Share

Suami Mudaku
Suami Mudaku
Penulis: Wening

Pelengkap Bahagiaku

Mata ini sungguh berat. Beberapa malam susah terpejam hingga terpaksa aku memintanya pulang sekedar dapat menghidu khas keringatnya untuk mengantarku terlelap. Lebay. Itu benar tapi sungguh bukan kepura-puraan. 

Rentang waktu yang teramat panjang kulalui penuh perjuangan dan kelelahan.  Menyerah untuk terus memasang tameng ‘tangguh’ sudah terjadi. Di sinilah akhirnya. Dalam pangkuan suami belia di usia tidak muda sebagai istri kedua Mas Dio. Aku baru saja merasa melayang setengah lelap ketika suara kecil memanggil.

“Bunda.”

“Sssttt.” Tepukan lembut kembali melenakanku. Lelap.

Samar mulai kudengar lagi sebuah obrolan. Tak terlalu jelas  kukumpulkan keeping-keping kesadaran hingga kembali utuh. Mata tak lagi penat dan kepalaku di atas bantal. Reflek tangan ini meraba-raba.

“Udah bangun?”

 Senyum terbingkai wajah tampan membuat mata mengerjab. Kuraih dan menikmatinya sekilas.

Cup!

“Ih genit banget, Bunda!” Netra ini membesar kaget juga syok karena malu.

“Sayang! Kapan datang? Sama siapa?” berondongku sambil bergegas bangun dan memeluknya erat. Kangen.

“Pas banget, Bunda baru tidur. Dua jam yang lalu.”

“Dua jam? Perasaan baru lep.” Kami tertawa bersama hingga seseorang yang merasa terabaikan berdehem menghentikan drama kami.

Kami melangkah bersama menghampirinya yang duduk berdua di kursi kayu mengelilingi meja oval dengan beberapa camilan dan minuman di atasnya. Celoteh Syifa terus saja terdengar.

“Ayah gak kasih izin mau Syifa bangunin Bunda.”

“Bunda suka pusing kalau baru lep bangun lagi, Sayang … lagian beberapa hari kurang istirahat. Nanti sakit gimana?” Aku tersenyum melihat bibir putri kecilku mengerucut.

Melirik interaksi suami dan Syifa  membuatku kurang nyaman padanya.  Mas Marwan. Papa Syifa, mantan suamiku yang tengah menatap dengan ekspresi sulit diartikan. Dian, sang istri duduk canggung di sampingnya tanpa suara.

“Maaf, Mas, Dik.” Aku meyalami Dian dan menangkupkan tangan ke dada pada Mas Marwan.

“Ayo silakan diteruskan.” Aku berbasa-basi.

“Mas, udah pesan makanan. Kita makan siang bersama aja langsung.” Mas Dio merapihkan meja agar hidangan yang dibawa pramusaji bisa tertampung di hadapan kami.

“Terbaik.” Aku mengacungkan jempol padanya sambil pamer senyum.

Meski sedikit canggung kami makan siang dengan lahab. Menu ayam asap penyet andalan resto yang kudirikan memang selera kami bersama. Diselingi tingkah posesif suamiku yang mengingatkan banyak hal tak urung membuat wajah mas Marwan masam. Terlihat berlebihan di matanya yang dulu tak pernah peduli hal kecil tentangku saat Mas Dio mengelap keringat di dahi, menuangkan air minum atau menjejalkan wortel rebus kemulutku. 

Resto tersebut ada di  atas termpat pertemuan ini. Karena lantai dasar memang sengaja kupakai untuk tinggal dan produksi produk yang kujual. Dibantu Mas Dio dan beberapa tenaga usaha yang kurintis sejak prahara mulai menerpa keluargaku bersama Mas Marwan ini berkembang cukup pesat.

Keasyikan kami terusik oleh gaduh dari luar. “Ayah! Katanya ….”  Kata-katanya putus dan berganti cengiran rasa bersalah.

“Eh, ada Papa.”

“Salamnya gak kedengeran, Kak?’ tanyaku padanya.

