Kubuka mataku, ternyata aku tertidur di kamarku dan Iqbal menemaniku. Aku merasakan sakit yang teramat sangat di jemariku. Aku mengingat semuanya, ini karena sabetan cambuk dari Tuan Hussein. Punggung tanganku merah kehitaman, dan sepertinya bekas diolesi krem.
Bila aku mengingat kejadian pagi itu rasanya tercekam bagai menghadapai algojo. Dan seketika dadaku terasa sesak bernafas, ngeri sekali rasanya. Aku jadi membayangkan bagaimana dengan TKW Indonesia yang sedang menghadapi hukuman pancung? Dia membela diri karena diperkosa majikan.
Kalau akhirnya TKW itu tidak sengaja membunuhnya untuk membela diri, apa itu salah? Kenapa justru dia harus menghadapi hukum pancung sebagai pelengkap penderitaannya?
Komplotan Ruby tidak berani menyakitiku, apalagi untuk menyentuh tubuhku. Tapi kalau dengan fitnah seperti ini, akan lebih membahayakan diriku. Aku bisa saja kena hukuman potong tangan kalau saja Faruq dan Iqbal tidak menolongku.
Aku menatap anakku Iqbal yang tertidur pulas di sampingku. Bagaimana anak setampan dan sebaik dia harus terlahir dari rahimku dengan latar belakang yang tragis. Aku membelai rambutnya yang lembut, kutatap dengan dalam wajah anakku ... oh anugerahMu begitu indah, Ya Allah. Alhamdulillah.
Ternyata cukup lama aku pingsan atau entah tertidur, tapi begitu mataku terbuka sudah malam. Dari pintu kudengar seseorang mengetuknya.
"Fahim, kamu sudah bangun? Aku ambilkan makan malam ya?" tawar Priya setelah dia membuka pintu.
"Tidak Priya, aku tidak lapar. Nanti saja kalau aku lapar akan mencari sendiri di dapur. Priya, ternyata aku tidur sangat lama ya?" tanyaku.
Priya masuk dan menutup kembali pintu, dia menghampiriku.
"Iya lama sekali, Fahim. Tuan Muda baru saja keluar kamarmu. Tuan Kecil baru saja tertidur, tadi tuan muda berpesan agar membiarkan dia menemani kamu di sini," kata Priya.
"Priya, kamu percaya kan aku tidak melakukan semua ini?" Tanyaku pada Priya, agar bisa meyakinkannya bahwa aku bukan orang seperti itu.
"Tentu percaya Fahim, kamu harus lebih hati-hati ya? Kalau saja kamu mau dinikahi tuan muda, mungkin mereka tidak berani lagi berbuat macam-macam. Kamu akan menjadi majikannya, mau tidak mau dia akan tunduk padamu. Pikirkan itu, Fahim!" pesan Priya.
"Aku perlu waktu berpikir, Priya!" jawabku sekenanya.
"Ada kalanya manusia itu penuh kekurangan. Mungkin masalah obsesi sex yang menyimpang. Itu adalah kelainan, seiring waktu kamu bisa menyembuhkannya. Dia sangat mencintaimu, kamu bisa merubahnya sesuai harapanmu." nasehat Priya dengan lirih.
"Bagaimana kamu tahu, itu masalah kami berdua, Priya?" tanyaku terkejut.
"Saat kamu pingsan, aku yang merawatmu. Aku melihat banyak luka sayatan dan cakar di dadamu, di leher," kata Priya pelan.
"Dia monster, Priya! Dia bukan manusia! Aku takut!" kataku sambil menghaburkan tubuhku ke pelukannya.
Kami saling berpelukan, aku merasa dialah satu-satunya orang yang mengerti tentang diriku. Dia memelukku dengan sayang bagai seorang saudara.
Tiba-tiba dengan keras aku mendengar Faruq berteriak kepada abinya.
