Share

3. Pengorbanan sia-sia

Pagi ini terpaksa keluarga Mas Irwan harus mengeluarkan uang lebih untuk membeli sarapan di luar. Salah siapa mulai berani bermain api di belakangku. Dasar mereka yang tidak tahu terimakasih saja. Bukan bermaksud untuk mengungkitnya, melainkan ini sebagai bukti bahwa sudah banyak yang aku korbankan untuk suami dan keluarganya namun tidak sebanding dengan apa yang aku dapatkan dari mereka.

"Lihat gara-gara kelakuanmu itu aku jadi keluar uang lebih!" Mas Irwan tiba-tiba saja muncul menghampiri aku ketika sedang menyuapi anak pertama kami.

Aku masih acuh tidak merespons ucapannya itu. Rasa sakit hatiku atas penemuan fotonya dengan perempuan lain belum bisa aku hilangkan dari ingatanku. Aku masih mendendam dan mencari cara agar bisa mencari tahu tentang apa yang tengah suamiku ini coba sembunyikan dari aku. Kaldu saja ia sampai tega bermain gila di belakangku aku pastikan kariernya tidak akan selamat. Aku tidak akan pernah ikhlas dengan semua pengorbanan namun yang menikmati hasilnya justru perempuan lain. 

Sudah sering aku dengar tentang cerita di luaran sana. Kisah pasangan rumah tangga yang hancur begitu saja karena ulah orang ketiga. Istri sah yang rela dan sudah berkorban perasaan dan juga waktu menemaninya dari bawah, namun ketika sudah berada di puncak kejayaan ia seolah telah lupa dengan semua yang dikorbankan oleh perempuan yang setia menemaninya dan mendampinginya dalam kondisi apapun itu. Terkalahkan dengan rayuan bibir manis perempuan yang ingin mendapatkan kesenangan secara instan.

Meskipun aku kesal dengannya, aku masih menyempatkan diri untuk tetap menyiapkan keperluan tetapi tidak dengan keperluan makannya dan juga keluarganya karena itu sama artinya aku harus kembali berkorban untuk mereka. Aku harus mengeluarkan uang pribadiku untuk mengisi perut ibu dan juga keluarga dari kakaknya itu.

Sudah cukup pengorbananku untuk manusia tidak tau diri dan tidak tahu balas budi seperti mereka. 

Bukannya aku tidak ada uang seperti yang aku sampaikan pada kakak iparku. Hanya saja aku mulai sadar sehingga aku sangat menyayangkan uang hasil kerja kerasku itu dinikmati oleh mereka. Mungkin lain ceritanya jika mereka bersikap baik kepadaku. Nyatanya aku tetap saja terlihat buruk meski sudah banyak yang aku korbankan selama menjadi menantu di rumah ini. Mereka lebih sering menikmati hasil kerja kerasku ketimbang keluargaku sendiri. Orang tuaku sendiri, karena orang tuaku yang memiliki prinsip tidak ingin menyusahkan anaknya terlebih menganggu perekonomian keluarga anak-anaknya. Selama masih ada tenaga, sebisa mungkin mereka akan terus berusaha untuk mencukupi kebutuhan mereka tanpa harus mengharapkan gaji dari anak-anak mereka.

Pagi yang bagiku adalah awal hari yang suram. Tak ada lagi suami yang pamit seperti biasanya. Mas Irwan pergi begitu saja tanpa pamit atau melihat putra dan putrinya terlebih dahulu seperti biasanya sebelum ia berangkat bekerja.

Aku hanya bisa menatap nanar mobil yang sudah menghilang dari balik tembok pembatas rumah dari jendela kamar kami yang kebetulan berada di bagian depan dari rumah ini.

'Kamu sudah benar-benar berubah, Mas. Apa kamu memang sudah menemukan bunga lain di luar sana.'

Hari-hariku berjalan seperti biasanya. Hanya saja yang berbeda dengan yang aku kerjakan saat ini. Iya, hanya pekerjaan bersih-bersih saja yang aku lakukan tidak dengan kegiatan di dapur kecuali Mas Irwan memberiku uang tambahan untuk belanja kebutuhan sayur untuk mengisi kulkas dan stok bahan makanan.

