Empat hari sebelum pernikahan, suami Adara menghilang. Dengan dalih menyelamatkan nama baik keluarga, Adara diminta ayahnya untuk mencari pengganti dan pilihannya jatuh pada Danendra, sahabatnya. Meski telah mempunyai kekasih, Danendra menerima permintaan Adara karena perasaan cinta yang sudah lama dia pendam untuk perempuan itu. Pernikahan mereka bermula tanpa cinta. Namun, sikap manis Danendra perlahan membuat hati Adara luluh dan jatuh cinta pada suaminya itu. Namun, dilema kembali melanda Adara ketika calon suaminya yang telah dinyatakan meninggal, datang kembali di kehidupan Adara. Adara dihadapkan oleh dua pilihan. Kembali pada calon suaminya yang sempat hilang atau bertahan bersama Danendra?
View More***"Istirahat dulu aja.""Iya, Sayang. Ini juga mau istirahat dulu."Pukul sebelas siang atau dua belas waktu malaysia, Danendra melakukan video call pada Adara yang kebetulan baru saja menidurkan Elara yang terlelap usai menghabiskan makan siangnya.Duduk di kursi balkon, Adara menyimpan ponselnya di meja agar bisa melihat wajah Danendra dengan jelas.Danendra bilang dia baru menyelesaikan pertemuan setengah jam lalu. Pergi berbelanja sedikit oleh-oleh, pria itu kini telungkup di atas kasur—masih memakai kemeja bahkan dasi."Nanti terbang dari sana jam satu, kan?" tanya Adara."Iya kalau enggak delay, jam satu," ucap Danendra. "Kenapa emangnya?""Enggak, aku cuman kangen," kata Adara. "Semalam aku tidur tanpa pelukan kamu dan itu buat aku susah tidur.""Kasian banget sayangnya aku," ucap Danendra. "Malam ini aku peluk lagi ya.""Iya," kata Adara. "Udah sekarang kamu tidur dulu sebentar, habis itu ke Bandara. Awas bangunnya telat.""Iya siap.""Aku matiin ya teleponnya, aku mau tidur
"Danendra."Baru membuka mata, Adara langsung menggumamkan nama Danendra sementara tangan kanannya sibuk meraba-raba kasur, mencari keberadaan sang suami.Kedua matanya terbuka lebar, Adara mendesah karena tak mendapati sang suami tidur di depannya. Padahal, setiap pagi Danendra biasanya ada di dekatnya—memandangi dia ketika bangun tidur."Kangen," gumam Adara pelan.Satu malam tak tidur bersama Danendra, Adara dilanda kerinduan yang mendalam. Jarang sekali ditinggalkan seperti ini membuat dia sangat dekat dengan suaminya itu."Duh."Susah payah, Adara berusaha untuk bangun lalu duduk bersila di atas kasur sambil mengikat rambut juga mengumpulkan kesadaran.Menguap, Adara memandang jam dinding yang ternyata sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. "El kok belum bangun ya?" tanya Adara.Semalaman, Adara kesulitan tidur seperti biasanya karena memang di usia kehamilan yang sudah tua ini, sangat sulit bagi dia mencari posisi aman—terlebih lagi Adara terus memikirkan Danendra."Bismillah."Be
***"Kamu jangan nakal di sana ya, ingat di rumah ada istri sama anak yang nunggu."Sambil memasukkan pakaian Danendra ke dapam koper, ucapan itu dilontarkan Adara pada Danendra yang saat ini tengah bersiap-siap.Seperti rencana kemarin, sore ini sekitar pukul lima sore, Danendra akan berangkat menuju bandara untuk melakukan penerbangan menuju Malaysia sekitar pukul enam sore nanti.Berat rasanya meninggalkan Adara dengan kondisi perutnya yang sudah besar. Namun, mau bagaimana lagi? Ini sudah tugas Danendra. Tak ada Adam