***"Sayang, udah? Yuk, berangkat. Nanti terlambat."Setelah menunggu hampir dua puluh menit bersama Elara di lantai satu, Danendra kembali ke kamar untuk mengecek Adara yang sejak tadi bersiap-siap."Sebentar," kata Adara. "Aku masih enggak pede."Danendra yang semula hanya menyembulkan kepala, lantas membuka pintu sedikit lebar lalu masuk ke dalam kamar untuk menghampiri Adara yang saat ini berdiri di depan cermin."Kenapa?""Aku gendutan ya, Dan?" tanya Adara."Enggak tuh, masih standar," ucap Danendra."Ini bajunya terlalu ngepas enggak sih?" tanya Adara. "Pake kebaya ini perutku kok kelihatan gede ya. Padahal kan enggak.""Perut kamu gede karena usia kehamilan kamu kan udah delapan belas minggu, Sayang. Wajar," ucap Danendra.Adara mengusap perutnya yang saat ini dibalut kebaya brukat berwarna coklat. "Tapi kaya gede banget, Dan," ucapnya."Enggak, Ra. Perut kamu emang segitu," ucap Danendra meyakinkan. "Udah yuk, nanti telat lho akadnya.""Kebayanya aku ganti aja gitu ya?" tanya
***"Lho, Ra. Kok duduk di luar?"Adara mengukir senyum pada Danendra yang baru saja pulang lalu membuka gerbang. Bukan sore, pria itu baru sampai di rumah setelah isya karena pekerjaan yang menumpuk."Nungguin kamu," kata Adara."Kenapa enggak di dalam aja Sayang, nunggunya?""Pengennya di sini," ucap Adara."El mana?""Udah tidur sejak maghrib tadi.""Oh ya udah, aku masukkin dulu mobilnya ya.""Oke."Danendra keluar lagi untuk kembali ke mobilnya lalu dalam hitungan menit, ferarri putih milik pria itu masuk dan berhenti persis di depan garasi.Keluar dari mobil untuk menutup gerbang, Danendra bergegas menghampiri Adara yang sejak tadi duduk di kursi teras."Capek ya?" tanya Adara sambil mencium tangan Danendra seperti biasa."Lumayan," ucap Danendra. Dia kemudian berjongkok untuk mengusap perut Adara yang sudah semakin besar.Minggu ini, usia kehamilan perempuan itu sudah sampai di minggu ke tiga puluh tujuh dan menurut dokter, HPL alias hari perkiraan lahir Adara dua minggu lagi d
***"Kamu jangan nakal di sana ya, ingat di rumah ada istri sama anak yang nunggu."Sambil memasukkan pakaian Danendra ke dapam koper, ucapan itu dilontarkan Adara pada Danendra yang saat ini tengah bersiap-siap.Seperti rencana kemarin, sore ini sekitar pukul lima sore, Danendra akan berangkat menuju bandara untuk melakukan penerbangan menuju Malaysia sekitar pukul enam sore nanti.Berat rasanya meninggalkan Adara dengan kondisi perutnya yang sudah besar. Namun, mau bagaimana lagi? Ini sudah tugas Danendra. Tak ada Adam juga Alfian, hanya dia yang bisa menggantikan karena Aksa mau pun Danish sibuk dengan perusahaan cabang yang mereka pegang."Iya, Sayang," kata Danendra. "Sampai di hotel, aku langsung telepon kamu terus istirahat. Paginya ketemu rekan bisnis, siangnya aku langsung pulang.""Bagus," ucap Adara."Mau aku bawain oleh-oleh enggak?" tanya Danendra."Enggak usah," ucap Adara. "Kamu hanya perlu pulang dengan selamat.""Itu pasti," kata Danendra. Sambil menyisir, pandanganny
"Danendra."Baru membuka mata, Adara langsung menggumamkan nama Danendra sementara tangan kanannya sibuk meraba-raba kasur, mencari keberadaan sang suami.Kedua matanya terbuka lebar, Adara mendesah karena tak mendapati sang suami tidur di depannya. Padahal, setiap pagi Danendra biasanya ada di dekatnya—memandangi dia ketika bangun tidur."Kangen," gumam Adara pelan.Satu malam tak tidur bersama Danendra, Adara dilanda kerinduan yang mendalam. Jarang sekali ditinggalkan seperti ini membuat dia sangat dekat dengan suaminya itu."Duh."Susah payah, Adara berusaha untuk bangun lalu duduk bersila di atas kasur sambil mengikat rambut juga mengumpulkan kesadaran.Menguap, Adara memandang jam dinding yang ternyata sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. "El kok belum bangun ya?" tanya Adara.Semalaman, Adara kesulitan tidur seperti biasanya karena memang di usia kehamilan yang sudah tua ini, sangat sulit bagi dia mencari posisi aman—terlebih lagi Adara terus memikirkan Danendra."Bismillah."Be
