Inara dan aku itu macam bawang putih dan bawang merah. Bagai air dan api. Seperti air dan minyak. Juga, sama seperti siang dan malam. Pokoknya, beda sekali.
Aku yakin, salah satu dari kami pasti anak pungut. Aku atau Inara, salah satunya pasti ditemukan di semak-semak, pinggir sungai, tepi jalan atau genteng tetangga. Dan anak pungut itu pasti bukanlah Inara.Inara itu sudah 27 tahun sekarang. Sudah berumahtangga pula. Namun, lihatlah bagaimana Ibu memperlakukannya.Di depanku sekarang, ada berbagai macam hidangan. Udang asam manis, ikan gurami sambal, ayam goreng, ayam tumis kecap, tumis kangkung pedas, dan ... getirnya kehidupan spesial untukku.Ibu duduk di seberangku. Di sampingnya ada Inara. Ibu sedang berusaha merayu Inara agar mau membuka mulut dan melahap sesendok kasih sayang Ibu dalam bentuk sepotong daging ikan tanpa tulang.Ululu, manis sekali untuk Inara. Luar biasa pahit untuk diri ini.Seumur hidup, sejak aku bisa mengingat, ya. Ibu hanya menyuapiku 2 kali. Satu kali ketika pertama masuk sekolah dasar. Satunya lagi ketika aku sakit habis dipukul Ibu dengan ikan pinggang dan gantungan baju. Namun, lihatlah Inara ini.Inara sehat. Memang, dia menderita kelainan jantung sejak kecil. Pernah beberapa kali operasi besar. Namun, tangannya utuh, sehat. Kenapa dia harus disuapi? Di depanku pula.Bukan, bukan. Aku bukannya cemburu. Aku hanya enggak suka. Enggak suka sama Ibu yang dari dulu selalu pilih kasih.Pernah terpikirkan olehku. Mungkin, Ibu yang selalu lebih sayang Inara pasti karena anak bungsu itu sakit-sakitan sejak lahir. Namun, lama-kelamaan asumsi itu terpatahkan. Dasarnya, Ibu memang lebih sayang Inara, apa pun dan bagaimana pun keadaannya.Kadang, aku bersyukur diberi tubuh yang lebih sehat dari Inara. Kalau sampai aku juga punya penyakit macam dia, sudah pasti umurku tak akan sampai 29 tahun. Sudah lama mati, karena enggak kebagian kasih sayang dari Ibu."Setelah ini kamu jangan kegatelan dulu, ya, Anes!"Aku mengunyah tenang. Meski kalimat itu benar-benar memancing adrenalin perang."Nanti dulu kalau mau nikah lagi. Malu sedikit, Anes. Perempuan, kok, sampai dicerai dua kali?" Ibu melempar tatapan penuh amarah."Laki-laki aja boleh kawin sampai empat kali? Aku baru cerai dua kali udah diprotes?" Aku menambah nasi ke piring.Di situasi seperti ini, kabur bukan pilihan bijak. Sayang makanan yang ada. Mending, aku tetap duduk, makan yang banyak, anggap hinaan Ibu selingan."Kamu itu kapan dewasa, sih, Anes? Mau sampai kapan selalu begini? Susah sekali menuruti nasihat Ibumu?" Ibu menaruh sendok, berhenti menyuapi Inara.Yey! Inara akhirnya makan sendiri. Kami sama sekarang."Aku udah dewasa, loh, Buk. Udah kawin dua kali, cerai juga dua kali." Aku nyengir pada Ibu, beliau menggeleng putus asa."Pokoknya, ka--""Pokoknya ditebang, Buk," potongku kurang ajar."Anesya!" Ibu memukul meja makan. Kulihat wanita itu menarik napas dalam, menurunkan emosi, ketika Inara mengelus lengannya pelan."Kak, dengerin Ibuk," kara Inara padaku."Aku dengerin dari tadi. Kalian enggak lihat telingaku terbuka?" Aku menunjukkan sisi wajah agar mereka bisa melihat bahwa tak ada apa pun yang menyumpal telinga."Pokoknya, jangan