***"Rafly tolong dong, ini anak kamu ganggu banget! Aku lagi kelarin design nih!"Sekali lagi teriakan itu menggema dari ruang tengah lantai dua rumah ketika untuk yang kesekian kalinya Nara mengganggu kegiatan Felicya yang sedang menggambar rancangan design seperti biasa.Berusia delapan bulan, balita gembul yang wajahnya persis Felicya tersebut memang sedang berada di masa sangat aktif.Masih merangkak juga sesekali berjalan sambil berpegangan, pekerjaan Nara setiap harinya adalah mengganggu sang Mama."Kenapa, Fel?""Nara nih! Dia ganggu lagi!""Sebentar, aku kelarin dulu kerjaan," sahut Rafly dari dalam kamar.Cari aman, Felicya memilih untuk menutup kertas yang dia pakai menggambar dengan buku yang kebetulan tersedia di sana sebelum Nara mengacau."Kamu anak siapa sih? Kok aktif banget?" tanya Felicya sambil meraih tubuh Nara yang gempal lalu menggendongnya dan beranjak. "Anak siapa sih? Papa Sanjaya ya?""Mamamama!" ujar Nara sambil meraih rambut Felicya lalu tanpa ragu menarik
***"Kaya onyet."Semua perhatian tertuju pada Elara ketika celetukan tersebut keluar dari mulut mungilnya usai menyaksikan bagaimana baby Reano dijemur tanpa mengenakan pakaian."Onyet?" tanya Teresa. "Onyet itu apa?""Monyet," ucap Danendra."Oh mony ... eh, siapa yang kakak El panggil monyet?" tanya Teresa.Elara terkikik lalu mengarahkan telunjuknya pada baby Rean yang saat ini berada di pangkuan Adara. "Itu, onyet!" serunya sambil tertawa. "Di endong Mama onyet.""Sayang," panggil Adara. "Ini adek lho, bukan onyet.""Tapi kaya onyet," ucap Elara lagi."Dan," panggil Adara pada Danendra. "Masa El panggil Rean monyet sih? Ganteng gini juga."Danendra terkekeh. "El bercanda sayang, jangan dianggap serius," ucapnya."Tapi kan-""Itu dede?" tanya Elara—kembali menunjuk Reano yang terus menggeliat."Iya, Sayang. Itu dedek," ucap Teresa. "Namanya Reano. Dia anaknya Mama juga.""Anak Mama?" tanya Elara. "Anak Mama kan El?""Baby Rean juga anak Mama, sekarang," ucap Adara. "Kamu bisa pan
***"El enggak bisa dibiarin nginep aja di sini gitu, Dan? Aku tiba-tiba aja enggak sanggup deh pisah sama dia."Danendra yang sejak tadi menggendong baby Reano hanya bisa menghela napas pelan ketika Adara mengucapkan kata-kata tersebut.Sore ini sepi. Aksa, Danish juga yang lainnya pulang, di kamar rawat hanya ada Adara juga keluarga kecilnya.Reano berada digendongan Danendra, sementara Elara setia di dada Adara—terlelap dalam tidur setelah satu jam lalu menangis karena tak mau diajak pulang oleh Teresa.Katanya seorang anak yang baru saja memiliki adik, selalu tiba-tiba saja rewel bahkan ingin terus menempel pada mamanya karena meskipun belum terlalu paham, instingnya cukup tahu jika dia punya saingan.Melihat Elara yang selama ini sangat dekat dengan Teresa, membuat Adara sempat merasa lega karena mungkin putrinya itu tak akan mengalami rewel seperti balita pada umumnya ketika memiliki adik.Namun, ternyata dugaan Adara salah. Baru sehari Reano lahir dan dipertemukan dengan Elara,
***"Makan lagi, Sayang.""Sebentar."Adara yang sejak tadi menyusui Reano terus menunduk untuk memastikan posisi putranya aman, sementara Danendra yang bertugas menyuapi sang istri hanya bisa sabar memegang sendok di tangannya."Ra."Adara mendongak lalu tersenyum. "Ah iya," ucapnya disusul mulut yang terbuka agar sesendok makanan masuk."Gimana, enak?" tanya Danendra.Adara mengangguk. "Enak," ucapnya."Oke."Setelahnya, kegiatan kembali berulang hingga nasi juga lauk pauk di piring akhirnya habis juga tak bersisi. Usai melahirkan, nafsu makan Adara masih bisa dibilang cukup bagus—sama seperti ketika sedang hamil.Dan tentu saja semua itu membuat kata diet hanya menjadi angan-angan saja."Kamu juga sarapan gih, Dan. Udah jam delapan inu tuh," kata Adara."Iya sebentar lagi," ucap Danendra."Hari ini mama bawa El ke sini lagi enggak?" tanya Adara."Enggak kayanya. Mama bilang jangan terlalu sering dibawa ke rumah sakit, takutnya enggak baik.""Ah iya juga, kamu benar.""Rean masih mi
