Share

03. Pengkhianatan

"Nggak bisa gitu, Yud, itu uang ratusan juta, bukan daun kelor," tukasku tegas. "Dan aku sadar keluargaku sudah berutang budi padamu, walaupun aku membayar kembali uang itu, kami tetap berutang budi padamu. Tapi tetap aku ingin membayarnya, meskipun butuh waktu seribu tahun."

Setelah drama rumah tangga tadi, maksudnya drama di rumah yang ada tangganya, Yudistira mengajakku makan ayam goreng. Pemuda itu tak hanya menjadi penyelamat keluargaku, tapi juga penyelamat perutku yang kelaparan. Kami berbicara. Intinya ia ikhlas melunasi utang ayahku, tanpa mengharapkan imbalan apapun.

Omong kosong! Aku memahami jika ia berniat baik untuk membantu kami, tapi bagiku jumlah uangnya terlalu besar untuk digratiskan begitu saja. Tak mungkin aku menutup mata, dan tak membayarnya kembali.

"Seribu tahun keburu mati, Sha" kekehnya setelah menyeruput es teh pesanannya. "Tapi dunia ini memang cuma selebar daun kelor, 'kan. Kita yang satu dekade terpisah bisa bertemu lagi."

"Aku 'kan masih tinggal di rumah yang sama, Yud, nggak tiba-tiba pindah ke bulan."

"Hahaha. Bisa-bisa namamu berubah jadi Ashanna Dewi Ngi-Bulan, ya, Sha."

"Ih, sembarangan," desisku sembari tertawa menanggapi guyonan Yudistira. "Jadi, kembali ke topik, aku akan tetap balikin uang kamu, Yud. Titik! Nggak ada protes!"

"Yakin kamu bisa? Jumlahnya nggak main-main, Shanna."

"Kamu nyepelein aku?" sungutku kesal.

"Bukan gitu juga. Aku hanya realistis. Kalau nanti terbukti kamu nggak bisa melunasinya gimana? Kamu mau bayar pakai apa?" Eh, Yudis malah nantangin. Aku sendiri sebenarnya kurang yakin, tapi gengsi dong kalau harus menyerah begitu saja.

"Pokoknya aku bayar. Kamu jangan macam-macam, ya. Jangan memintaku menikah denganmu sebagai ganti rugi."

"Hahaha." Yudistira tertawa terbahak-bahak saat mendengar perkataanku. "Siapa juga yang ngajakin kamu nikah? GR banget! Hahaha."

"Pokoknya aku nggak mau seperti Siti Nurbaya," tegasku dengan mata berapi-api.

"Nggak ada yang akan menjadikanmu Siti Nurbaya, Sha. Tapi kalau kamu mau menikah denganku ... aku nggak nolak," ucap Yudis serius, dengan tatapan mata berkilat jahil.

"Enggak bisa, Yudistira. Pokoknya enggak," tegasku sekali lagi dengan mata yang semakin melotot. Entah mengapa jantungku berdetak lebih cepat, saat ia mengatakan bahwa ia tidak menolak kalau harus menikah denganku.

Aku harus sadar diri. Aku sudah punya pacar, ya ... meskipun selama beberapa bulan ini keberadaannya tidak jelas. Ia hanya sesekali menjawab pesanku, dan mengatakan dirinya sedang sibuk. Bagaimanapun aku harus menjadi pasangan yang setia.

"Ya ... terserah kamu, deh, Sha," kata Yudistira acuh tak acuh. Ia sudah tahu betapa keras kepalanya diriku.

"Hehe, gitu dong," kekehku senang sekaligus lega. "Tapi yang jadi masalah ... aku lagi nggak punya uang, Yud. Hehe"

"Loh, bukannya kamu kerja ...? Tunggu, jangan-jangan ... kamu pulang cepat karena ...." Yudistira memicingkan matanya, memandangku dengan penuh kecurigaan.

"Hehe, iya, aku memang berhenti kerja hari ini," ujarku cepat-cepat, "tapi aku janji, secepatnya aku akan mencari pekerjaan baru, dan mulai melunasi utangku."

"Kenapa nggak kerja di tempatku saja?" usulnya tiba-tiba.

"Kerja apa memangnya? Jadi babu?" cemoohku. Sudah kutebak, cowok satu ini palingan hanya menggangguku.

"Jadi asisten hidupku, yang menemaniku 24 jam ...."

"Idih, mulai lagi, deh," gerutuku sembari melempar potongan mentimun ke arahnya.

"Hahaha," Yudis tertawa sangat puas. "Kamu bisa bahasa Inggris, 'kan? Dan kemampuan tata bahasamu bagus, 'kan? Bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris."

