Hana sedikit berjalan lebih cepat sambil menarik tangan Green, sementara Green terlihat seperti anak kecil yang dituntun oleh mamanya, dia hanya mengikuti gerak langkah Hana ke mana pun gadis itu berjalan. Tetapi kemudian Hana berhenti. Dia menatap Green.
"Ada apa?" tanya Green penasaran.
Hana menghela nafas. "Sepatuku ketinggalan di bawah tiang itu," ucap Hana sedikit mendengus. Green langsung melihat kaki Hana yang telanjang lalu menoleh ke belakang. Ternyata mereka sudah berjalan sedikit jauh dari tiang itu.
"Aku akan mengambilnya. Tunggulah di sini." Green melepas tangan Hana.
"Tidak." Hana kembali menggenggam tangan Green. "Kita sama-sama saja. Ayo."
Hana menarik kembali tangan Green. Green mengernyitkan kening, sepertinya dia mulai sadar akan interaksi mereka yang cukup aneh. Pikiran Green yang tadinya sempat kacau balau, sepertinya mulai terjalin.
Sesampainya di sana, Hana langsung mengambil sepatunya dan mereka kembali melalui jalan yang sama. Green terus memperhatikan raut wajah Hana yang serius. Hana sadar dan langsung menatapnya. Mata mereka pun saling bertemu, dan Hana langsung tersenyum lembut pada Green. Tetapi perasaan Green tidak menjadi lebih tenang.
Green sudah mulai berpikir sedikit lebih baik tanpa gangguan emosi yang tadinya mengguncang karena ingin bunuh diri. Dia pun berpikir, ini kali pertama mereka bertemu, tetapi kenapa begitu akrab? Rasa canggung mulai menggelayutinya. Bahkan gadis ini tak mau melepas genggamannya. Wajah Green pun sedikit memerah menatap tangan mereka yang terjalin. Tetapi melihat gadis itu bersikap santai, Green hanya bisa mengikutinya saja, sekali lagi layaknya seperti anak kecil.
"Itu mobilku. Ayo masuk ke dalam," ujar Hana. Green menuruti dan masuk ke dalam mobil itu. Begitu mereka masuk, Hana langsung mengambil dua botol air mineral yang berada di bagian belakang dalam mobil.
"Nah, minumlah." Dia memberikan satu botol pada Green. Green yang juga kehausan langsung menerimanya.
"Terima kasih," ucapnya kemudian, setelah meminum beberapa teguk dari air mineral itu.
"Sama-sama," jawab Hana sambil menutup botol minumnya sendiri yang sudah hampir tandas dia minum. Dia kembali menatap Green.
"Kita belum berkenalan. Namaku Hana Winata." Hana mengulurkan tangannya. Green terkejut mendengar nama Winata. Apa kebetulan sama dengan Ghania? Green pun menjabat tangan Hana.
"Salam kenal, Hana Winata. Aku Green Assa," ucap Green. Dia selalu memperkenalkan dirinya sebagai Green Assa, bukan Green Williams, kepada siapa pun.
"Panggil saja Hana. Aku akan memanggilmu Green," ucap Hana. Green menunduk tetapi kemudian menganggukkan kepala.
"Apa kamu kuliah atau bekerja?" tanya gadis itu kemudian. Green tampak berpikir.
"Aku masih SMA," jawab Green. Memang untuk umur Green saat ini, sudah seharusnya dia berada di bangku kuliah atau bekerja. Hanya saja karena sering berpindah sekolah, dia harus mengalami tinggal kelas beberapa kali. Mengulang tahun ajaran yang sama.
"Wah. Aku juga masih SMA. Senangnya punya teman baru," ucap Hana tersenyum riang.
"Teman?" Green menatap gadis itu. Teman adalah kata yang mahal untuk Green. Bisa dikatakan dia sama sekali tidak memiliki teman seumur hidupnya. Tetapi gadis ini mau menjadi temannya. Tentu saja, gadis ini kan belum mengetahui dirinya secara keseluruhan, tentu dia tidak keberatan menjadi teman Green. Tetapi nanti, semuanya pasti akan berubah drastis seperti biasanya.
"Iya. Apa kamu tidak mau berteman denganku?" tanya Hana sambil tetap menatapnya.
"Apa kamu yakin mau berteman denganku?" Bukannya menjawab, Green malah kembali bertanya.
"Tentu saja yakin," jawab Hana penuh antusias.
