Share

5.

Hasan terus menarik tanganku kasar sampai ke halaman rumah, menyuruhku masuk ke dalam mobilnya setelah ia membukakan pintu mobil untukku. 

"Masuk!" titahnya sekali lagi nyaris membentak. 

Aku mengangguk pasrah karena tak ingin semakin membuatnya tambah marah. Setelah aku masuk, tak lama kemudian Hasan pun menyusul masuk ke dalam, lebih tepatnya duduk di kursi kemudi. 

Ia menoleh ke arahku dan hendak memasangkan sabuk pengaman padaku, tapi dengan cepat ku tepis tangannya yang sudah terulur. "Aku bisa sendiri!" kataku tegas.

Hasan tak mengatakan apapun atas penolakanku, tapi dari tatapan matanya aku tau jelas jika dia tidak suka di bantah ataupun di tolak. 

Sisi pemaksa dalam dirinya begitu kuat, seakan dia yang paling berkuasa atas segala hidupku. Begitulah aku mendefinisikannya.

"Kau semakin membangkang sekarang ya." cibir Hasan mengomentari diriku. 

Aku balas menatap tajam dirinya, "jika sudah seperti itu seharusnya kau tau, bahwa aku sudah bosan hidup dalam lingkaran gilamu ini!" 

"Kau bosan hidup?" ulangnya seakan tak mengerti maksud arah pembicaraanku.

"Bukan itu! Aku rasa seharusnya kau mengerti, karena kau adalah orang yang sangat cerdas. Bukan, lebih tepatnya licik." 

Hasan tertawa mendengarnya, lagi-lagi aku di buat bingung oleh si berengsek ini. Kenapa setiap perkataanku di anggap lelucon olehnya?! 

"Sebenarnya ada masalah apa kau dengan Davira?" tanya Hasan terlihat penasaran.

"Mana aku tau," kataku mengendikkan kedua bahu.

"Kau yakin?" 

"Ya!" 

"Tapi, aneh saja jika tiba-tiba gadis itu membencimu. Aku sangat mengenalnya, bahkan aku sangat tau sifat dan watak semua sepupuku. Jadi, rasanya aneh saja kalau tiba-tiba Davira sangat membencimu seperti ini." 

"Aku tidak tau!" kataku lagi, "demi Tuhan, aku tidak tau Hasan."

Hasan menyipitkan matanya seakan masih menaruh curiga padaku. "Apakah menurutmu, Davira tau mengenai yang terjadi di antara kita berdua?" 

"Apa?!" aku membelalakkan mataku kaget. "Kau serius?" 

Melihat aku yang malah kebingungan dan panik, Hasan menarik kembali kesimpulannya itu. "Tidak, aku hanya menduga saja, siapa tau jika Davira mengetahui rahasia kita." 

Aku bernapas lega, ku pikir apa yang di katakan Hasan itu sungguhan. Wajar sih jika Hasan berpikiran begitu, melihat cara Davira yang mengataiku jalang. 

Tapi, seandainya saja Davira tau mengenai aku dan Hasan. Maka bisa di pastikan jika gadis itu akan mengatakannya pada seluruh keluarga.

"Seharusnya kau tadi mendengarkan aku, jika aku tidak ingin ikut datang kesini." ucapku menatap rumah keluarga Atmadja. 

"Jangan di bahas lagi," kata Hasan sebelum menghidupkan mesin mobilnya dan melajukannya dengan kecepatan sedang meninggalkan rumah megah itu.

Sepanjang perjalanan hanya di isi keheningan diantara kami berdua. Hasan yang tampak fokus menyetir dan sesekali melihat ke arah jalanan. Tak sekalipun ia menoleh melihat ke arahku, seolah-olah ia menganggapku tak ada di sisinya saat ini. 

Sial!!! 

Aku merutuki diriku sendiri yang bisa-bisanya malah berharap ingin di perhatikannya. Tidak, tidak, aku rasa aku mulai gila karena tak mendapat perhatian dari Hasan. 

Ponsel Hasan berbunyi, lelaki itu berusaha mengambil ponselnya yang terletak di dashboard mobil.

"Biar aku saja," kataku mengambil alih ponsel itu. 

"Kau saja yang angkat." kata Hasan menyuruhku.

Aku memekik kaget dan memberitahu Hasan siapa orang yang menelponnya. "Ayah Nando," kataku lirih. 

Hasan mendengkus seraya memberhentikan mobilnya di tepi jalan, tangannya terulur meminta ponselnya dariku.

"Hal—" belum semua Hasan menyelesaikan sapaan pada orang di seberang telepon, ku lihat Hasan menjauhkan ponsel tersebut dari telinganya.

Aku menduga jika ayah Nando tengah berteriak makanya Hasan melakukan tindakan itu. 

"Bisakah tidak berteriak?!" kata Hasan sengit, "ada apa menelponku?" tanya Hasan. 

Aku tidak bisa begitu mendengar jelas apa yang di katakan ayah Nando pada Hasan. Tapi, melihat raut wajah Hasan yang berubah menjadi serius, aku menduga jika tengah terjadi sesuatu hal yang sangat serius. 

"Apakah Ayah menghubungi paman Ridwan?" tanya Hasan.

Hei, itu nama bapakku. Mengapa Hasan menyebut nama bapak dalam percakapannya bersama ayah Nando lewat panggilan telepon. 

Ada apa ini?! batinku gusar. 

"Apakah urusan di rumah papa Dava sudah selesai?" lagi-lagi Hasan bertanya. 

"Ya, aku sedang bersamanya saat ini. Uhm, baiklah, kami akan kesana nanti." ucap Hasan yang tak lama ia mematikan sambungan telepon. 

"Ada apa?" aku langsung menyerbu Hasan dengan pertanyaan. 

"Gawat! Sangat kacau!" kata Hasan semakin membuatku panik.

"M-maksudnya? Tolong katakan, ada apa sebenarnya?" 

Hasan tidak menjawab pertanyaanku, dan ia kembali menjalankan mobilnya setelah sebelumnya sudah menghidupkannya terlebih dahulu.


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status