Pemuda tanggung yang sedang menghabiskan waktu mendalami Bahasa di Kampung Inggris itu,  Royyan anak pertamaku bersama Mas Marwan. Syifa sendiri sudah menghambur memeluk kakak kesayangannya.

“Kakak! Syifa kangen.”

“Sudah salam, Bunda sayang …tadi lewat samping ada, Embah,” katanya sambil menyambut adiknya dan memutarnya dalam dekapan,

“Tambah endut.” Semua tergelak. Putriku kembali manyun sambil melepaskan diri. Kakaknya tertawa renyah sambal menghampiri papa dan juga ibu tirinya. Salim lalu mencium tangan mereka takjim.

 “Kakak, mah!” kata Syifa sewot.

Bukan duduk bersama, Royyan justru berlalu ke ruang dalam. Anak bujangku selalu begitu enggan bergabung saat ada ibu dan papanya sepaket dengan pasangan kami. Mungkin itu terasa janggal sebagai keluarga baginya.

Sejujurnya ada rasa kasihan di hatiku pada mantan suami. Setelah resmi berpisah anak-anak tetap dekat denganku meski hak asuh ada padanya. Kami sendiri tidak saling membatasi untuk berintaraksi dengan anak.

Ketika kuputuskan menerima Mas Dio, suami yang sepuluh tahun lebih muda dariku justru mampu mengambil hati mereka dengan sempurna. Kesamaan hobi dan kemampuan menyayangi yang melimpah membuat Mas Dio memikat seluruh keluarga. Terutama hatiku yang membuncah bahagia.

Aku masih saja menekuri piring ketika Mas Dio beranjak mengikuti Royyan untuk suatu urusan. Sepertinya untuk itu bujangku pulang dari tempat kost dekat kampusnya sana, bukan karena papa dan adiknya datang jauh-jauh dari kota yang berbeda.

Dian sendiri memilih menyibukkan diri melihat-lihat koleksi bonsai yang kusebar di seputar halaman bersama Syifa setelah pamit padaku untuk menyudahi makannya.

Serasa memberi kami waktu dan Mas Marwan tak menyiakan kesempatan untuk menyerangku  dengan kata pedasnya.

“Sepertinya brondong itu perhatian banget sama kamu, Bu?”

Bahasanya persis saat kami masih bersama. Aku tak keberatan asal masih saling menjaga batas. Bagaimanapun kami punya banyak hati polos untuk dijaga. Pengikat kami yang tidak bisa diputus begitu saja.Selamanya.

Untuk itulah kami saling menyisihkan ego dan tetap menjaga silaturahim.Menjadikan anak sebagai prioritas. Kebahagiaan mereka yang utama.

“Lah, dia suamiku sekarang. Masa iya dirimu yang perhatian sama aku?”

“Halah! Karena masih baru aja,” katanya sinis.

“Apa saat kita baru menikah, Mas perhatian sama aku? Bahkan saat aku kepayahan tengah mengandung anakmu?” Aku mulai emosi.

Mengingat perlakuannya padaku saat masih berstatus istri, tanpa sadar air mataku menetes.

“Yang!” Mas Dio memergokiku tengah mengusap mata.

Entah sejak kapan dia memasuki ruangan ini. Mungkinkah perdebatan kami didengarnya?

“Pedes.”

“Sudah kubilang cukup! Jangan suka masukan segala yang pedes klo Cuma bikin kamu nangis. Baik ke mulut maupun ke hati,” katanya sarkas sambil menyeretku ke arah wastafel. Mencuci tanganku dan menariknya lebih cepat membawa kekamar meninggalkan Mas Marwan yang terpaku.

Seharusnya bukan begini. Kami harus saling bertukar informasi tentang ketiga anak kami. Membahas banyak hal tentang perkembangan mereka. Sayangnya Mas Marwan merusak moment itu dengan kecemburuan buta.

Selalu begitu. Entahlah seperti menyesal melepasku dan tidak senang aku nampak bahagia dengan yang lain. Meski kemudian meminta maaf dan urusan kami soal anak terselesaikan melalui sambungan telephon. Tatap muka membuat kami tak bisa mengontrol emosi.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
ErRaDyKa NurMa
baru awal baca alur ceritanya mirip dengan rumah tanggaku
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status