"Kenapa? Kita baru pertama kali bertemu. Kamu belum tahu tentangku. Kenapa kamu begitu yakin?" tanya Green tak yakin akan jawaban Hana
"Kamu jelas-jelas ingin bunuh diri tadi, tetapi kamu malah masih memikirkan keadaan orang lain, maksudnya keadaanku. Kamu bahkan rela turun untuk menolongku, menolongku turun dari tiang itu. Aku rasa kamu pantas dijadikan teman," jelas Hana.
"Itu karena kamu berada dalam bahaya, karena mencoba menghentikanku. Aku tidak mungkin tega membiarkanmu," jawab Green apa adanya.
"Tidak tega berarti pantas dijadikan teman,' ucap Hana sambil tersenyum. "Kamu mau kan jadi temanku?" bujuk Hana. Ya, pendekatan seperti ini adalah salah satu teori yang diketahui Hana dalam membantu seseorang yang sedang depresi atau ingin bunuh diri.
"Aku mau-mau saja, tapi..."
"Aku senang mendengarnya!" sela Hana. "Karena kita sudah menjadi teman, bisakah kamu bercerita kenapa ingin bunuh diri?" tanyanya kemudian.
Keheningan tiba-tiba membentang di antara keduanya. Bagaimana mungkin Green menjelaskan hal itu pada gadis ini, gadis yang baru saja dia kenal? Sepertinya Hana terlalu buru-buru.
"Aku tidak bisa menjelaskannya padamu. Maaf," jawab Green. Dia menatap Hana seolah meminta agar Hana tidak mengorek hal itu. Tatapan yang menciptakan jarak yang patut antara mereka berdua yang baru saja saling berkenalan.
Tetapi dari awal, Hana berniat ingin menolong lelaki ini sampai tuntas. Dengan berani dia menggenggam sebelah tangan Green dengan kedua tangannya. Mata Green melebar merasakan genggaman lembut gadis itu. Cocoknya Hana mengambil jurusan psikologi saja di masa depan.
"Aku mengerti. Aku hanya ingin kita membahas masalahmu. Aku rasa tiap persoalan pasti ada jalan keluarnya. Dan jalan keluarnya bukan dengan bunuh diri. Aku janji, begitu kamu bercerita, aku akan membantumu sebisaku." Hana mencoba membujuknya kembali.
Mendengar ucapan Hana, raut wajah Green berubah menjadi sendu. Kata-kata Hana sangat menenangkan, tetapi Green tahu benar bahwa janji gadis itu tidak akan terwujud seperti itu begitu dia bercerita tentang semuanya. Hal itu malah membuatnya tidak nyaman saat ini.
"Maaf, Hana. Aku tidak bisa," ucapnya memutuskan sambil mengalihkan pandangannya ke depan.
Hana menghela nafas. "Baiklah tidak apa-apa. Aku tidak akan memaksamu. Tapi apa kamu masih ingin bunuh diri? Mungkin bukan hari ini tapi di lain hari?"
Sontak Green kembali menatap gadis itu. Dia diam sejenak berpikir. Keinginan bunuh diri tentu masih ada di dalam dirinya. Untuk hari ini memang dia sudah tidak berniat melakukannya. Tetapi untuk waktu yang akan datang, dia yakin keinginannya itu akan terwujud. Karena baginya, mengakhiri hidup berarti mengakhiri penderitaannya, mengakhiri beban paman dan bibi pengasuhnya.
"Aku tidak tahu. Tapi hari ini aku tak akan melakukannya," jawab Green jujur. Hana mengerutkan kening. Jawaban itu..bukankah itu berarti niat bunuh diri masih melekat pada dirinya? Apa yang harus Hana lakukan?
"Apa sih masalahmu sebenarnya? Sampai kamu merasa ragu begitu? Bunuh diri tidak menyelesaikan apapun. Percayalah padaku!" ucap Hana kembali tidak sabar. Walaupun sepertinya dia kaya teori untuk menghadapi orang yang putus asa, tetap saja, biar bagaimana pun, teori tetap lebih mudah daripada praktek.
"Percaya padaku, Green!" desaknya kembali.
Tidak suka mendengar ucapan Hana. Green berucap dengan tegas. "Bunuh diri akan menyelesaikan penderitaanku!" Suara Green terdengar parau menjawab gadis itu. Green berupaya menahan kesedihan yang kembali merongrong dadanya.
Hana terdiam mendengar warna suara yang berisi kesedihan yang kental dari lelaki ini. Apa yang harus dilakukannya? Hana bukanlah psikolog profesional. Dia hanyalah seorang gadis muda yang lagi sial, lalu tanpa sengaja bertemu seseorang yang hendak bunuh diri.
