ayam yang agresif mulai merasuki tubuhnya.

“Woa, woa, tenang Hunter! Jangan membuat takut Kak Nay –“

Hunter berhasil lepas akhirnya dan menghampiri Naya dengan kecepatan turbo. Naya yang melihat itu malah tidak bisa lari, napasnya sesak, rasanya ia ingin pingsan. Entah apa yang terjadi nanti biarlah terjadi. Terakhir yang dilihat gadis itu adalah Hunter yang sudah siap mematoknya dan suara Zoe.

“Hunter ayam sialan nakal!! Kemari kau!!”

***

“Hei, lihat! Aku bisa mengambil satu anak ayam itu untukmu,” seorang anak laki-laki berkata dengan percaya dirinya kepada gadis kecil yang duduk di bawah pohon. Deretan giginya terlihat kala ia tersenyum lebar, tapi wajahnya tertutup oleh topi yang ia kenakan.

“Untuk apa kau mengambilkan aku anak ayam? Kalau kau mengambilnya, nanti induknya bisa marah dan mengejar kita! Apa kau bodoh?!” Ujar gadis kecil  yang menepuk-nepuk dress penuh dengan motif bunga yang ia kenakan. Ia bersiap pergi, dan tak mempedulikan anak laki-laki itu.

Tapi, belum saja genap enam langkah, suara teriakan dari belakang mengagetkannya. Benar saja anak laki-laki itu menangis sambil berlari ke arahnya, di belakang anak itu sudah ada induk ayam yang siap mematoknya kapan saja.

“Woa, jangan kemari! Jangan kemari! Kenapa kau malah berlari ke arahkuu!!!”

“Ah! Sudahlah jangan malah memarahiku. Ayo lari bersamaku, kalau kau mau selamat!”

Anak laki-laki itu menarik tangan gadis kecil yang sempat berhenti di jalan pulangnya. Mereka berlari bersama sembari menangis.

“KAU BODOH!!!”

“MAAF!!”

***

Naya membuka matanya dengan napas terengah-engah. Keringat membasahi tubuhnya. Mimpi apa ia tadi? Random sekali. Bermimpi tentang anak-anak yang dikejar ayam.

Oh, iya.

Ia pasti baru saja pingsan karena ayam tadi. Ia terkejut saat melihat jam dinding menunjukkan pukul lima sore. Ia belum menyelesaikan semua pekerjaannya di kandang ayam. Dengan panik, gadis itu langsung membuang selimutnya ke ujung tempat tidur dan mencoba berlari dengan keseimbangan yang belum stabil.

Tapi langkahnya menuju pintu ruangan terhalang dengan tangan yang tiba-tiba terpalang pada pintu. Ia mendapati Gavin berdiri disana. Tatapannya datar seperti biasa.

“Kau mau kemana?”

“Mau kembali ke peternakan. Pekerjaanku belum selesai,” mohon Naya. Ia tidak ingin kalau besok ia ditambahi pekerjaan karena dinilai tidak becus menjalankan tugasnya hari ini.

“Kau tidak lihat langitnya mulai berwarna jingga? Kau mau apa hampir petang ke kandang ayam? Kau mau dituduh mencuri telur, ha?” ucapan menusuk Gavin mulai keluar dengan mulusnya.

“Dan lagi....”

Gavin berjalan mendekati Naya, sementara gadis itu terus mundur hingga langkahnya terhenti ketika ada kursi di belakangnya. Tanpa di duga, Gavin memberi dorongan pelan pada bahu Naya, sehingga gadis itu terhuyung dan duduk tepat pada kursi di belakangnya.

“...dengan kondisi seperti ini? Kau benar-benar selalu memaksa dirimu, ya.” Ujar Gavin mengingat kemarin Naya juga melakukan hal yang serupa. Memaksa dirinya untuk pura-pura tidak takut terhadap hantu.

Naya menghela napas pelan, dan menatap Gavin sebal. Kenapa selalu pria ini yang ia lihat setelah ia bangun dari pingsan. Kenapa juga pria ini selalu bisa membuat Naya mau tidak mau mengatakan hal yang jujur.

“Oke, iya, aku akan beristirahat disini. Puas?” Naya melipat kedua tangannya di depan dada. Gavin yang melihat gadis di hadapannya mulai sebal menghela napasnya berat, “Siapa yang suruh kau beristirahat disini? Aku hanya melarangmu ke kandang, bukan melarangmu untuk pulang. Klinik sudah tutup, dan aku juga mau pulang. Hari ini tidak ada jam malam,"

Gavin mulai membereskan berkas-berkas yang berserakan di atas meja kerjanya, lalu kesana kemari sibuk menata ini itu. Seakan ia menunjukkan bahwa klinik benar-benar tutup, dan memberi kode agar Naya segera pulang. Namun gadis itu tidak sedikitpun bergerak dari tempat duduknya, ia hanya menatap gerakan Gavin yang entah sibuk atau hanya pura-pura agar ia dapat mengusirnya dengan aman.

Merasa di tatap, laki-laki itu mengalihkan pandangannya ke arah Naya berada,

“Kenapa kau masih disini?” dagunya ia gerakkan maju ke arah pintu. Sekali lagi menunjukkan bahwa Naya harus benar-benar pulang.

“Aku pasien. Kau tidak lihat aku masih lemas?”

“Tapi, kau masih bisa jalan pulang dengan sisa ener –“

“KAK NAYA!!”

Tiba-tiba Zoe masuk dengan teriakan yang cukup mengagetkan dua insan yang hampir saja bersilat mulut di dalam ruangan tersebut. Naya yang melihat Zoe langsung tersenyum dan melambaikan tangannya.

‘Hhh, kapan aku bisa pulang?'

Gavin memijit kepalanya pening.