menikah dulu. Sampai kamu menikah dalam waku dekat, Ibu usir kamu dari rumah ini. Bikin malu keluarga saja!"Masih ada makanan dalam mulut, jadi aku mengunyah cepat, kemudian menelannya. "Aku sanggup sewa kos-kosan, kalau Ibu lupa. Ibu usir dari sini, aku enggak akan jadi gelandangan, loh."Piringku sudah kosong. Aku meneguk air banyak-banyak, lalu pergi dari meja makan. Tak lupa memberi senyum pada Ibu. Saatnya ke kamar dan tidur, karena aku sudah kenyang. Kenyang aku sama derita-derita ini. Entah terselip di mana kebahagiaan yang menjadi bagianku.Apa semesta lupa ciptakan kebahagiaan untukku, ya?***Malam ini, aku mau pergi. Susah-susah meminta Vani menyisihkan waktu, kami akan bersenang-senang ke salah satu kelab. Sejak sore aku sudah bersiap dan yakin kalau penampilanku akan lebih cantik dari ondel-ondel yang pipinya merah.Turun dari kamar, aku melempar senyum pada tiga orang di ruang tamu. Ululu, ada keluarga bahagia, harmonis dan sejahtera rupanya."Ibu, aku pergi dulu, ya."Baru saja selesai mengatakan itu, aku langsung didatangi. Ibu memegangi lenganku kuat. Matanya melotot."Mau ke mana kamu dengan dandanan sepert ini, Anesya?"Aku menengok penampilanku dari ujung kaki hingga bahu. Enggak ada yang salah di mataku. Bajuku bagus. Atasan aku pakai crop top hitam lengan pendek. Bawahannya, aku kenakan rok lipit mini satu jengkal di atas lutut. Sepatuku cantik, haknya tinggi. Apa yang salah?"Aku mau main sama Vani, Buk. Udah, ya. Aku udah terlam--"Terlambat aku mengelak. Tamparan Ibu sudah menghantam pipi, sebelum aku sempat mengelak. Aduh, kok sakit?"Kamu mau bikin Ibu cepat mati, Anes?! Ngapain main malam-malam, dengan pakaian begini pula? Kamu mau jual diri? Mau jadi pelacur kamu?!"Oh, Ibuku Sayang. Kenapa beliau enggak paham-paham dengan watakku, ya? Aku ini pantang dipancing. Langsung termotivasi untuk melakukan.Mengusapi pipi yang nyeri, aku mengangkat dagu pada Ibu. "Kalau aku mau jual diri, memang kenapa? Ruginya Ibu apa? Kan bukan Ibu yang aku jual?"Tadi yang kiri, sekarang pipiku yang kanan dapat giliran kena tampar. Apa ini arti pepatah soal kalau ditampar pipi kiri, kasih pipi kanan? Tapi, kan aku enggak kasih yang kanan tadi.Tadinya duduk, Inara mendatangi dan memegangi Ibu yang mulai menangis. Ada yang aneh. Aku yang ditampar, kenapa Ibu yang menangis? Apa telapak tangannya sakit? Kalau pun iya, pasti enggak sesakit yang aku rasakan, 'kan?"Mau sampai kapan kamu membuat malu keluarga kita, Anesya?" Ibu meratap sembari menepuk dadanya. "Harus sampai serendah apa kamu bertindak?"Aku mengangkat bahu santai untuk menjawab tanya itu. Berikutnya, kaki mulai bergerak. Namun, kali ini tanganku ditahan lagi, oleh Inara."Jangan pergi, Kak. Banyak orang jahat yang bakalan manfaatin Kakak di luar sana."Kuberi perempuan itu senyum sinis. "Orang jahat juga ada di dalam rumah. Bukan cuma di luar."Inara menggeleng. Ia menengok ke belakang, lalu berkata, "Mas, tolong bawa Kakakku masuk ke kamarnya. Dia nggak boleh pergi."Kutepis tangan Inara kuat. Segera aku berlari menuju pintu. Namun, tanganku ditarik oleh suaminya Inara yang entah sudah sejak kapan menyusul."Lepas," ucapku padanya. Kutatap