Green kembali melanjutkan kata-katanya, "Tidak ada seorang pun yang bisa menolong..."
Grep! Hana tiba-tiba memeluk Green, membuat ucapannya terhenti. Green benar-benar terkesiap akan perlakuan yang tak disangka-sangka dari gadis ini.
"A-Apa yang kau lakukan?" Wajah Green memerah. Green tidak pernah bersentuhan dengan perempuan. Jadi, apa yang dilakukan gadis itu terasa intim baginya. Berbeda dengan pelukan yang tidak disengaja sewaktu di bawah tiang tadi. Saat ini, Hana memeluknya dengan sengaja. Tangan Green bergerak cepat memegang lengan Hana, ingin segera melepas pelukan gadis itu dari lehernya. Tetapi tubuh gadis itu tiba-tiba bergetar, membuat Green berhenti bergerak. Gadis itu melonggarkan pelukannya tetapi masih melingkarkan tangannya di leher lelaki itu dan kembali mendongak menatap Green. Green membalas tatapannya dan terkejut mendapati gadis itu mengeluarkan air mata. Dia menangis? "Kamu kenapa?" tanya Green bingung, rasa keterkejutan cukup terkesan dari warna suaranya. Hana melepas pelukannya dari Green. Ia kembali duduk secara normal dan menunduk. Hana mulai sedikit terisak, membuat Green semakin bingung. &nbs
Siang itu, di kediaman keluarga Assa."Ayah! Ibu!" Baru saja Rafa keluar rumah, tiba-tiba langsung kembali masuk sambil berteriak memanggil kedua orang tuanya."Ada apa Rafa?" Budi dan Mirna menatap anaknya khawatir."Ini ada surat sama ponsel Kak Green di dekat pintu." Rafa memberikannya pada papanya."Apa ini?" Cepat-cepat Budi membaca isi secarik kertas itu."Paman, Bibi dan Rafa. Mulai detik ini, berhentilah mengkhawatirkanku. Jangan mencariku. Aku pergi dan akan mencoba hidup dengan lebih baik. Aku tak ingin menyusahkan kalian lagi. Usiaku sudah 21 tahun. Aku sudah dewasa, dan aku akan hidup mandiri. Terimakasih untuk segala rasa sayang yang telah kalian berikan untukku."Green Assa.Tangan Budi gemetar membacanya. Mirna yang ikut membacanya, langsung memegang dadanya."Tidak mungkin!" gumam M
Hana menyalakan mobilnya, dan di saat itulah dia ingat bahwa mobilnya mengalami mogok. Dia menatap Green."Mobilku tidak bisa menyala. Aku tidak begitu paham soal mobil.""Aku...juga tidak begitu paham tapi biar aku periksa sebentar," ucap Green agak ragu. Dia lalu memeriksanya. Green sedikit memahami mesin lantaran Paman Budi adalah karyawan bengkel mobil dan motor, dan Green terkadang suka membantu pamannya jika lembur.••Hana menghela nafas berat. Dia kembali teringat pada Marcell. Semua rencana gagal begitu saja. Marcell pasti akan marah padanya. Papanya juga pasti akan marah. Ini semua karena mobil ini mogok. Tidak, tidak. Bukan semata karena mobil saja. Ini karena dia mampir ke rumah Sartika. Hana kemudian melirik makanan dari Sartika yang ia letakkan begitu saja di belakang, di kursi penumpang. Sepertinya makanan itu akan ia makan saja bersama Green. Hana sudah merasa lapar
Mata Hana melebar menunggui papanya yang sedang bertelepon. Melihat mimik emosi dari wajah ayahnya membuat perasaan Hana semakin tidak tenang. Semakin dia mendengar pembicaraan itu, semakin gusarlah dirinya.Pikiran Anton benar-benar rumit saat ini. Yang meneleponnya adalah pemilik Perusahaan Milan, Tuan Alex Milan. Dia menginginkan Hana menikah dengan bocah yang bermalam bersama Hana di apartemen. Jika Anton menolak, Alex tidak akan segan-segan menyebarkan skandal besar bahwa Hana telah membawa seorang lelaki tampan ke apartemennya dan menghabiskan malam bersamanya hingga pagi. Alex memiliki bukti konkrit yang tidak akan bisa disangkal, dan ini akan sulit untuk diklarifikasi. Nama baik keluarga Winata terancam akan hancur. Sungguh picik!Alex Milan dan tentunya pengusaha lainnya tahu betul bahwa keluarga Winata pasti berencana untuk menangkap ikan besar dengan menggunakan Hana, putri mereka yang cantik jelita untuk menggaet Marcell Williams