"Tapi dia tidak bersalah, Abi! Abi seorang polisi bisa melakukan penyelidikan, misalnya dengan sidik jadi di barang bukti itu? Aku yakin Fahim bahkan tidak menyentuhnya, sehingga ini cukup membuktikan kalau dia bukan pelakunya, Abi!" bantah Faruq.
Aku dan Priya saling berpandangan. Bagaimana mungkin mereka masih membahas masalah itu? Aku berpikir sudah selesai dengan hukuman cambuk yang sudah aku terima pagi tadi.
"Itu pekerjaan polisi, Faruq, kamu tidak usah mengajariku." sahut Tuan Hussein.
"Tapi aku takut dia tidak mendapat keadilan, Abi," teriak Faruq memekik.
"Oke, Abi akan bantu, tapi ada syaratnya," tawar Tuan Hussein.
"Apa itu, Abi?"
"Ta'aruf," jawab Tuan Hussein.
"Siapa lagi? Sudah kubilang aku belum siap menikah, Abi," sahut Faruq.
"Usiamu sudah 35 tahun dan kamu masih saja bilang belum siap. Kamu masih nunggu Fahim yang bodoh culun itu? Wanita tak berkelas, miskin pula. Abi tidak melarang kamu menikahi dia, Faruq, tapi apa yang sudah dia lakukan padamu, coba? Dia sudah mempermalukan dirimu," kata Tuan Hussein emosi.
"Tapi justru dialah wanita yang kuidamkan, Abi. Dia tidak silau harta benda dan kedudukan. Itu makanya aku tidak percaya kalau dia mencuri. Tanpa dia harus mencuri aku sudah memanjakannya dengan uang dan perhiasan. Tapi tak satupun yang dipakai, disimpan sebagai hiasan lemari di kamarnya," bela Faruq.
"Sudah jangan bela dia terus, itu syarat dari Abi yang perlu kamu pertimbangkan!" sahut Tuan Hussein.
"Tidak perlu pertimbangan lagi, Abi. Aku rela demi Fahim. Oke kita Ta'aruf, besuk," jawabnya setuju.
Aku dan Priya saling berpandangan, keputusan Faruq dilakukan hanya demi aku?
"Kamu yakin merelakan Faruq untuk wanita lain?" bisik Priya kepadaku.
Kenapa hatiku sangat sakit mendengar kata-kata Priya seperti itu. Sekejap aku membayang Faruq berdampingan dengan wanita cantik, tiba-tiba ada yang perih di dadaku. Apakah ini cemburu? Tidak! Bukankah aku tidak mencintainya, tapi kenapa ada sakit dan nyeri di dada saat mendengar kesediaan Faruq menerima wanita lain? Ataukah karena aku takut kehilangan perhatiannya belaka?
Cklek! Tiba-tiba pintu dibuka dan Faruq sudah berdiri di depan pintu.
"Tuan Muda, Fahim tidak ingin makan, saya permisi dulu!" pamit Priya dengan sopan.
"Ambilkan saja, Priya!" perintah Faruq datar.
"Baik, Tuan Muda." Priya berlalu pergi.
Sebentar kemudian Priya sudah kembali dengan membawa makanan buat aku. Faruq menerima nampan yang berisi makanan.
"Tinggalkan kami!" pinta Faruq datar.
"Baik, Tuan Muda," jawabnya kemudian Priya pergi dan menutup kembali pintu kamarku.
Faruq menaruh nampan itu di meja kecil di samping ranjangku. Dia mengambil sop daging di mangkuk.
"Pasti sop ini tidak senikmat buatanmu, tapi kamu harus tetap makan demi Iqbal. Dia yang menderita saat melihat dirimu sakit. Aaa' ...," katanya sambil menyodorkan sendok di bibirku, setelah dia meniupnya karena panas. Aku kikuk, memandangnya dengan perasaan gugup.
"Ayolah! Tanganku pegal nih ...," ujarnya sambil menyentuhkan sendok itu ke bibirku. Perlahan kubuka mulutku sambil menatap lelaki perkasa itu dalam-dalam.
