Hasan terus menarik tanganku kasar sampai ke halaman rumah, menyuruhku masuk ke dalam mobilnya setelah ia membukakan pintu mobil untukku.
"Masuk!" titahnya sekali lagi nyaris membentak.
Aku mengangguk pasrah karena tak ingin semakin membuatnya tambah marah. Setelah aku masuk, tak lama kemudian Hasan pun menyusul masuk ke dalam, lebih tepatnya duduk di kursi kemudi.
Ia menoleh ke arahku dan hendak memasangkan sabuk pengaman padaku, tapi dengan cepat ku tepis tangannya yang sudah terulur. "Aku bisa sendiri!" kataku tegas.
Hasan tak mengatakan apapun atas penolakanku, tapi dari tatapan matanya aku tau jelas jika dia tidak suka di bantah ataupun di tolak.
Sisi pemaksa dalam dirinya begitu kuat, seakan dia yang paling berkuasa atas segala hidupku. Begitulah aku mendefinisikannya.
"Kau semakin membangkang sekarang ya." cibir Hasan mengomentari diriku.
Aku balas menatap tajam dirinya, "jika sudah seperti itu seharusnya kau tau, bahwa aku sudah bosan hidup dalam lingkaran gilamu ini!"
"Kau bosan hidup?" ulangnya seakan tak mengerti maksud arah pembicaraanku.
"Bukan itu! Aku rasa seharusnya kau mengerti, karena kau adalah orang yang sangat cerdas. Bukan, lebih tepatnya licik."
Hasan tertawa mendengarnya, lagi-lagi aku di buat bingung oleh si berengsek ini. Kenapa setiap perkataanku di anggap lelucon olehnya?!
"Sebenarnya ada masalah apa kau dengan Davira?" tanya Hasan terlihat penasaran.
"Mana aku tau," kataku mengendikkan kedua bahu.
"Kau yakin?"
"Ya!"
"Tapi, aneh saja jika tiba-tiba gadis itu membencimu. Aku sangat mengenalnya, bahkan aku sangat tau sifat dan watak semua sepupuku. Jadi, rasanya aneh saja kalau tiba-tiba Davira sangat membencimu seperti ini."
"Aku tidak tau!" kataku lagi, "demi Tuhan, aku tidak tau Hasan."
Hasan menyipitkan matanya seakan masih menaruh curiga padaku. "Apakah menurutmu, Davira tau mengenai yang terjadi di antara kita berdua?"
"Apa?!" aku membelalakkan mataku kaget. "Kau serius?"
Melihat aku yang malah kebingungan dan panik, Hasan menarik kembali kesimpulannya itu. "Tidak, aku hanya menduga saja, siapa tau jika Davira mengetahui rahasia kita."
Aku bernapas lega, ku pikir apa yang di katakan Hasan itu sungguhan. Wajar sih jika Hasan berpikiran begitu, melihat cara Davira yang mengataiku jalang.
Tapi, seandainya saja Davira tau mengenai aku dan Hasan. Maka bisa di pastikan jika gadis itu akan mengatakannya pada seluruh keluarga.
"Seharusnya kau tadi mendengarkan aku, jika aku tidak ingin ikut datang kesini." ucapku menatap rumah keluarga Atmadja.
"Jangan di bahas lagi," kata Hasan sebelum menghidupkan mesin mobilnya dan melajukannya dengan kecepatan sedang meninggalkan rumah megah itu.
Sepanjang perjalanan hanya di isi keheningan diantara kami berdua. Hasan yang tampak fokus menyetir dan sesekali melihat ke arah jalanan. Tak sekalipun ia menoleh melihat ke arahku, seolah-olah ia menganggapku tak ada di sisinya saat ini.
Sial!!!
Aku merutuki diriku sendiri yang bisa-bisanya malah berharap ingin di perhatikannya. Tidak, tidak, aku rasa aku mulai gila karena tak mendapat perhatian dari Hasan.
Ponsel Hasan berbunyi, lelaki itu berusaha mengambil ponselnya yang terletak di dashboard mobil.
"Biar aku saja," kataku mengambil alih ponsel itu.
"Kau saja yang angkat." kata Hasan menyuruhku.
Aku memekik kaget dan memberitahu Hasan siapa orang yang menelponnya. "Ayah Nando," kataku lirih.
Hasan mendengkus seraya memberhentikan mobilnya di tepi jalan, tangannya terulur meminta ponselnya dariku.
"Hal—" belum semua Hasan menyelesaikan sapaan pada orang di seberang telepon, ku lihat Hasan menjauhkan ponsel tersebut dari telinganya.
Aku menduga jika ayah Nando tengah berteriak makanya Hasan melakukan tindakan itu.
"Bisakah tidak berteriak?!" kata Hasan sengit, "ada apa menelponku?" tanya Hasan.
