Ditatap dengan intens dan sentuhan di dagu seperti itu, tentu saja membuat Kirana semakin tak berdaya. Pesona sang suami tidak main-main. Lelaki itu seakan menjelma menjadi laki-laki yang begitu sangat berbeda. Aura dominannya terlalu kuat sehingga Kirana hampir-hampir berpikir bila suaminya mungkin memiliki dua kepribadian.Akan tetapi, saat sebuah senyum terlukis di bibir tipis Rayan dengan begitu lembut, Kirana segera menampik sebuah dugaan itu. Sifat suaminya tak berubah, masih hangat seperti biasanya. Hanya saja sekarang Rayan terlihat berbeda bentuk luarnya saja. Fisiknya yang berubah tapi sorot mata dan senyumnya masih sama seperti Rayan yang dia kenal. "Kenapa malah bengong?" tanya Rayan yang hembusan napasnya menyapu wajah Kirana.Ah, dia tidak bisa berdekatan dengan lelaki itu dalam jarak yang sangat terlalu dekat seperti itu. Dia merasa hal itu tidak aman untung jantungnya. Di matanya, Rayan terlalu tampan seperti sosok pria impian di drama-drama yang membuat para wanit
Kirana sontak menengadah, menatap suaminya yang tingginya menjulang itu. Dilihatnya, suami tampannya itu kembali melukiskan sebuah senyuman hangat hingga tanpa sadar Kirana membalasnya dengan senyuman yang manis."Nah, gitu dong. Istrinya Rayan itu cantik, kamu enggak perlu gugup," kata laki-laki itu yang reflek membuat Kirana memutuskan tatapan mereka.Rayan memahaminya dengan baik bahwa istrinya sedang malu. Dia yang masih merangkul Kirana dengan tangan kiri di pundaknya itu mengajak sang istri cantiknya itu berjalan mendekat ke arah teman-teman kerjanya. Rayan mengangguk pada mereka sebelum meminta istrinya untuk duduk di kursi yang kosong, tepat di samping Serin yang juga datang bersama dengan suaminya."Rin," sapa Kirana sebelum duduk.Serin yang terbengong-bengong itu membalas dengan tergagap, "I-iya, Mbak."Seseorang lainnya memberanikan diri bertanya, "Mbak Na. Itu ... suaminya?" Bagian terakhir kata 'Suaminya' itu diucapkan tanpa suara oleh wanita itu. Kirana pun mengangg
"Gaji kamu nggak seberapa, umur juga udah 25. Mendingan kamu cepet nikah sebelum jadi perawan tua, Na." Wanita berambut panjang keriting bernama Herni itu pun mendesah penuh kesal sembari melirik ke arah putrinya, Kirana yang hendak berangkat bekerja. "Ibu udah bosen denger orang-orang nyebut kamu 'perawan tua'. Lagian, kalau kamu nikah, tuh suamimu bisa bantu kasih Ibu tambahan uang," lanjut Herni dengan begitu entengnya. Kirana hanya terdiam, tanpa berniat membalas perkataan sang ibu. Dia justru ingin lanjut pergi saja, tapi kemudian suara sang ayah terdengar. "Kalau kamu enggak bisa cari suami, biar Bapak yang carikan. Kamu tinggal terima beres aja," ucap Parlan yang sedang meniup kopi panasnya tanpa repot-repot menoleh pada putrinya ketika dia berbicara. Gadis manis dengan tubuh cenderung kurus itu pun seketika membeku di tempatnya berdiri, tak bisa begerak selama beberapa detik lamanya. Apa ini? Maksudnya dia sedang dipaksa menikah? Dia akan dijodohkan? Begitukah? Kira
Siska juga ikut menambahkan, "Daripada jadi perawan tua, Mbak. Terima aja, lagian belum tentu ada yang mau sama Mbak kan? Nungguin siapa lagi juga?" Dua adiknya itu seakan begitu kompak memberi dukungan atas ide dua orang tuanya itu. Tapi, lidah Kirana masih kelu hingga dia tidak bisa langsung membantah. "Teman-teman SD-mu itu sudah menikah semua, tinggal kamu yang belum. Masa kamu enggak malu belum nikah sendiri?" Herni menambahkan dengan nada ketus. Kirana membasahi bibir dan akhirnya bisa berkata, "Enggak, Bu. Kirana enggak suka dijodoh-jodohin." Nadia dan Siska sudah bersemangat ingin berbicara lagi tapi Herni menyuruh dua putrinya itu untuk diam terlebih dulu. "Eh, Ibu enggak suka ya kamu nolak-nolak. Mereka sudah mau ada rencana ke sini," ujar Herni mulai terdengar marah. "Kan baru rencana, Bu. Bisa dibatalkan," balas Kirana. Parlan yang kesal dengan balasan sang putri pun berkata, "Jangan bikin Bapak malu! Udah, pokoknya kamu siap-siap saja. Minggu depan kamu lamaran sam