"Sampai kapan kamu menatapku seperti itu? Kamu bisa tergila-gila nanti! Atau jangan-jangan sebenarnya kamu sudah mengagumiku, kamu gengsi aja mengakuinya, iya kan?" bisiknya di telingaku. Sambil tangan perkasanya terus menyendokkan makanannya untuk disuapkan di mulutku.
"Kadang aku benci pada diriku sendiri, kenapa harus tergila-gila padamu, Fahim. Kamu hanya seorang pembantu yang biasa-biasa saja," bisiknya.
Kami saling berpandangan, tatapannya sangat dalam menebus ke jantungku. Pertama kalinya hatiku tergetar menatapnya. Mungkin kali ini perlakuannya kepadaku berbeda, bukan sebagai pemuas nafsunya belaka. Tapi memang karena rasa cinta yang ada di hatinya.
Tak terasa semangkok sop ludes termakan olehku. Aku menatap mangkok yang kosong itu dengan malu.
"Lo kemana larinya isi mangkok tadi? Tumpah ya?" Faruq berkelakar menggoda.
"Tuan Muda?" gumamku lirih.
"Perasaan tadi ada yang menolak tidak mau makan, tapi ...," Faruq masih terus menggoda.
"Tuan Muda," desahku manja.
Aku malu, tapi Faruq menatapku dengan tersenyum puas, aku juga tersenyum. Kami saling berpandangan lagi. Kenapa malam ini aku melihat sosok Faruq yang lain yang sebelumnya tidak pernah kulihat. Kamu gagah dan tampan, andai saja sikap dan cintamu selembut salju ...
"Tidurlah, biar Iqbal menemani kamu!" bisik Faruq sambil membantuku berbaring. Perlahan dia menutupiku dengan selimut begitu juga dengan tubuh Iqbal. Sebelum pergi dia mengecup keningku sambil berkata, "Kamu satu-satunya penghuni hatiku, tidak tergantikan."
Aku terpana dengan perlakuan Tuan Muda malam ini. "Kalau aku satu-satunya penghuni hatimu, kenapa kamu terima tawaran Ta'aruf itu, Tuan Muda?" tanyaku dalam hati.
Bagaimana acara Ta'aruf Tuan Muda?
Bersambung ...
.
Hari ini kebetulan hari Minggu, acara Ta'aruf sudah dipersiapkan dengan matang. Ada tiga mobil yang ikut mengantar ke rumah calon mempelai wanita."Faruq, aku yakin kamu pasti tertarik dengan calon pengantinmu, dia cantik sekali," kata wanita paruh baya yang tak lain adalah adik abinya."Tante, kok belum-belum bilang calon pengantin wanita sih, emangnya aku setuju? Kan baru ta'aruf belum juga melihat orangnya," jawab Faruq sambil tertawa renyah."Tapi dia seperti bidadari, kamu pasti terpukau melihatnya. Selain cantik, dia cerdas dan kaya," kata Tante Umamah."Yah, kita lihat saja nanti!" jawab Faruq tegas.Aku hanya mengintip kegiatan mereka dari lantai atas. Aku melihat Iqbal yang mengenakan setelan jas mewah sangat tampan. Membuat aku begitu bangga menjadi uminya.Faruq mengenakan jas setelan sama dengan jas Iqbal. Dia tak kalah ganteng, saat mereka duduk berdampingan seperti pinang dibelah dua. Aku hanya menatapnya dari atas. Kelua