Green saat ini berada di sebuah ruangan terkunci yang hanya berisi sebuah ranjang dan sebuah meja. Di ruangan itu, juga terdapat toilet. Seluruh memar dan luka di tubuh dan wajahnya sudah diobati, dia juga diberi makan. Pengawal-pengawal itu memperlakukan dia dengan baik. Tetapi Green saat ini sedang gusar. Walaupun gadis itu berkata bahwa dia tidak kekurangan satu hal pun dari tubuhnya, tetap saja Green memiliki keraguan tersendiri. Itu semua karena dia dan gadis itu hanya menyisakan pakaian dalam di tubuh mereka. Green masih berupaya keras mengingat kejadian tadi malam. Tetapi semakin dia mencoba untuk mengingatnya, semakin sakitlah kepalanya.Dengan sebelah tangan, dia memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Yang dia ingat cuma adegan ciuman saja, setelah itu dia tidak ingat apa pun. Bagaimana seluruh bajunya terbuka dan hanya menyisakan pakaian dalam, dia juga tidak ingat sama sekali. Apa benar dia telah berbuat tak senonoh dengan gadis itu? Green saat ini
Hana menatap Green dengan wajah sendu membuat Green semakin kaku. Terlihat bahwa Hana terpaksa melakukan pernikahan ini. Tetapi walaupun demikian, Hana tetap menautkan tangannya ke lengan Green. Dengan iringan musik, Green dan Hana melangkah memasuki tempat ibadah. Hana mengedarkan pandangannya sekejap, tetapi tidak melihat tanda-tanda kehadiran neneknya, Nyonya Besar Erina Winata. Hana mendesah, dia bisa menebak bahwa neneknya itu pasti marah sekali mendengar pernikahan dadakan ini. "Hana, kamu tidak apa-apa?" Terdengar suara setengah berbisik. Hana mendongak menatap Green. "Tidak begitu baik. Kamu sendiri tidak apa-apa?" Hana balik bertanya. "Aku tidak tahu," jawab Green. Dia sendiri merasa takut memikirkan apa yang terjadi di masa depan. Sebagai suami, apakah dia dituntut harus memiliki tanggung jawab? Jika ia dituntut, apakah ia akan mampu? Tetapi, bukankah ini adalah pernikahan pura-pura
Wajah Anton dan Jihan merah padam melihat Green yang sedang kejang-kejang terkapar di lantai. Mereka syok dan sangat malu, hingga mulut mereja bergetar emosi tetapi tidak tahu harus berkata apa. Hana yang juga sempat terkejut, dengan ragu mencoba mendekat dan berjongkok di dekat Green. Sementara orang-orang mulai sibuk mengeluarkan ponsel untuk merekam videonya. Bagi para kerabat keluarga Winata, ini adalah lelucon yang tak diduga-duga. Menikahnya Hana saja sudah menjadi tanda tanya besar, apalagi melihat pasangan Hana yang ternyata hanyalah sosok yang seperti ini!Di antara para kerabat, keluarga Winatalah yang paling menonjol. Nyonya besar Erina Winata telah berhasil membawa nama baik Winata menjadi lebih terhormat hingga masa kini. Dia juga telah berhasil mendidik keempat anaknya menjadi sukses. Kecerdasan keluarga Winata juga tidak perlu dipertanyakan karena begitu menonjol. PT Andalan Winata adalah bukti konkrit yang tak terbantahkan.T
Green Williams terkena epilepsi ketika ia masih bayi. Waktu itu, ibu tirinya, Nyonya Sally Williams, tidak sengaja menjatuhkannya ke lantai dan jatuhnya cukup keras. Sejak itu, Green sering mengalami kejang. Albert, ayah dari Green, sudah membawa Green untuk melakukan pengobatan hingga ke luar negeri, tetapi tidak ada kemajuan yang berarti akan penyakit Green. Green tetap saja mengalami kejang di waktu yang tak menentu. Tiga tahun kemudian, Green memiliki adik laki-laki yang bernama Marcell Williams. Sejak itu, Green diperlakukan dengan cara yang berbeda. Green tidak dianggap anak lagi. Mereka malu memiliki anak seperti Green. Oleh karena itu mereka memutuskan untuk menitipkan Green pada pengasuhnya. Tetapi di keluarga Williams sendiri, Albert mengumumkan bahwa putranya, Green Williams, telah meninggal pada saat melakukan pengobatan di luar negeri. Kabar ini tentu sangat mengejutkan bagi Tuan besar Reyhans. Berita itu ia dengar tepat saat ia sedang