juga Alfian, hanya dia yang bisa menggantikan karena Aksa mau pun Danish sibuk dengan perusahaan cabang yang mereka pegang."Iya, Sayang," kata Danendra. "Sampai di hotel, aku langsung telepon kamu terus istirahat. Paginya ketemu rekan bisnis, siangnya aku langsung pulang.""Bagus," ucap Adara."Mau aku bawain oleh-oleh enggak?" tanya Danendra."Enggak usah," ucap Adara. "Kamu hanya perlu pulang dengan selamat.""Itu pasti," kata Danendra. Sambil menyisir, pandanganny
***"Lho, Ra. Kok duduk di luar?"Adara mengukir senyum pada Danendra yang baru saja pulang lalu membuka gerbang. Bukan sore, pria itu baru sampai di rumah setelah isya karena pekerjaan yang menumpuk."Nungguin kamu," kata Adara."Kenapa enggak di dalam aja Sayang, nunggunya?""Pengennya di sini," ucap Adara."El mana?""Udah tidur sejak maghrib tadi.""Oh ya udah, aku masukkin dulu mobilnya ya.""Oke."Danendra keluar lagi untuk kembali ke mobilnya lalu dalam hitungan menit, ferarri putih milik pria itu masuk dan berhenti persis di depan garasi.Keluar dari mobil untuk menutup gerbang, Danendra bergegas menghampiri Adara yang sejak tadi duduk di kursi teras."Capek ya?" tanya Adara sambil mencium tangan Danendra seperti biasa."Lumayan," ucap Danendra. Dia kemudian berjongkok untuk mengusap perut Adara yang sudah semakin besar.Minggu ini, usia kehamilan perempuan itu sudah sampai di minggu ke tiga puluh tujuh dan menurut dokter, HPL alias hari perkiraan lahir Adara dua minggu lagi d
***"Sayang, udah? Yuk, berangkat. Nanti terlambat."Setelah menunggu hampir dua puluh menit bersama Elara di lantai satu, Danendra kembali ke kamar untuk mengecek Adara yang sejak tadi bersiap-siap."Sebentar," kata Adara. "Aku masih enggak pede."Danendra yang semula hanya menyembulkan kepala, lantas membuka pintu sedikit lebar lalu masuk ke dalam kamar untuk menghampiri Adara yang saat ini berdiri di depan cermin."Kenapa?""Aku gendutan ya, Dan?" tanya Adara."Enggak tuh, masih standar," ucap Danendra."Ini bajunya terlalu ngepas enggak sih?" tanya Adara. "Pake kebaya ini perutku kok kelihatan gede ya. Padahal kan enggak.""Perut kamu gede karena usia kehamilan kamu kan udah delapan belas minggu, Sayang. Wajar," ucap Danendra.Adara mengusap perutnya yang saat ini dibalut kebaya brukat berwarna coklat. "Tapi kaya gede banget, Dan," ucapnya."Enggak, Ra. Perut kamu emang segitu," ucap Danendra meyakinkan. "Udah yuk, nanti telat lho akadnya.""Kebayanya aku ganti aja gitu ya?" tanya
***"Nikah? Kok enggak bilang-bilang?"Adara kentara sekali mengungkapkan keterkejutannya setelah mendengar pernyataan yang diberikan Ginanjar pagi ini.Tak datang sendiri, Ginanjar berkunjung ditemani seorang perempuan yang jelas tak asing di mata Adara.Mbak Lia. Perempuan yang usianya jelas lebih muda itu menemani Ginanjar menemui Adara untuk meminta restu menikah."Iya," ucap Ginanjar. "Sengaja, biar kejutan.""Dih, Papa," kata Adara. "Kaget lho aku ini."Tentang Ginanjar yang pernah bercerita ingin mendekati Mbak Lia, Adara memang sudah tahu. Namun, tentang kelanjutan hubungan sang Papa dengan Mbak Lia, Adara tak tahu lagi karena memang Ginanjar jarang bercerita."Maaf, Non. Katanya Papa Non enggak mau repotin karena Non pasti bantu siapin kalau tahu dari awal," ucap Mbak Lia ikut buka