Aku tidak bisa begitu mendengar jelas apa yang di katakan ayah Nando pada Hasan. Tapi, melihat raut wajah Hasan yang berubah menjadi serius, aku menduga jika tengah terjadi sesuatu hal yang sangat serius.
"Apakah Ayah menghubungi paman Ridwan?" tanya Hasan.
Hei, itu nama bapakku. Mengapa Hasan menyebut nama bapak dalam percakapannya bersama ayah Nando lewat panggilan telepon.
Ada apa ini?! batinku gusar.
"Apakah urusan di rumah papa Dava sudah selesai?" lagi-lagi Hasan bertanya.
"Ya, aku sedang bersamanya saat ini. Uhm, baiklah, kami akan kesana nanti." ucap Hasan yang tak lama ia mematikan sambungan telepon.
"Ada apa?" aku langsung menyerbu Hasan dengan pertanyaan.
"Gawat! Sangat kacau!" kata Hasan semakin membuatku panik.
"M-maksudnya? Tolong katakan, ada apa sebenarnya?"
Hasan tidak menjawab pertanyaanku, dan ia kembali menjalankan mobilnya setelah sebelumnya sudah menghidupkannya terlebih dahulu.
Hasan sama sekali tak menjawab pertanyaanku, aku yang panik pun semakin bertambah berkali-kali lipat paniknya. Jelas saja! Bagaimana mungkin tidak panik jika dengan tiba-tibanya ayah Nando menghubungi Hasan dan menyuruh kami berdua menuju ke rumahnya.Di tambah lagi tadi percakapan keduanya mengkaitkan bapakku. Anak mana yang tidak khawatir jika orang tuanya ikut di seret dalam hal yang tidak di ketahui apa maksudnya."Hasan, katakan padaku, sebenarnya ada apa?" aku mencoba peruntungan dengan bertanya sekali lagi pada Hasan. Siapa tau pria ini mau menjawabnya demi rasa penasaranku.Ku lihat Hasan berdecak kesal, entah pada siapa, namun ku yakini jika ia kesal karena aku yang terus bertanya mengenai hal itu."Bapakmu kenapa centil sekali sih, pakai acara menelpon ayahku segala." kata Hasan yang ku tafsirkan sebagai gerutuan."A-apa?" kagetku dengan suara terbata."Mana bertanya mengenai keberadaanmu lagi, bahkan paman Ridwan menga
Hasan pov.Aku membencinya, membenci anak dari wanita gila yang dulu hampir pernah menghancurkan rumah tangga kedua orang tuaku. Mengapa aku bisa tau? Hal ini tak sengaja aku dengar dari para orang tua yang saat itu saling bercerita.Awalnya aku tidak membenci Ayesha, tapi semenjak mengetahui itu amarahku naik begitu pesat setiap kali melihatnya hingga sebuah ide jahat muncul di pikiranku.Entah karena tengah di liputi oleh amarah dan kebencian aku membelenggu dirinya ke dalam sebuah ikatan hubungan gila yang sudah ku rencanakan. Lewat menjebak dirinya dalam satu malam yang sengaja ku lakukan membuatnya terpaksa menjadi budak ku, dan aku menjadi tuannya.Budak yang harus selalu mau menuruti segala keinginan dan perintahku, apapun itu ia harus selalu mematuhinya. Kalau tidak maka dia akan mendapatkan akibatnya dari penolakannya tersebut.Hingga tanpa terasa dan sadari, hubungan
Malam hari, jam pulang kerja dari kantor Ayesha langsung memutuskan untuk pulang ke rumah dengan gerakan terburu-buru mengindari Hasan.Namun sepertinya Tuhan sedang tak berpihak padanya, jadi meskipun Ayesha sudah berusaha untuk bergerak cepat menghindari Hasan. Nyatanya pria itu lebih dulu menemukannya."Menghindariku?" tanya Hasan dengan senyumsmirknya.Menelan ludah kasar Ayesha menggelengkan kepalanya, menjawab dengan terbata. "T-tidak."Lagi-lagi Hasan menyeringai, merasa lucu melihat Ayesha yang tengah mencoba menipunya. "Kau tidak pandai berbohong Ayesha." cibirnya tersenyum sinis mengejek Ayesha.Ayesha mengerjapkan matanya sebanyak beberapa kali, merasa tak bisa mengelak akan tuduhan Hasan yang mendasar itu. Memang benar adanya jika Ayesha tengah berdusta."Kau ingin pulang?" tanya Hasan lagi saat melihat Ayesha hanya diam. "Ayo pulang bersamaku." ajak H