***"Istirahat dulu aja.""Iya, Sayang. Ini juga mau istirahat dulu."Pukul sebelas siang atau dua belas waktu malaysia, Danendra melakukan video call pada Adara yang kebetulan baru saja menidurkan Elara yang terlelap usai menghabiskan makan siangnya.Duduk di kursi balkon, Adara menyimpan ponselnya di meja agar bisa melihat wajah Danendra dengan jelas.Danendra bilang dia baru menyelesaikan pertemuan setengah jam lalu. Pergi berbelanja sedikit oleh-oleh, pria itu kini telungkup di atas kasur—masih memakai kemeja bahkan dasi."Nanti terbang dari sana jam satu, kan?" tanya Adara."Iya kalau enggak delay, jam satu," ucap Danendra. "Kenapa emangnya?""Enggak, aku cuman kangen," kata Adara. "Semalam aku tidur tanpa pelukan kamu dan itu buat aku susah tidur.""Kasian banget sayangnya aku," ucap Danendra. "Malam ini aku peluk lagi ya.""Iya," kata Adara. "Udah sekarang kamu tidur dulu sebentar, habis itu ke Bandara. Awas bangunnya telat.""Iya siap.""Aku matiin ya teleponnya, aku mau tidur
***"Gimana, Dokter?"Dokter Kiran yang baru saja memeriska keadaan Adara, mundur beberapa langkah sebelum menjawab pertanyaan Teresa."Sudah bukaan tiga, Bu," kata dokter Kiran. "Mbak Adaranya kita pindahkan ke ruang bersalin ya.""Baiklah," ucap Teresa."Ma."Atensi Teresa seketika beralih pada Adara. Berjalan mendekat, perempuan itu menghampiri sang menantu."Kenapa, Sayang?""Danendra mana?" tanya Adara. "Dara pengen lahiran ditemenin Danendra."Teresa terdiam sejenak. Usai menyimpan ponselny begitu saja, dia lupa membawa benda pipih itu karena panik dengan Adara."Mama belum sempat dengar jawaban Papa tadi, Sayang. Semoga Danendra baik-baik aja ya."Alih-alih tenang, Adara justru terisak sambil menahan panas di punggungnya yang mulai terasa, meski bulum sering."Dara enggak mau kehilangan, Danendra, Ma. Dia harus lihat anaknya. Danendra harus ada di saat anaknya lahir," lirih Adara sambil terisak. "Danendra udah janji tentang hal itu."Teresa berusaha kuat meski hatinya pun sama
***"Pembukaan berapa?"Dokter Kiran kembali memeriksa kondisi Adara, pertanyaan itu langsung dilontarkan Teresa pada sang dokter."Baru enam," kata dokter Kiran."Enam?" tanya Teresa sambil mengerutkan keningnya. "Ini kayanya udah hampir dua jam lebih dari pembukaan lima tadi deh, Dok. Masa nambahnya cuman satu?"Dokter Kiran menghela napas. Tak langsung menjawab ucapan Teresa, dia memilih untuk mendekati Adara yang saat ini terlihat lemas.Terhitung sudah tiga jam Adara di rumah sakit—menikmati gelombang cinta yang semakin lama semakin membuatnya ingin menangis saja."Mbak Dara masih kuat enggak?" tanya dokter Kiran. "Ini saya cek daritadi bukaannya memang seperti enggak ada kemajuan."Adara menggeleng. "Saya enggak kuat, Dok. Saya enggak ada tenaga lagi ini," lirihnya pelan."Ra," kata Teresa sambil mengusap pucuk kepala Adara. "Lihat Mama. Kamu yang kuat ya, Sayang.""Dara butuh Danendra, Ma.""Adam," panggil Terasa pada Adam yang saat ini duduk bersama Ginanjar. "Gimana Danendra,
***"Ma, ini Adara kok enggak bangun-bangun ya? Seriusan enggak kenapa-kenapa, kan?"Masih memegangi tangan kanan Adara yang dibalut infus, Danendra memandang Teresa denhan raut wajah yang cemas.Adara sudah dipindahkan ke ruang rawat usai persalinannya selesai. Tak dalam keadaan sadar, perempuan itu pindah dalam keadaan tak sadarkan diri usai berjuang melahirkan putra keduanya yang memiliki berat 3,5 kilogram.Tak ada sesuatu yang serius terjadi, dokter Kiran bilang Adara hanya mengalami kelelahan saja usai proses persalinan yang memang sedikit lebih sulit dari biasanya."Enggak, Dan. Tadi dokter Kiran kan bilang enggak apa-apa," kata Teresa."Tapi kenapa enggak bangun-bangun ya?" tanya Danendra cemas."Mungkin masih capek.""Hm."Hanya berdua bersama Teresa di kamar rawat, Danendra kembali mengalihkan fokusnya pada Adara sementara di samping kirinya sebuah box bayi terletak.Di dalam box tersebut bayi laki-laki Adara jug Danendra terlelap. Sesuai perkiraan, bayi tersebut memiliki ge