dia penuh kebencian."Masuk ke kamar." Lelaki malah menarik makin kuat, kemudian menyeretku.Aku meronta. Kupukul bagian tubuhnya yang bisa dijangkau. Tangan, lengan, punggung sampai kepalanya. Namun, dasarnya dia memang manusia batu, tak satu pun pukulan itu membuatnya melepas cekalan dariku.Pria itu mendorongku kuat ketika tiba di kamar. Dia berdiri di depan pintu. Matanya menatap tajam padaku.Sempat tak ada suara yang terdengar di antara kami untuk beberapa saat, kecuali deru napas yang sedikit terengah. Aku tak gentar menatap sorot mata penuh kebencian miliknya. Asal dia tahu, aku sama bencinya pada dia."Kamu kira bisa kurung aku di sini? Aku tetap bakal pergi. Aku bisa cari jalan lain!" Aku memecah hening dengan ucapan penuh amarah.Dia masih tak mengatakan apa-apa. Namun, matanya sudah memberitahuku apa yang kini dia pikirkan. Dia jijik padaku. Memang aku enggak?Saat akan berjalan ke jendela karena berniat kabur dari sana, aku mendengar suaminya Inara itu buka suara."Mau sampai serendah apa lagi kamu? Mau sampai semurah apa lagi? Ibumu terlalu baik karena sudi menampungmu di sini. Kalau aku jadi dia, sudah lama kamu kulenyapkan."Memunggungi dia, aku memegangi dada. Bajuku agaknya terlalu ketat, karenanya jadi sedikit sesak. Mataku bahkan sampai terasa panas dan mulai berair.Aku tahu dia berhak membenciku, setelah apa yang terjadi. Aku sudah tahu dia jijik padaku sejak kejadian itu. Namun, aku enggak menyangka kalau mendengarnya menyuarakan itu bisa sebegini menyakitkan.Sebenarnya, dulu itu aku punya ksatria. Pahlawan yang akan selalu membela, tiap kali Ibu marah-marah, cubit-cubit atau pukul-pukul. Nama pahlawanku itu Rudianto. Ayahku. Sayang, seperti kata orang-orang. Orang baik itu perginya cepat. Ayahku juga pergi cepat sekali. Waktu aku berusia 17 tahun, Ayah berpulang karena penyakit yang sama seperti yang Inara derita. Sakit jantung. Sejak Ayah sudah enggak ada, aku enggak punya seseorang yang akan membawaku pergi jalan-jalan setiap habis dimarahi Ibu. Enggak ada lagi yang diam-diam masuk ke kamarku, terus kasih pelukan berlama-lama sambil bercerita soal hal seru, setelah siangnya aku dibentak Ibu habis-habisan. Sekarang aku sendirian. Harus sendirian merasai sakit hati habis disuruh mati sama suaminya Inara. Ayah enggak di sini untuk mendengar semua keluhanku. Beruntung si Gatan itu. Kalau saja Ayah masih ada, aku yakin dia sudah digantung hidup-hidup. Berani sekali bilang punya niat melenyapkanku? Memang dia siapa berhak atas nyawa seseo
Aku sedang menikmati mujair goreng yang dimasak Buk Tami, saat tiba-tiba saja Inara terdengar merintih. Perempuan itu sedikit membungkuk, lalu memegangi dada kiri. Kujeda gerakan mengunyah. Sudah akan menghampiri dia, tetapi Ibu dan suami perempuan itu lebih dulu melakukannya. Jadi, aku lanjut menggerakkan rahang, menghaluskan makanan di mulut. Inara pasti kambuh lagi. Entah di mana Ibu membawanya berobat, sepertinya selama ini ia dirawat dokter gadungan. Bertahun-tahun sudah menjalani perawatan, minum obat ini dan itu, sudah dua kali operasi, tetapi jantungnya masih saja bermasalah. Inara sudah begitu dari lahir. Sejak kecil, dia sering pingsan. Kelelahan sedikit, pingsan. Terkejut sedikit, pingsan. Bahkan untuk sekadar ikut upacara di sekolah saja dia itu enggak sanggup. Ibu sudah membawanya ke beberapa dokter. Kata mereka kelainan jantung yang Inara punya sulit disembuhkan. Paling bisa dibantu obat dan beberapa kali operasi. Namun, setelah semua itu dilakukan, kondisi anak kedu