"Memangnya kerja apa?" tanyaku balik. Sepertinya tawaran Yudistira menarik. Mengapa bisa kebetulan sekali, ya? Aku memang selama ini bekerja sebagai penerjemah. Inikah yang namanya pucuk di cinta, ulam pun tiba?

Pemuda itu mulai bercerita, selama ini ayah tirinya memiliki resort di Jogja, dan Yudis membantu mengelolanya. Dengan banyaknya wisatawan asing yang datang ke Jogja, selama beberapa tahun terakhir ini ia membuka kursus bahasa Indonesia untuk orang-orang asing itu. Yudis menawarkan pekerjaan sebagai seorang guru di tempat kursusnya.

"Wah, kayaknya seru, nih," ujarku antusias. Langsung saja kutanyakan persyaratan apa saja yang dicari, dan seperti apa pekerjaannya.

Kemudian dalam waktu singkat negosiasi kami selesai. Tanpa pikir panjang lagi, aku menerima tawaran pekerjaan dari Yudis. Ia bahkan menawariku untuk tinggal di rumahnya yang baru, karena tempat kerjaku yang baru jauh dari rumahku sendiri, ketimbang aku harus pergi pulang naik motor selama berjam-jam.

Awalnya aku ragu, tetapi setelah bertemu Bu Ani, ibu Yudistira, serta keluarga mereka, aku mau menerima tawarannya. Tentu saja aku bukan cuma numpang tidur, sebisa mungkin aku membantu pekerjaan yang ada di rumah itu. Kadang aku menemani Arum, anak bungsu Bu Ani, mengerjakan PR.

Pekerjaan baruku menyenangkan, aku berkenalan dengan banyak orang asing, bule maupun orang Asia. Keluarga Bu Ani dan Pak Pandu sangat baik kepadaku, hingga tak terasa satu bulan berlalu.

Lalu suatu hari kekasihku muncul lagi, dengan sebuah kejutan akbar.

***

Hari Jumat siang saat aku masih di tempat kursus, tahu-tahu Aldo menghubungiku. "Sha, ketemuan, yuk," begitu tulisnya dalam pesan singkat, ia juga menyebutkan nama sebuah mall besar di Jogja.

Wah, setelah sekian purnama menghilang, Aldo kembali menampakkan batang hidungnya. Perasaanku campur aduk: senang, ragu, sekaligus gelisah. Entahlah, mungkin ini hanya pikiran burukku saja.

"Ikutan, dong," celetuk Yudis sewaktu tahu aku akan bertemu pacarku.

"Eh, nggak usah! Jangan gangguin orang pacaran, ya," tolakku sembari mengibaskan tangan mengusirnya.

"Ih, siapa yang mau gangguin? Malas banget, mendingan aku cari cewek," cibirnya. "Aku 'kan juga pingin kenalan sama pacarmu, Sha. Sekalian aku mau beli donat buat mama dan adik-adikku, mumpung lagi diskon."

"Oh, gitu. Ya udah, deh. Boleh." Aku mengizinkannya mengantarku ke mall. Lumayan sih, dapat tebengan gratis.

Kami masuk ke mall bersama, tetapi sempat berpisah karena ia harus menjawab telepon di ponselnya. Dengan langkah riang aku berjalan menemui Aldo.

"Hai, Aldo!" Aku melambaikan tangan ketika aku menemukan sosoknya dari kejauhan. Ia tidak sendiri, ada seorang wanita di sana. Oh, ternyata itu Winda, sahabat kami.

Semula aku senang melihat Winda hadir, tapi itu hanya bertahan beberapa detik. Tak banyak basa-basi Aldo langsung menceritakan kondisi mereka berdua. Rupanya selama beberapa bulan terakhir ia tak bisa dihubungi, Aldo main gila dengan Winda.

"Aku dan Winda akan menikah, Sha ... Winda hamil."

Pernyataan Aldo membuatku membeku. Aku tak percaya, Aldo, pria yang selama ini kucintai, kekasih yang kuharapkan menjadi pendamping hidupku nanti, berkhianat dengan sahabatku sendiri.

Kami sudah dua tahun berpacaran. Dia teman kuliahku dulu, demikian pula Winda. Perempuan itu tahu hubungan kami, bahkan setahuku Winda sendiri sudah memiliki kekasih. Tapi apa yang mereka lakukan di belakangku?

Sebegitu tidak bermoral kah anak muda sekarang, hingga mereka melakukan seks pranikah? Selama aku berpacaran dengan Aldo, aku memang tidak ingin melakukan skinship. Jangankan berciuman, bergandengan tangan saja aku takut. Aku bukan tidak percaya kepada kekasihku, melainkan diriku sendiri. Aku takut tergoda dan berbuat terlalu jauh sebelum waktunya.

