***"Kamu jangan nakal di sana ya, ingat di rumah ada istri sama anak yang nunggu."Sambil memasukkan pakaian Danendra ke dapam koper, ucapan itu dilontarkan Adara pada Danendra yang saat ini tengah bersiap-siap.Seperti rencana kemarin, sore ini sekitar pukul lima sore, Danendra akan berangkat menuju bandara untuk melakukan penerbangan menuju Malaysia sekitar pukul enam sore nanti.Berat rasanya meninggalkan Adara dengan kondisi perutnya yang sudah besar. Namun, mau bagaimana lagi? Ini sudah tugas Danendra. Tak ada Adam juga Alfian, hanya dia yang bisa menggantikan karena Aksa mau pun Danish sibuk dengan perusahaan cabang yang mereka pegang."Iya, Sayang," kata Danendra. "Sampai di hotel, aku langsung telepon kamu terus istirahat. Paginya ketemu rekan bisnis, siangnya aku langsung pulang.""Bagus," ucap Adara."Mau aku bawain oleh-oleh enggak?" tanya Danendra."Enggak usah," ucap Adara. "Kamu hanya perlu pulang dengan selamat.""Itu pasti," kata Danendra. Sambil menyisir, pandanganny
"Danendra."Baru membuka mata, Adara langsung menggumamkan nama Danendra sementara tangan kanannya sibuk meraba-raba kasur, mencari keberadaan sang suami.Kedua matanya terbuka lebar, Adara mendesah karena tak mendapati sang suami tidur di depannya. Padahal, setiap pagi Danendra biasanya ada di dekatnya—memandangi dia ketika bangun tidur."Kangen," gumam Adara pelan.Satu malam tak tidur bersama Danendra, Adara dilanda kerinduan yang mendalam. Jarang sekali ditinggalkan seperti ini membuat dia sangat dekat dengan suaminya itu."Duh."Susah payah, Adara berusaha untuk bangun lalu duduk bersila di atas kasur sambil mengikat rambut juga mengumpulkan kesadaran.Menguap, Adara memandang jam dinding yang ternyata sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. "El kok belum bangun ya?" tanya Adara.Semalaman, Adara kesulitan tidur seperti biasanya karena memang di usia kehamilan yang sudah tua ini, sangat sulit bagi dia mencari posisi aman—terlebih lagi Adara terus memikirkan Danendra."Bismillah."Be
***"Istirahat dulu aja.""Iya, Sayang. Ini juga mau istirahat dulu."Pukul sebelas siang atau dua belas waktu malaysia, Danendra melakukan video call pada Adara yang kebetulan baru saja menidurkan Elara yang terlelap usai menghabiskan makan siangnya.Duduk di kursi balkon, Adara menyimpan ponselnya di meja agar bisa melihat wajah Danendra dengan jelas.Danendra bilang dia baru menyelesaikan pertemuan setengah jam lalu. Pergi berbelanja sedikit oleh-oleh, pria itu kini telungkup di atas kasur—masih memakai kemeja bahkan dasi."Nanti terbang dari sana jam satu, kan?" tanya Adara."Iya kalau enggak delay, jam satu," ucap Danendra. "Kenapa emangnya?""Enggak, aku cuman kangen," kata Adara. "Semalam aku tidur tanpa pelukan kamu dan itu buat aku susah tidur.""Kasian banget sayangnya aku," ucap Danendra. "Malam ini aku peluk lagi ya.""Iya," kata Adara. "Udah sekarang kamu tidur dulu sebentar, habis itu ke Bandara. Awas bangunnya telat.""Iya siap.""Aku matiin ya teleponnya, aku mau tidur
***"Gimana, Dokter?"Dokter Kiran yang baru saja memeriska keadaan Adara, mundur beberapa langkah sebelum menjawab pertanyaan Teresa."Sudah bukaan tiga, Bu," kata dokter Kiran. "Mbak Adaranya kita pindahkan ke ruang bersalin ya.""Baiklah," ucap Teresa."Ma."Atensi Teresa seketika beralih pada Adara. Berjalan mendekat, perempuan itu menghampiri sang menantu."Kenapa, Sayang?""Danendra mana?" tanya Adara. "Dara pengen lahiran ditemenin Danendra."Teresa terdiam sejenak. Usai menyimpan ponselny begitu saja, dia lupa membawa benda pipih itu karena panik dengan Adara."Mama belum sempat dengar jawaban Papa tadi, Sayang. Semoga Danendra baik-baik aja ya."Alih-alih tenang, Adara justru terisak sambil menahan panas di punggungnya yang mulai terasa, meski bulum sering."Dara enggak mau kehilangan, Danendra, Ma. Dia harus lihat anaknya. Danendra harus ada di saat anaknya lahir," lirih Adara sambil terisak. "Danendra udah janji tentang hal itu."Teresa berusaha kuat meski hatinya