Kebimbangan seketika menyelimuti hati Kirana. Jelas itu adalah pilihan yang sangat sulit. Seno meskipun seorang yang suka memainkan wanita, dia tetaplah memiliki harta yang cukup. Kehidupannya pasti akan terjamin jika dia memilih Seno. Akan tetapi, membayangkan dia harus melihat orang itu bermain dengan wanita lain membuatnya tak mungkin sanggup menjalaninya. Sedangkan jika dia memilih Rayan yang hanya seorang tukang sol sepatu, masalah ekonomi sudah jelas di depan mata. "Na, dijawab sana cepat," kata Herni. Lamunan Kirana pun buyar. Dia kembali menatap pria yang belum dia ketahui namanya itu dengan pandangan bingung. "Kenapa kamu mau menikahi aku?" Nadia yang duduk di samping ibunya langsung angkat bicara, "Astaga, Mbak. Pakai ditanya, udah terima aja." "Kalau kamu enggak mau sama Seno, ya enggak apa-apa kalau mau yang ini," kata Parlan, tanpa menyebut nama pemuda itu. Sedangkan Siska yang masih berpakaian rapi itu mendecak lidah, "Enggak perlu lama mikirnya, Mbak. Yang pent
"Tapi, Bu. Kami kan-" "Bereskan!" potong Herni sambil menunjuk ke arah lantai sementara dia duduk di kursi sofa bersama dengan suami dan dua putrinya yang lain serta dua menantunya. Kirana mengepalkan tangan karena kesal. Dengan terpaksa dia membungkukkan badan untuk melipat tikar. Tapi, tanpa dia duga Rayan menahan lengannya, seolah melarangnya untuk melakukan hal itu. Herni menaikkan alis kanan, "Heh, tunggu apa lagi?" "Mas," panggil Kirana dengan nada bingung. Rayan pun berujar, "Kamu masuk ke dalam aja, biar saya yang urus." Nadia yang mendengar hal itu seketika menyeletuk, "Owh, so sweet!" Dia juga bertepuk tangan untuk Rayan tapi lalu menambahkan, "Kalau begitu jangan lupa cuci gelas-gelas kotor ini juga ya!" Dia menggunakan mata untuk memberitahu Rayan. Kirana pun berkata, "Mas, aku-" "Kamu masuk aja ya," ucap Rayan. Kirana menggeleng tapi Rayan bersikeras, "Kamu masuk aja. Percaya sama saya, biar saya yang urus." Wanita muda itu ingin sekali membantah, tapi meli
Rayan tidak tersinggung dan malah tersenyum kecil, "Iya, halal. Enggak mungkin saya kasih istri saya uang haram." Kirana terpana mendengar cara Rayan menyebut dirinya. Dengan tergagap dia membalas, "Tapi, ini dari mana? Mas, sepuluh juta lho ini. Ini sama kaya gaji aku selama lima bulan, Mas." "Ya dari kerjalah," jawab Rayan sembari menatap istrinya dalam-dalam. "Dari benerin sepatu?" ucap Kirana, masih terlihat tidak percaya. "Ya kan kamu sudah tahu saya memang tukang sol sepatu," angguk Rayan, membenarkan ucapan Kirana. Namun, Kirana masih belum dengan jawaban itu dan bertanya lagi, "Berapa lama kamu ngumpulin uang ini, Mas?" Rayan membalas, "Sudah, kamu enggak perlu pikirin itu. Yang penting kamu pakai aja ya." Kirana masih terlihat ragu dan belum yakin. Tapi saat dia teringat akan ibunya yang membutuhkan uang tambahan modal untuk toko kelontongnya di pasar yang sudah tutup selama satu minggu itu, dia segera bertanya pelan pada sang suami, "Mas, kalau gitu boleh enggak aku ka
Kirana terhenyak saat mendengar ucapan tidak mengenakan ibu dan bapaknya."Ya Allah, Pak, Bu. Kok bilang gitu? Mas Rayan udah beliin ini mahal-mahal loh, Bu. Belinya di-""Mahal? Memang beliin apa sih? Bakmi? Nasi goreng? Ayam kentucky di depan minimarket?" sela Herni dengan tatapan malas.Sebelum Kirana bisa menjawabnya, Parlan yang sedang merokok itu berkata, "Mahal apanya? Paling juga dua belas ribu kalau itu. Oalah, Na. Makanan pinggiran enggak jelas kok dikasih ke bapak ibumu.""Bukan makanan pinggiran. Ini belinya di ...."Gadis itu tak jadi melanjutkan perkataannya, lengannya disentuh lagi oleh Rayan. Suaminya yang tampan itu menggelengkan kepala seakan meminta Kirana untuk tidak mengatakan apapun.Rayan pun mengambil alih, "Ya udah, kalau memang Bapak sama Ibu tidak ingin memakannya, biar saya antar makanan ini ke rumah Bi Siti saja."Herni membalas dengan cuek, "Oh, bagus. Kami juga enggak bisa makan makanan yang enggak jelas kaya gitu.""Ya, ya. Siti sering kekurangan makana