Aku menunggu dengan cemas, dan mondar-mandir di dekat jendela kamarku. Sebentar-sebentar aku melongok ke luar jendela sambil melihat kalau-kalau rombongan mobil ta'aruf itu datang. Terasa begitu lama, benar ternyata menunggu itu sangat melelahkan.Tiga jam lebih akhirnya rombongan itu datang. Aku begitu penasaran dengan hasil pertemuan itu. Acara ta'aruf saja yang ikut sekian banyak orang sih, beda dengan Indonesia. Baru kalau acara lamaran melibatkan banyak orang.Aku mengintip dari jendela, mereka turun dari mobil menuju ke rumah. Wajah mereka berseri-seri semua. Aku keluar kamar dan mengintai dari balkon."Kubilang apa? Faruq pasti akan terpana melihat kecantikannya. Dia bukan saja cantik wajahnya, tapi cerdas," ujar tante Umamah."Dia juga pandai menari dan bernyanyi." sahut adik nyonya, Hanifah."Kamu beruntung sekali, Kak Faruq, selera kamu berkelas sekali," sahut Ihsan menimpali."Memang mata kakak masih waras, tau?" jawab Faruq terta
Aku tidak bisa terus berbaring sekalipun badanku demam. Aku harus membantu Iqbal menyiapkan keperluan sekolah juga sarapannya. Mereka berkumpul di meja makan. Makan pagi ini sangat ramai karena semua tamu masih belum pulang.Aku melirik Ikhsan yang dengan nakal matanya berkedip-kedip menggodaku. Aku menunduk takut dan risih, Iqbal bergegas meraih tanganku seolah dia menyadari ketakutanku. Jemari mungil nya meremas tanganku sambil menatap lembut dan mengangguk tersenyum membuat sejuk hatiku."Hei kamu Fahim kan? Kalau Faruq tertarik sama kamu, itu berarti karena kamu cantik," gumam Umamah."Jadi penasaran juga," Ikhsan menimpali."Buka dong!" sela Sholikin sambil tangannya meraih cadar yang menutupi wajahku.Spontan tanganku menangkisnya. Semua mata terbelalak kaget. Mereka merasa aku terlalu berani dan tidak sopan kepada tamu. Kalau saja Faruq melihat semua ini pasti akan terjadi baku hantam lagi.Faruq masih berkemas di kamarnya, demi
Aku semakin penasaran apa benar Faruq ada hubungan khusus dengan Ruby dan Sena sama seperti hubungannya denganku? Apakah Faruq akan marah kepada Sena demi membela diriku? "Senaaa ...!" teriak Faruq dari depan pintu kamarku. Aku penasaran apa yang akan terjadi? Aku menunggu kedatangan Sena dengan hati cemas dan penasaran. "Iya Tuan Muda, ada yang bisa saya bantu?" tanya Sena yang tersenyum genit dan menatap aku dengan tatapan mengejek. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Sena, tapi dengan sikap liciknya aku berkeyakinan dia sedang berpikir curang. "Apa kamu yang mengantarkan Saleeg buat Fahim?" tanya Faruq. "Saleeg? Tidak Tuan Muda saya baru keluar dari gudang mencatat bahan-bahan makanan yang harus di beli hari ini. Ini catatannya, Tuan Muda," kata Sena sambil menunjukkan selembar kertas. "Kamu yakin, Sena?" tanya Faruq datar. "Masak sih Tuan Muda tidak percaya padaku? Tapi tadi habis dari meja m
Di area itu terasa perih dan basah, aku menjadi jijik pada diriku sendiri. Kujambak rambutku kuat-kuat sambil menjerit histeris."Aaaaaagh!"Kugigit bibir bawahku dengan sangat kuat untuk mengalihkan sakit hatiku. Tak henti-hentinya aku mengutuk diriku sendiri yang terlalu lemah dan bodoh sehingga jadi korban penindasan orang lain."Priya, apakah mungkin dia sudah menjamah tubuhku? Sepertinya dia sudah memperkosa aku, kenapa pakaian dalamku lepas?" tanyaku disela isak tangisku."Memang Tuan Muda butuh waktu dari kantor untuk sampai ke rumah ini. Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu, Fahim. Yang tahu kalian berdua, kamu dan Ikhsan," ujar Priya sedih."Tidaaaaak! Aku muak ... aku jijiiiiik!" tangisku histeris.Priya segera memelukku kembali dan memenangkan aku,"Kamu harus kuat, kalau kamu seperti ini mereka akan tertawa puas. Keadaan seperti inilah yang dia harapkan, Fahim," Priya menghibur."Bagaimana kalau Ikhsan berhasil memp