Jangan berpikir enak jadi istri seorang manager. Iya, Sudah dua tahunan ini suamiku diangkat menjadi seorang manager setelah melalui proses seleksi oleh perusahaan tempatnya bekerja. Itu semua juga tidak luput dari campur tanganku yang membiayainya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi untuk menunjang jenjang kariernya.

Tiga tahun belakangan ini pula aku melakoni pekerjaanku sebagai ibu rumah tangga secara utuh, lima tahun sebelumnya tugas ganda aku kerjakan tanpa terbebani dengan adanya anak kecil, karena aku dan Mas Irwan sengaja menunda momongan. Bukan keinginanku sejujurnya, melainkan karena terpaksa oleh situasi dan juga paksaan dari keluarga suamiku. Masa Depa suami jauh lebih penting dari pada anak yang bisa di tunda kapan saja. Itu yang pernah diungkapkan oleh keluarga dari suamiku itu.

Akhirnya setelah mas Irwan berhasil menyelesaikan studinya. Secara terang-terangan aku mengemukakan keinginanku untuk bisa memiliki buah hati. Tidak masalah, asal aku masih sanggup untuk membantu perekonomian karena kondisi keluarga kami saat itu jauh dari kata mapan. 

.

Selesai menjemur pakaian aku langsung masuk ke dalam kamar tentunya setelah membersihkan kedua buah hatiku yang masih berusia balita. Alif, anak pertama baru menginjak usia tiga tahun sedangkan adiknya---Latifah baru berusia tiga bulan lebih.

Sebagai seorang perempuan dan juga istri yang sudah terbiasa bekerja dan berpenghasilan sendiri. Aku tidak mau tinggal diam dan berpangku tangan saja. Setahu suamiku dan keluarganya, aku hanya seorang penjual makanan Online. Berbekal ponsel bekas milik Mas Irwan yang sudah tidak dipakainya lagi karena sudah membeli ponsel yang baru yang mengikuti perkembangan gadget. 

Di sela-sela mengurus anak dan berjualan secara Online. Diam-diam aku mulai belajar untuk mencari ilmu lewat dunia maya, melalui aplikasi akun-akun sosial media. Diantaranya menjadi supplier pakaian dan kosmetik secara Online yang lebih tepatnya aku hanya menjadi perantara atau lebih dikenal dengan istilah dropshiper. Untung saja aku pernah memiliki kartu ATM sehingga tidak perlu lagi untu membuat yang baru karena dalam sistem jual beli secara Online sangat penting dan dibutuhkan rekening untuk pencairan dana atau transaksi antara penjual dan pembeli.

.

"Enak banget ya yang seharian kerjanya cuma tiduran saja di kamar." Suara cempreng ibu mertua yang sengaja menyindir diri ini karena aku baru keluar dari dalam kamar.

Aku membawa serta kedua anakku karena keduanya terlihat sumpek berada di dalam kamar seharian.

"Mending di dalam kamar tidur, Bu. Dari pada keluar rumah cuma untuk mencari tambahan dosa dengan giba membicarakan aib orang. Umur kita tidak ada yang tahu, Bu. Kalau tidak di mulai sedari sekarang untuk bertaubat memang mau nunggu kapan lagi."

"Kamu sudah berani dan lancang, ya. Mimpi apa anakku bisa dapat istri macam kamu!" murkanya karena tidak suka dengan ucapan kebenaran yang baru saja aku sampaikan.

"Harusnya ibu bersyukur dan beruntung aku mau menjadi istri dari anak ibu. Apa ibu lupa siapa yang membuat Mas Irwan bisa sampai seperti ini. Aku, Bu yang menyekolahkan anak, Ibu. Aku rela banting tulang untuk biaya kuliah anak ibu. Aku juga rela menunda memiliki anak hanya untuk menuruti keinginan kalian agar anak laki-laki di rumah ini memiliki ijazah sarjana." Karena sudah terbakar emosi hingga membuatku lupa jika ada dua buah hati yang harus aku jaga mentalnya. Astaghfirullah. Apa ini karena semuanya yang sudah aku pendam sendirian selama ini.

"Itu kan memang sudah tugas kamu. Jangan cuma mau enaknya saja jadi istri."

Astaga, apa ibu mertuaku ini lupa jika dia juga punya seorang putri. Semoga saja apa yang aku terima darinya itu tidak terbalas kepada anak perempuannya nanti.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
for you
8thn baru sadar
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status