Warning! 18+ *** Aku tiba di kos pukul tujuh malam. Beberapa minggu cuma mengontrol pekerjaan lewat ponsel, ternyata banyak hal yang perlu dilakukan. Aku pergi pukul sepuluh pagi tadi, dan baru selesai sekarang. Suasana hati agak muram saat aku ingat kalau malam ini Rahisa enggak tidur di kosnya. Rahisa akan menginap di rumah Pak Naja, karena laki-laki itu sakit. Sepertinya, habis mandi nanti, aku langsung tidur saja. Langkahku yang menuju kamar memelan saat melihat ada orang yang duduk di kursi teras. Kukira salah lihat, sempat sangsi kalau itu Gatan, suaminya Inara. Namun, setelah menginjak teras, ternyata benar lelaki itu Gatan. Malas meladeni dia, pun enggak tahu apa urusannya ada di sini, aku membuka kamar. Siapa tahu dia nyasar, ya, 'kan? Nanti, kalau aku tanya, dia malah bilang aku ge-er. Namun, ketika akan menutup pintu, Gatan malah mencegah. Pria itu mendorong kuat, sampai pintu kamar terbuka lebar. Dia menekuk wajah ke arahku, makin terlihat jelek dia. "Inara tanya
"Ini udah jadwalnya bersihin kolam, ya, Pak?" tanyaku pada Pak Sardi di sebelah. Pria lebih setengah abad itu mengiyakan. "Rencana besok, Mbak," jawabnya sembari menyebar pakan ikan ke kolam. Aku mengangguk, sambil memandangi para mujair yang mulai berkerubung di tempat pakan dijatuhkan. Aku menghitung dalam hati. Ini sudah bulan kelima setelah penyebaran bibit, artinya sudah bisa panen. Kembali aku menanyai Pak Sardi untuk lebih memastikan. Bagaimana juga beliau yang lebih sering mengurusi kolam-kolam mujair ini. Jadi, pasti lebih mengerti. Sejak berhenti menjadi teller salah satu bank, aku memutuskan untuk menjadi pengusaha. Budidaya ikan mujair yang kupilih. Dan setelah mengalami beberapa kali rugi, beberapa tahun belakangan usaha ini cukup menjanjikan. Aku bisa membiayai diriku dari usaha ini. Karena itu, meski enggak tinggal bersama Ibu sekali pun habis bercerai, aku enggak akan kesulitan bertahan hidup. "Apa mau sore ini saja panen, Mbak?" Pada Pak Sardi aku menggeleng. "
"Bisamu cuma buat ulah." Ditengah rasa dingin yang membuat tubuh menggigil, aku mendengar suara orang bicara. Kubuka mata, lalu mengernyit saat menemukan wajah Gatan tepat di depan mata. Seingatku, tadi itu tidur sofa di ruang tamu sendirian. Memang enggak nyenyak, karena Inara ternyata benar. Di sini dingin sekali. Namun, aku enggak merasa kapan Gatan datang dan enggak tahu mau apa dia di sini. "Minggir," gumamku sembari mendorong wajahnya menjauh. Mau apa dia dekat-dekat? "Pindah ke kamar. Di sini dingin." Mengangkat kelopak mata dalam keadaan setengah sadar, aku memakinya. "An**ng kau. Pergi kau sana," usirku dengan suara pelan. Jangan sampai Inara dengar. "Makanya jangan bikin ulah. Pindah ke kamar." Dia malah melotot. Masih enggak menyingkir dari samping sofa yang aku baringi. "Ulahku apa memangnya? Sana, aku mau tidur." Malas meladeni, pun masih sangat mengantuk, aku berbalik. Aku memunggungi dia, kemudian merapatkan selimut ke tubuh. Seharusnya tadi aku menaikkan suhu
