Share

Bab 6

"Ini apa ya, Mah? Kok kayak pintu gitu," tanyaku. Mama yang mendengar pertanyaanku tertawa renyah.

"Kamu itu dari dulu aneh, lucunya nggak ilang-ilang, ini rumahmu, Nak. Kenapa tanya ke mama?" ungkap mama membuatku merasa malu.

Tiba-tiba suara klakson mobil terdengar mengejutkan kami berdua. Sepertinya itu Mas Sandi, baru jam berapa ini? Kenapa ia sudah pulang?

"Sebentar, Mah. Sepertinya Mas Sandi pulang," ucapku sambil bangkit. Kemudian aku berjalan menuju parkiran rumah.

Mas Sandi tampak keluar dari mobil, lalu turun dengan membawa berkas yang sepertinya penting.

"Mas, kamu buru-buru sekali, ada apa?" tanyaku sambil mengernyitkan dahi. Mas Sandi tampak mendekap kertas yang tadi ia pegang, tapi ketika melihatku ia sontak mendekap kertas tersebut.

"A-aku ada urusan mendadak, ini ada yang ketinggalan juga berkas salinan yang kupegang," ujarnya dengan nada gemetar.

Kemudian, ia setengah berlari ke dalam dan mengambil sesuatu, entah apa yang ia ambil, aku pun tak mengetahuinya. Selepas itu, ia pun bergegas kembali ke mobilnya.

"Mas balik ke kantor, ya Sayang," ucapnya sambil mengecup keningku.

Aku terperangah melihat Mas Sandi yang begitu tergesa-gesa dengan langkahnya. Kemudian, aku kembali ke kamar untuk membantu mama merapikan kamar yang akan ia pakai untuk bermalam.

"Mama!" teriak kedua anakku.

"Iya, Sayang, kalian mau main dengan nenek ya?" tanyaku. Mereka pun mengangguk.

"Iya, Mah. Kami mau main dengan nenek," ucap Vira.

Aku pun mengantarkan mereka dengan neneknya. Sambil melanjutkan membongkar papan yang berada di belakang vas bunga.

"Mbok, bantu saya ya, ke kamar tamu!" perintahku.

"Baik, Bu."

Mamaku bermain dengan Vira dan Yura, sedangkan aku dan Mbok, melanjutkan pergeseran vas bunga tadi.

"Ayo Mbok, geser atau angkat vas bunga ini!" pintaku sambil menunjukkan ke arah vas bunga yang ukurannya kisaran 1 meter.

"Ayo, Bu!"

Setelah tergeser, kami membuka papan tersebut. Sebuah pintu kecil yang bisa dimasukkan orang. Aku coba masuk melalui celah pintu tersebut, kemudian menerobos, ternyata itu pintu jalan untuk keluar yang langsung menembus ke kamarku. Astaga, kok bisa aku nggak tahu.

"Mbok, saya coba mau keluar lewat sini, tolong tutup kembali!" perintahku sambil melangkah keluar dan menembusnya. Ada sebuah pintu juga di kamarku. Ya, aku ingat, pintu ini awalnya memang dibuat untuk mempermudah jika anak-anak nangis, sebab kamar tamu ini awalnya kamar anak-anak. Aku mengurutkan dada supaya sedikit tenang.

Kemudian, aku duduk di ranjang kamarku. Menghela napas dan berpikir jernih, itulah menjadi caraku untuk mencari tahu sebenarnya apa yang telah terjadi.

Tiba-tiba suara pintu terdengar, ada tamu yang datang lagi. Aku segera membukakan pintunya.

"Rosa!" Aku agak sedikit terkejut melihat Rosa yang datang sendirian.

"Mbak, maaf, tadi saya disuruh oleh Mas Sandi untuk ambil sesuatu di kamarnya," celetuk Rosa membuatku terkejut. Kenapa harus Rosa? Bukankah bisa minta tolong aku. Alisku sedikit terangkat, heran dengan ucapan Rosa barusan.

"Mau ambil apa ya? Tadi Mas Sandi pulang dengan tergesa-gesa, kenapa sekarang gantian kamu?" Mata Rosa agak membulat, sepertinya ia sedang kebingungan dengan apa yang ia dengar barusan.

"Aku cuma mau ambil tas, Mbak. Ini juga disuruh oleh Mas Sandi, sepertinya penting."

"Tas apa, biar aku yang ambil. Ini rumahku, jangan macam-macam," cetusku.

"Iya, Mbak, kata Mas Sandi tas yang ada di lemari kecil paling bawah," sahut Rosa.

Aku bergegas untuk mengambil tas tersebut, tanpa banyak bicara aku buka lemari kecil yang ternyata berisikan tas ransel warna merah. Ini isinya apa? Sepertinya baju. Aku membatin sendiri sambil mengukur berat tas tersebut.

Sebaiknya aku buka dulu, biar tahu isinya apa, sekadar mengintip agar hilang rasa penasaran.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status