suara."Non?" tanya Adara. "Udah mau jadi istrinya Papa, manggilnya masih Non?"Mbak Lia tersenyum canggung. "Terus saya manggilnya apa dong?" tanyanya."Panggil Dara aja, Mbak," ucap Danendra. "Ja
***"Dan, bangun, Dan. Kita kesiangan deh kayanya," ucap Adara sambil menepuk pipi Danendra yang masih terlelap. "Ayo bangun, ini jam berapa?"Danendra membuka matanya secara perlahan lalu mengerjap sebelum akhirnya memandang Adara. "Kenapa, Ra?" tanyanya."Udah siang," ucap Adara setelah dia melihat cahaya matahari masuk ke kamar lewat gorden. "Kamu bukannya mau ke kantor?""Ah." Danendra menguap lalu menggeliat sebelum akhirnya duduk. Menoleh ke arah jam dinding, dia bernapas lega karena ternyata jarum jam baru menunjukkan pukul tujuh."Telat enggak?" tanya Adara sambil mengikat rambutnya. Sama seperti Danendra, dia pun sudah duduk di kasur.Usai kegiatan mereka yang baru selesai pukul setengah empat, Danendra dan Adara sepakat untuk tak tidur lagi karena harus mandi sebelum menunaikan sholat subuh pukul setengah lima.Kantuk melanda, Adara dan Danendra kembali tidur dan bangun beberapa menit lalu. Padahal, rencananya hari ini Danendra akan ke kantor untuk mengambil berkas yang tert
***"Udah?"Adara yang sejak beberapa detik lalu saling melempar tatapan dengan Rafly, seketika menoleh pada Danendra ketika pertanyaan itu dilontarkan suaminya."Udah, Dan," kata Adara."Oke," ucap Danendra. Dia yang semula duduk di sofa single beranjak lalu menghampiri Adara lalu mengusap perut buncit istrinya itu. "Jangan ngeces ya, ngidam Mama kamu udah Papa laksanain.""Jangan salah paham, Dan," ucap Rafly."Enggak, siapa juga yang salah paham?" tanya Danendra."Feli maaf ya udah ganggu," ucap Adara. "Makasih juga karena ngizinin aku ketemu Rafly.""Iya, Ra. Santai aja," ucap Felicya.Danendra melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. "Udah jam setengah dua, Ra. Mau pulang sekarang?" tanyanya."Boleh," ucap Adara."Ya udah," kata Danendra. Dia kemudian beranjak sambil menuntun Adara. Setelah mengucapkan terima kasih lagi, keduanya bergegas keluar lalu kembali masuk ke dalam mobil."Hati-hati di jalan, Ra," kata Felicya."Iya, Fel. Sekali lagi makasih ya.""Sama-sama, Ra.""Pa
***"Seriusan kamu enggak marah?"Cukup takut, sekali lagi Adara melayangkan pertanyaan tersebut pada Danendra yang saat ini tengah mengancingkan jaket bomber Adara.Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah satu dini hari, Danendra memakaikan pakaian hangat untuk istrinya sebelum keluar.Selain jaket, Danendra meminta Adara memakai kupluk lalu untuk bagian bawah, Adara pun mengenakan kaos kaki sebelum menggunakan sandal."Enggak," kata Danendra.Tak ada angin tak ada hujan, Adara tiba-tiba saja ingin bertemu Rafly setelah mimpi bertemu pria itu. Tak hanya bertemu, Adara juga bilang pada Danendra ingin duduk sambil bertatapan dengan mantan kekasihnya itu untuk beberapa detik.Aneh memang. Namun, tentu saja Danendra mencoba untuk mengerti karena terkadang keinginan oranh hamil sedikit absurd."Kok jawabnya singkat?" tanya Adara tak enak.Selesai mengancingkan jaket, Danendra tersenyum. "Enggak, Sayang," ucapnya."Maaf ya, Dan. Ngerepotin," ucap Adara. "Habisnya enggak tau kenapa, aku
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.