Aku berlari macam orang dikejar kematian dari kos. Tujuanku adalah jalan raya, segera mencegat taksi, kemudian ke rumah sakit. Namun, setibanya aku di jalan besar, enggak ada satu pun taksi yang lewat. Aku memukul kepala kencang karena enggak ingat kalau taksi atau ojek bisa dipesan lewat ponsel. Mana ponselku tinggal di kos. Sialan. Menjambak rambut sendiri, aku sudah akan berlari. Biar pakai kaki saja, pasti sampai juga. Saat itu, sebuah mobil mengadang jalanku, sembari menekan klakson. "Kamu ngapain berkeliaran malam-malam di--" "Rumah sakit!" potongku pada Gatan. Aku langsung masuk ke mobilnya. Dia menatapku dengan wajah bingung. "Rumah sakit. Cepat!" Mobil Gatan mulai berjalan. Aku meremas jemari sendiri. Enggak sabar untuk segera sampai rumah sakit, tetapi juga enggak sanggup kalau harus lihat Rahi. "Kamu mau apa ke rumah sakit?" Pertanyaan Gatan langsung membuat air mataku tumpah. Debar jantungku yang cepat membawa sensasi nyeri yang membuat enggak nyaman bernapas. "T
Menarik daun pintu kamar kos hingga terbuka, aku membeliak sampai kelopak mataku rasanya sakit. Memalingkan wajah sebentar, aku baca doa sejenak, mengusap wajah, lalu menatap lurus. Orang yang kulihat di depan pintu enggak hilang. Mampus. Beneran ternyata. Sosok Ibu yang aku lihat sekarang bukan sekadar halusinasi. Segera aku keluar, kemudian menutup pintu. Kupersilakan Ibu menempati kursi yang ada di teras. "Ada apa?" tanyaku enggak sabar. Sama sekali enggak ada keramahan di ekspresi wajah Ibu. Aku berusaha mengingat-ingat sudah melakukan kesalahan apa. Sepertinya enggak ada. Hidupku tenang tentram dua bulan belakangan. Sehari-hari aku pergi menengok para mujair penghasil uang. Menjenguk Rahi, atau membereskan kamarnya Rahi. Lalu, tidur kalau memang lagi malas. Kapan aku melakukan sesuatu yang salah? "Kamu berniat merusak rumah tangga Inara?" Aku melipat bibir ke dalam. Sempat menahan napas, kemudian sok mengernyit. Aku harus pura-pura enggak paham dulu. "Maksud Ibu?" "Mau
Malam sudah datang, tetapi aku masih duduk di lantai dekat kasur. Berjam-jam memikirkan keadaan nahas ini, tetapi enggak kunjung mendapat solusi. Yang ada, perasaanku makin kacau. Sebelum ini, aku yakin sekali akan bisa hidup bebas. Sudah enggak punya suami, sudah pindah dari rumah Ibu. Sudah menunaikan keinginan Inara juga. Harusnya, sekarang aku siap untuk mewujudkan keinginan-keinginan yang belum sempat dilakukan. Aku bahkan sudah membuat daftarnya kemarin. Kutulis wishlist itu di kertas origami kuning, lalu kusimpan di buku catatan kecil yang sering dibawa. Begitu serius aku untuk mewujudkan hidup yang bebas dan bahagia. Namun, lihatlah yang aku dapatkan. Dulu, aku enggak bisa melakukan apa yang kumau karena Inara. Ibu akan marah jika aku pergi jalan-jalan ke toko buku dengan teman-teman sepulang sekolah. Katanya, Inara akan sedih sebab enggak bisa ikut dan harus pulang sendiri. Pernah aku nekat pergi tanpa bilang. Dan aku berakhir dijemput Ibu dari mal dan dijambak. Perkara