Aku jadi sakit hati bila ingat Faruq memperkenalkan aku sebagai pengasuh Iqbal. Harusnya aku mengerti posisi Faruq, memang tidak mudah. Aku cemburu setelah melihat betapa cantiknya Marwa. Perawakannya sangat bagus tinggi dan sintal, beda jauh denganku. Tinggiku hanya 158 cm dan beratku hanya 46 kg, tak sebanding dengan Marwa. Secara wajah aku juga tidak ada apa-apa nya, orang menyebut dia bagai bidadari. Tak salah bila aku menaruh cemburu. Takut kalau Faruq akan melupakan aku. Bukankah harusnya aku senang tidak menjadi budak nafsunya lagi. Bahkan mungkin dia akan melepaskan aku dari penjara yang membelenggu selama sepuluh tahun. Malah mungkin juga dia mengijinkan aku pulang ke Indonesia. "Umi, Abi pulang!" teriak Iqbal setelah membuka kamarku. Dengan tanpa memperdulikan rasa sakitku, aku segera beranjak bangun dan bergegas bersama Iqbal menyambut Faruq. "Abiiii ...!" teriak Iqbal sambil berlari menghampirinya. Aku dan Iqbal terpe
Saat aku membuka mataku, ada tangan kekar melingkar di pinggangku. Betapa terkejutnya ternyata Faruq tidur di sampingku. Aku melirik jam di atas meja kecil di samping ranjang menunjukkan pukul 03.00. Aku terbiasa terbangun di jam-jam itu, karena kebiasaan aku sholat Tahajud. Kenapa tiba-tiba Faruq menyusul tidur di kamarku? Padahal tadi Abi dan uminya, marah besar kepadaku. Mencaci aku separah itu, bila mengingatnya benar-benar membuat sakit hatiku. Aku perlahan menyibakkan tangan Faruq dan bangun untuk mengambil air wudhu untuk sholat Sunnah Tahajud. Dalam sholatku aku selalu menumpahkan tangisku kepada Zat Yang Maha Pengasih. Kadang aku berpikir, tubuhku yang kotor, selalu jadi pelampiasan nafsu majikan dan aku tak mampu menghindarinya hingga melahirkan seorang anak. Bagaimana dengan ibadahku, apakah Allah bisa menerima ibadahku? Wallahu A'lam Bish-shawab. Sekalian aku sholat Istikharah, sebentar lagi Faruq ulang tahun, aku harus memenuhi permintaan
Aku masih penasaran apa yang sedang direncanakan mereka bertiga di depan kamarku. Aku melihat dan samar-samar mendengar ada pertengkaran diantara mereka. Setelah aku memberikan sarapan Iqbal, dengan alasan mengambil tas ke kamar Iqbal aku kepo ingin mendengarkan percakapan mereka. Kebetulan kamarku bersebelahan dengan kamar Iqbal. "Aku tidak mau tahu, aku tetap akan mengusirnya, aku tidak mau keluarga Marwa memutuskan hubungan ini, Faruq," Tuan Hussein emosi. Seketika tubuhku lemas lunglai mendengarnya. Kalau saja aku mendengarkannya saat aku belum mempunyai Iqbal, jelas aku bahagia sekali. Tapi sekarang, aku berpikir bagaimana dengan Iqbalku? Apakah aku bisa berpisah dengan Iqbal, anakku? "Apa kalian tidak memikirkan perasaan Iqbal? Bagaimana dia dipisahkan dari uminya?" tanya Faruq memohon. "Kalau begitu kamu harus bisa meyakinkan Marwa agar dia tidak cemburu dan tidak membatalkan pernikahan ini! Dan yakinkanlah keberadaan Fahim