"Turunlah, sepertinya malam ini aku harus merelakanmu tidur di rumah. Karena tak mungkin bagiku membawamu ke apartemenku, maka itu akan semakin menimbulkan kecurigaan." kata Hasan masih dengan tangannya yang membelai rambutku.Aku mengangguk sebagai tanda setuju pada apa yang di ucapkannya, Hasan melepaskan tangannya dari kepalaku. "Turunlah," titahnya sekali lagi.Tak membuang waktu lebih lama lagi karena takut Hasan berubah pikiran, aku turun dari dalam mobilnya."Terima kasih sudah mengantarku," ucapku sebelum menutup pintu mobilnya.Hasan hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban dari rasa terima kasihku padanya. Setelahnya ia menghidupkan mesin mobilnya dan melaju dengan kecepatan sedang.Aku menatap kepergian mobil Hasan yang perlahan menjauh dari perkarangan rumahku, mobilnya hilang di telan tikungan. Setelahnya aku lalu melangka
"Jangan salah paham mengenai ucapan bapak yang tadi, nak." ucap bapak memulai pembicaraan setelah kami berdua sudah selesai menyantap makan malam.Saat ini kami berdua tengah berada di ruang tamu sembari duduk menonton televisi yang memang tersedia langsung di ruangan ini. Berhubung karena rumah sederhana kami yang minimalis ini tentu tak memiliki cukup banyak ruang, sehingga kami berdua memutuskan untuk menaruh televisi di ruang tamu. Jadi, ketika ada tamu yang datang maka mata mereka akan langsung di suguhkan dengan siaran televisi.Aku yang tertawa karena begitu menghayati tayangan yang menampilkan acara lawak pun teralihkan oleh ucapan bapak barusan. Ku tolehkan kepalaku ke arahnya, "ucapan yang mana ya pak?""Tentang kedekatan kalian berdua yang sering kami perhatikan selama ini. Ayesha, tentu itu semua murni karena persaudaraan kan nak?"Ayesha mengangg
Hari ini Ayesha melakukan pekerjaannya seperti biasa, yaitu menjadioffice girldi perusahaan milik keluarga Wicaksana. Ya, meskipun sudah cukup lama bekerja disana tetapi Ayesha tetap bertahan pada posisi og. Dengan telaten Ayesha mengepel seluruh lantai di tiap lantai perusahaan ini di bantu dengan teman yang seprofesi dengan dirinya."Owalah mbak'e cantik-cantik kok betah banget jadi og sih." kata Asep selaku ob di perusahaan ini menyapa Ayesha.Ayesha tersenyum, "owalah Kang Asep, ganteng-ganteng kok mau jadi ob." balas Ayesha yang mengundang gelak tawa dari Asep."Satu sama berarti kita iki Mbak yu.""Ayesha Kang Asep, bukan Mbak yu," goda Ayesha sengaja."Lah, kepiye sih Mbak. Pinter ngelawak juga ternyata." kata Asep tersenyum geli pada Ayesha."Lama-lama berteman satu profesi dengan kamu membuat saya jadi pinter segala hal Kang Asep.""
Aku menegang mendengar ucapan Hasan barusan. Apa katanya? Aku bisa mengunci pintu ruangannya terlebih dahulu agar tak ada orang lain yang bisa masuk dengan mudah.Gila! Memang dia pikir aku mau menuruti segala keinganannya, begitu?Aku yang tadinya sudah memegang gelas berisi kopi hitam itu di tanganku pun perlahan kembali meletakkannya ke meja kerja Hasan."Maaf Pak, saya masih banyak kerjaan." kataku beralasan agar bisa keluar dari situasi seperti ini, dan dengan profesionalnya aku bersikap sopan berbicara formal sehingga panggilan untuknya pun pak. Aku masih waras yang tentu saja masih mengingat ini kantor, bukan kamar untuk bercinta.Setelah mengatakan itu dengan cepat dan terburu-buru aku melangkah menuju pintu, tapi sialnya dengan sigap Hasan menggapai tubuhku duluan. Pria itu mendekapku dari belakang dengan kedua tangannya yang melingkari pinggang dan perutk
Hasan mendapatkan pesan singkat dari ayahnya, Nando, yang menyuruhnya setelah pulang dari kantor nanti langsung menemuinya. Di pesan tersebut Nando juga mengatakan bahwa dia akan mengumpulkan seluruh anggota keluarga sebab ada sesuatu hal yang ingin dia katakan.Dalam benaknya, Hasan bertanya-tanya sendiri. Ada hal apa yang ingin papanya itu katakan, apakah mungkin sesuatu hal yang serius? pikir Hasan sembari mengendikkan kedua bahunya pertanda ia tak mau ambil pusing, dan semoga saja ini bukan sesuatu hal serius yang mengerikan.Ya, mengerikan untuk di dengar.Hasan meletakkan kembali ponselnya ke meja kerja, pikirannya kembali terlintas pada kejadian beberapa saat yang lalu ketika Ayesha yang tampak begitu sangat marah dan berani menggamparnya.Hasan tidak mengerti dimana letak kesalahannya, menurutnya ia hanya melakukan naluri sesuai insting kata hatinya. Memberikan setiap bulan uang ke rekening Ayesha menu