pun sama
***"Pembukaan berapa?"Dokter Kiran kembali memeriksa kondisi Adara, pertanyaan itu langsung dilontarkan Teresa pada sang dokter."Baru enam," kata dokter Kiran."Enam?" tanya Teresa sambil mengerutkan keningnya. "Ini kayanya udah hampir dua jam lebih dari pembukaan lima tadi deh, Dok. Masa nambahnya cuman satu?"Dokter Kiran menghela napas. Tak langsung menjawab ucapan Teresa, dia memilih untuk mendekati Adara yang saat ini terlihat lemas.Terhitung sudah tiga jam Adara di rumah sakit—menikmati gelombang cinta yang semakin lama semakin membuatnya ingin menangis saja."Mbak Dara masih kuat enggak?" tanya dokter Kiran. "Ini saya cek daritadi bukaannya memang seperti enggak ada kemajuan."Adara menggeleng. "Saya enggak kuat, Dok. Saya enggak ada tenaga lagi ini," lirihnya pelan."Ra," kata Teresa sambil mengusap pucuk kepala Adara. "Lihat Mama. Kamu yang kuat ya, Sayang.""Dara butuh Danendra, Ma.""Adam," panggil Terasa pada Adam yang saat ini duduk bersama Ginanjar. "Gimana Danendra,
***"Ma, ini Adara kok enggak bangun-bangun ya? Seriusan enggak kenapa-kenapa, kan?"Masih memegangi tangan kanan Adara yang dibalut infus, Danendra memandang Teresa denhan raut wajah yang cemas.Adara sudah dipindahkan ke ruang rawat usai persalinannya selesai. Tak dalam keadaan sadar, perempuan itu pindah dalam keadaan tak sadarkan diri usai berjuang melahirkan putra keduanya yang memiliki berat 3,5 kilogram.Tak ada sesuatu yang serius terjadi, dokter Kiran bilang Adara hanya mengalami kelelahan saja usai proses persalinan yang memang sedikit lebih sulit dari biasanya."Enggak, Dan. Tadi dokter Kiran kan bilang enggak apa-apa," kata Teresa."Tapi kenapa enggak bangun-bangun ya?" tanya Danendra cemas."Mungkin masih capek.""Hm."Hanya berdua bersama Teresa di kamar rawat, Danendra kembali mengalihkan fokusnya pada Adara sementara di samping kirinya sebuah box bayi terletak.Di dalam box tersebut bayi laki-laki Adara jug Danendra terlelap. Sesuai perkiraan, bayi tersebut memiliki ge
***"Rafly tolong dong, ini anak kamu ganggu banget! Aku lagi kelarin design nih!"Sekali lagi teriakan itu menggema dari ruang tengah lantai dua rumah ketika untuk yang kesekian kalinya Nara mengganggu kegiatan Felicya yang sedang menggambar rancangan design seperti biasa.Berusia delapan bulan, balita gembul yang wajahnya persis Felicya tersebut memang sedang berada di masa sangat aktif.Masih merangkak juga sesekali berjalan sambil berpegangan, pekerjaan Nara setiap harinya adalah mengganggu sang Mama."Kenapa, Fel?""Nara nih! Dia ganggu lagi!""Sebentar, aku kelarin dulu kerjaan," sahut Rafly dari dalam kamar.Cari aman, Felicya memilih untuk menutup kertas yang dia pakai menggambar dengan buku yang kebetulan tersedia di sana sebelum Nara mengacau."Kamu anak siapa sih? Kok aktif banget?" tanya Felicya sambil meraih tubuh Nara yang gempal lalu menggendongnya dan beranjak. "Anak siapa sih? Papa Sanjaya ya?""Mamamama!" ujar Nara sambil meraih rambut Felicya lalu tanpa ragu menarik
***"Kaya onyet."Semua perhatian tertuju pada Elara ketika celetukan tersebut keluar dari mulut mungilnya usai menyaksikan bagaimana baby Reano dijemur tanpa mengenakan pakaian."Onyet?" tanya Teresa. "Onyet itu apa?""Monyet," ucap Danendra."Oh mony ... eh, siapa yang kakak El panggil monyet?" tanya Teresa.Elara terkikik lalu mengarahkan telunjuknya pada baby Rean yang saat ini berada di pangkuan Adara. "Itu, onyet!" serunya sambil tertawa. "Di endong Mama onyet.""Sayang," panggil Adara. "Ini adek lho, bukan onyet.""Tapi kaya onyet," ucap Elara lagi."Dan," panggil Adara pada Danendra. "Masa El panggil Rean monyet sih? Ganteng gini juga."Danendra terkekeh. "El bercanda sayang, jangan dianggap serius," ucapnya."Tapi kan-""Itu dede?" tanya Elara—kembali menunjuk Reano yang terus menggeliat."Iya, Sayang. Itu dedek," ucap Teresa. "Namanya Reano. Dia anaknya Mama juga.""Anak Mama?" tanya Elara. "Anak Mama kan El?""Baby Rean juga anak Mama, sekarang," ucap Adara. "Kamu bisa pan