***"Sehat kan, Dokter?""Sehat, Bu. Alhamdulillah. Sebelum pulang imunisasi dulu ya.""Iya."Pagi ini, setelah empat malam menginap di rumah sakit, Adara juga sang putra akhirnya diizinkan pulang setelah kondisi keduanya dipastikan membaik.Tak ada yang menjemput, Adara dan Danendra rencananya akan langsung pulang berdua menuju rumah mereka."Sholeh, anak baik," ucap dokter anak yang baru saja menyuntikkan obat di lengan Reano.Tak lama, bayi mungil tersebut hanya menangis beberapa detik saja sebelum akhirnya kembali tenang."Udah ya, Dok?" tanya Adara."Sudah, Bu," kata dokter anak tersebut. "Oh ya, dapat pesan dari dokter Kiran kalau dua minggu dari sekarang, ibu harus kontrol ke sini ya, Bu. Untuk memastikan keadaan rahim dan jahitan.""Oh iya, dokter. Siap."Setelah dokter anak meninggalkan kamar rawat, Danendra yang baru saja menyelesaikan pembayaran kembali."Udah, Dan?""Udah," kata Danendra. "Ini kamu juga udah belum? Gimana kata dokter?""Baik, kok. Semuanya baik," kata Adar
***"Dan, susunya udah belum?!"Danendra yang saat ini masih menuang air panas ke dalam botol seketika menoleh ketika teriakan itu terdengar dari lantai dua.Belum menemukan pengasuh yang cocok, sementara waktu ini Adara dan Danendra cukup kerepotan merawat Elara dan Rean berdua, seperti malam ini,Jam setengah satu dini hari, Rean juga Elara bangun secara bersamaan. Sebenarnya Reano bangun lebih dulu karena popoknya yang basah. Menangis ketika popoknya diganti, bayi mungil itu berhasil membangunkan sang kakak yang tidur di kasur bersama Adara.Alhasil, Elara pun ikut menangis—menginginkan susu karena kebetulan sebelum tidur, Elara belum sempat meminum susunya seperti biasa."Sebentar, Ra. Ini lagi dibuat.""Cepetan, Dan! Ini Elara udah ngamuk-ngamuk!""Iya, Ra."Danendra gugup sendiri dengan kedua tangan yang tiba-tiba saja gemetaran. Beruntung, usai menuangkan air dingin, sebotol susu akhirnya berhasil dia buat.Tak mau membuat Elara menunggu terlalu lama, Danendra berlari menaikki
***"Dasinya mau yang mana, Dan?""Yang mana aja, Ra. Apa pun pilihan kamu, aku suka."Adara tersenyum mendengar jawaban manis yang dilontarkan Danendra dari kamar mandi. Pernikahan mereka hampir menginjak tiga tahun, tak ada yang berubah.Danendra selalu romantis bahkan semakih hari semakin pintar membuatnya bahagia."Yang navy ya, kemejanya biru muda.""Iya, Sayang."Adara mengambil dasi yang dia maksud lalu membawanya menuju kasur untuk dia gabungkan bersama kemeja juga celana.Pagi ini rasanya sepi dan damai karena Elara mau pun Reano masih terlelap di kamar mereka. Setelah bangun dini hari tadi, Elara pasti baru sadar nanti sekitar pukul delapan pun dengan Reano yang tak akan bangun cepat karena sudah bangun saat subuh menjelang lalu tidur kembali setengah enam."Udah semuanya nih," kata Adara."Oke, aku juga udah mandinya kok."Selang beberapa detik, Danendra keluar dari kamar mandi. Cuaca belakangan ini sedikit lebih dingin, dia langsung memakai kaos dari kamar mandi setelah m
***"Bu, dede Rean mau mimi.""Mimi?""Ah iya, sebentar."Adara yang saat ini tengah mengangkat cucian, lekas mengakhiri kegiatannya ketika seorang perempuan datang menghampiri.Nita, perempuan dua puluh lina tahun itu adalah pengasuh yang diambil Danendra dari sebuah yayasan yang cukup ternama.Terhitung sudah satu bulan Nita bekerja untuk membantu Adara merawat kedua anaknya. Tak melulu ditugaskan menjaga Elara yang semakin hari semakin aktif, Nita juga terkadang memomong Reano ketika Elara ingin menempel dengan sang mama."Anak Mama pengen mimi ya, Sayang?"Sampai di kamar anak-anak, Adara bergegas menghampiri Reano yang tengah merengek di bouncher yang dia tempat.Pelan, Adara mengambil putranya itu lalu duduk di pinggir kasur untuk menyusui sang putra seperti biasa. Kali ini asi Adara tak semelimpah ketika Elara lahir.Meski tak juga sedikit, Adara tak bisa menyetok asip karena memang asinya selalu langsung mereda setiap kali Reano menyusu."El enggak bangun-bangun daritadi?" tan