"Kamu selama ini dingin, Sha, memegang tanganmu saja aku tidak boleh ...," cerocos Aldo mulai membuat alasan, mengeluhkan sikapku yang kurang perhatian, sementara Winda dengan tenang berdiri di sebelahnya, memegang erat tangan kekasihku ... eh, ralat, mantan kekasih.

Ia bahkan belum mengatakan bahwa hubungan kami putus, Aldo langsung bilang mereka akan menikah. Jadi apa maunya? Menikah dengan Winda sementara aku masih berstatus sebagai pacarnya?

Dan Aldo sangat licik. Ia tahu aku tidak suka membuat keributan di tempat umum, maka pemuda itu mengajakku bertemu di mall, di tempat yang ramai, sehingga aku akan malu sendiri jika marah-marah pada kedua pasangan tak bermoral itu.

Tubuhku yang tadi seolah membeku, kini mulai terasa panas, darah mulai mengalir deras ke kepalaku, hingga kupikir aku akan meledak, dan terkena stroke di usia muda.

Pikiranku sedikit teralihkan tatkala Yudistira menyusulku. "Sha, ada apa ini?" tanyanya begitu sampai. Rasanya begitu sakit, tetapi aku menahan semua emosi yang berkecamuk di dalam jiwa. Lalu kehadiran Yudistira memberiku ide gila.

"Oke, Do, kalau itu mau kamu. Kita putus, kamu nikah saja sama dia ...," tantangku.

"Aku benar-benar minta maaf, Sha ...."

"Nggak perlu minta maaf, Aldo. Itu 'kan yang kamu mau. Kamu tidak perlu khawatir, karena aku bisa mendapatkan yang lebih baik dari kamu. Karena aku ... akan menikah sama dia."

Secepat kilat aku menyambar lengan Yudis. "Iya, kan, Sayang?" tambahku lagi dengan suara manja, tetapi kini kalimatku kutujukan pada sang pria tampan yang berdiri di sampingku.

Yudistira menatapku lekat, wajahnya tegang, dan rahangnya mengeras, menahan emosi. Apakah ia marah? Atau berpikir aku gila? Aku tak peduli, aku tersenyum dengan begitu manis kepadanya. Aku tahu ia akan memahami situasiku dan membantuku.

"Kamu yakin dengan ucapanmu, Ashanna?" suara bas miliknya terdengar tegas.

"Tentu dong, Yudistira sayang," jawabku semakin centil, dengan harapan bisa membuat pasangan di depanku gerah, dan menyesal karena telah mengkhianati kepercayaanku.

Memangnya cuma mereka yang bisa begitu? Aku bisa lebih heboh lagi, ya, walaupun cuma sandiwara. Setidaknya aku bisa sejenak menutupi rasa sakit hatiku, dan tidak terlihat lemah di hadapan para pengkhianat itu.

Namun, reaksi berikutnya dari Yudistira sangat tak terduga. Ia mengambil tanganku yang sedari tadi menggelayuti lengannya, dan menarik pundakku hingga kami berdiri berhadapan.

"Kenapa, Sayang? Kalau mau pacaran, jangan di sini, dong, aku malu, lho. Hihi." Dengan tidak tahu malu, aku bersikap mesra padanya, bahkan memukul dadanya manja, seperti seorang perempuan yang gemas dengan kekasihnya. Sesekali mataku meliriknya, sembari mengirimkan kode agar ia melengkapi sandiwaraku.

Apa yang terjadi selanjutnya sungguh di luar dugaanku. Yudistira menganggukkan kepalanya sekali, lalu dengan suara yang begitu jelas, sejelas petir di siang bolong, ia berkata padaku, "Baiklah, kita akan menikah bulan depan. Menikah betulan, bukan kawin kontrak, dan tidak ada perceraian."

Bibirku yang semula bersikap sombong dengan menyunggingkan senyuman mengejek, kini hanya mampu tersenyum kecut. Rasanya selama sesaat darah berhenti mengalir ke kepalaku.

Apa-apaan ini? Sandiwaraku dibalas dengan kegilaan oleh Yudistira. 'Ah, paling ia cuma main-main,' pikirku dalam hati. Namun, pria itu membuatku tak bisa mengelak. Ia mengatakan bahwa ia serius, akan secepatnya melamarku, serta mengurus pernikahan kami.

Yudistira menyatakannya dengan lantang dan jelas di hadapanku, Aldo, Winda, serta orang-orang yang sedari tadi menyaksikan keributan yang kami timbulkan. Ia tak main-main.

"Yud, kamu nggak serius, 'kan?" tanyaku saat kami berjalan ke luar mall.

Yudistira menghentikan langkahnya, lalu menatapku tajam. "Ashanna, kamu mungkin pandai bersandiwara, tapi aku tidak. Yang sudah keluar dari mulutku itulah yang akan kulakukan."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ayunina Sharlyn
ahaiiii ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status