“Kak Naya gapapa? Maaf yaa, gara-gara aku dan Hunter, kakak jadi pingsan. Aku tidak tahu kalau kakak memiliki fobia terhadap ayam. Lagi pula, kenapa kakak juga tidak bilang pada ayah agar mengerjakan pekerjaan yang jauh dari kandang ayam?” Zoe mengatakan itu semua sambil menggenggam tangan Naya erat, seakan ia sangat merasa bersalah kepada Naya. Gadis itu terkekeh dan tidak bisa menolong dirinya untuk tidak menarik kedua pipi Zoe.

“Sudahlah, lagipula aku tidak mungkin protes kepada Ayahmu, kan? Beliau sudah memberiku pekerjaan yang ringan,”

“Hei, kalian berdua. Apa kalian bisa maaf-maafannya di luar? Klinik sudah tutup,” suara Gavin tiba-tiba menginterupsi mereka berdua. Zoe memalingkan wajahnya ke arah Gavin dan memberi tatapan tajam.

“Dasar, bagaimana bisa seorang dokter mengusir pasien dan penjenguk? Dokter macam apa kau?”

“Kalau klinik sudah tutup ya tutup. Kalau kau ada keluhan kesehatan aku akan memeriksamu sekarang, tapi kalau tidak ada pulanglah ke rumahmu dan kerjakan PR mu. Atau kau mau tidur disini? Aku akan mempekerjakanmu sebagai satpam,”

Naya menatap keduanya bergantian, ia tidak tahu kalau Zoe dan Gavin adalah kucing dan tikus yang sering bertengkar. Ia tidak mengira Zoe adalah anak yang juga pandai mengkritik seseorang dengan kritikan pedas. “Sudahlah, ayo kita pulang ke rumah semua. Sebelum hari mulai gelap,” ujar Naya. Mengingat rumahnya melewati tangga yang tidak ada lampu jalannya.

Mereka semua keluar bersama pada akhirnya, meskipun dua orang laki-laki yang ada di belakang Naya tetap saling mengejek dan merendahkan dari keluar ruangan hingga Gavin mengunci klinik. Setelah itu, Gavin meninggalkan mereka berdua, ia berjalan duluan ke arah asrama yang tak jauh dari kliniknya.

“Kak Naya mau kuantar pulang? Jalanan tangga di malam hari sangatlah gelap,”

Naya berpikir sejenak. Ia merasa tak enak juga kalau harus diantar oleh Zoe, ia juga tidak boleh kelihatan seperti seorang penakut di hadapa Zoe. Itu akan sangat memalukan baginya. Tapi, sisi lain dirinya memberontak agar meng-iyakan tawaran Zoe.

“Ehm, Zoe, apa di desa ini tidak ada sinyal?” Akhirnya Naya malah mengalihkan pertanyaan Zoe dengan pertanyaan lain yang tidak nyambung. Biarlah, toh Naya juga sebenarnya penasaran mengenai keadaan sinyal disini.

“Ah, penduduk disini jarang menggunakan ponsel atau telepon, jadi kami memutuskan untuk tidak membangun tower sinyal. Tidak banyak anak muda sepertiku yang ada disini, dan aku sendiri juga tak memiliki ponsel. Biasanya,  jika ingin menghubungi seseorang, kami akan menggunakan surat dan mengirimnya ke kantor pos yang ada di kota kecil dekat sini,” ujar Zoe.

Naya terkejut dengan fakta yang dibeberkan Zoe barusan. Ia kembali mengutuk nama kakaknya dalam benak. Tempat ini benar-benar seperti tempat terisolasi. Apa Tian tidak memikirkan bagaimana cara mengabari Naya disini? Apa dia tidak khawatir? Oh, ayolah kapan Naya akan berhenti berpikiran negatif jika seperti ini.

“Kalau kakak membutuhkan sinyal untuk menghubungi seseorang lewat ponsel, sebenarnya ada satu cara,”

Naya langsung membuyarkan lamunannya, dan menoleh cepat ke arah Zoe. “Katakan, bagaimana caranya?”

“Menuju ke kota adalah satu-satunya cara, tapi memakan waktu tiga puluh menit kalau kita bersepeda kesana,”

“Apa disini tidak ada yang mempunyai motor atau mobil?”

Zoe nampak berpikir sejenak, lalu tiba-tiba saja ekspresinya berubah menjadi kesal. Nama Gavin adalah satu-satunya yang terlintas di pikirannya sekarang, karena penduduk disini suka bersepeda ke kota. Sungguh desa yang sehat.  “Ada satu orang, tapi aku tidak yakin Kak Naya akan menerimanya,”

“Gavin?”

Hanya anggukan yang Zoe tunjukkan sebagai jawaban.

Naya menghela napasnya berat, setelah itu mendecak kesal. Ia malas sekali kalau harus berurusan dengan pria yang dapat membuat dirinya darah tinggi hanya dengan bertatap muka walau itu lima menit.

Tapi, setelah dipikir lagi, Naya sangat butuh siynal. Ia malas melakukan aktivitas seperti bersepeda selama enam puluh menit pergi-pulang karena sudah malam. Baiklah, mungkin ia akan berdamai dengan rasa kesalnya terhadap Gavin sejenak. 

 

Tapi, bagaimana caranya agar membujuk pria itu agar mau mengantarnya?

Naya memutar otaknya, berusaha mencari ide. Sepuluh detik berlalu, dan yang terlintas adalah jas lab milik Gavin.

“Ah! Aku menemukan caranya. Terimakasih, ya, Zoe! Gavin tinggal di asrama itu kan?”Naya menunjuk sebuah rumah yang tidak jauh dari klinik desa. Setelah Zoe mengangguk, gadis itu segera pergi ke asrama.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status