Ternyata orang yang sangat kucintai menusukku dari belakang. Diam-diam dia akan mengambil Erkan dariku. Pandainya dia bersandiwara seolah dia adalah pahlawanku, pelindungku juga anak-anak. Ternyata dia ular yang berbisa. Semenjak aku mendengar telepon dari Hema itu aku harus lebih hati-hati kepada Muzammil."Faruq, berikan Erkan kepadaku!" pinta Muzammil kepada Faruq.Dengan suka hati Faruq memberikannya kepada Muzammil. Aku menatapnya dengan kecewa, "harusnya kamu menjaganya, Pangeran, bukannya malah akan menculiknya," batinku."Aku akan menyuapinya, Pangeran," kataku."Suapi saja biar kugendong," usul Muzammil.Tanpa berontak terpaksa aku menyuapi Erkan yang dalam gendongan Muzammil. Sambil bergurau riang menghibur Erkan agar mudah makan. Aku melihat Faruq terpaku menatapku, perasaan canggung mulai menghinggapiku."Assalamualaikum ...?" sapa Marwa yang tiba-tiba muncul di depan kami."Waalaikum salam," jawab kami bersamaan."Marwa?" panggil Faruq terkejut."Nyonya Marwa?" panggilku
Plag! "Bodoh!" teriaknya geram. Dengan sekuat tenaga tamparan Faruq mendarat di wajahku. Seketika pipiku terasa sakit, panas bak terbakar. Kepala terasa berputar karena pusing. Kebodohan aku, bagaimana aku tanpa berpikir panjang mengibaskan jas itu di depannya. Sontak saja bersin-bersin Faruq semakin parah. "Kamu bukan saja bodoh tapi juga jorok! Bagaimana banyak bulu kucing di jasku? Malah dikibaskan di depanku, otak itu dipakek!" bentaknya. Tangannya yang besar itu mencengkeram dengan kasar pipiku. Sehingga bibirku mengkerucut dan sakit. Kini bukan saja wajahku yang panas dan perih, ditambah cengkeraman Faruq membuat ngilu rahangku. "Kamu sengaja ya?" bisik Faruq sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku terdiam, tidak tahu bagaimana caranya meyakinkan Faruq. Sekilas mataku menangkap Ruby, Sena dan Markamah tertawa puas penuh kelicikan. Tiga orang teman pembantu itu selalu saja ada cara untuk membuat aku dalam masalah. "Maa
Kepalaku terasa sakit dan berat, mataku sulit sekali kubuka. Samar-samar dari jauh kudengar tangis Iqbal memanggilku."Umi ...!" teriaknya histeris.Aku berusaha membuka mataku yang masih berat. Dimanakah aku? Udara sangat pengap dan panas. Kuraba bajuku sangat ketat dan tidak nyaman. Gaun pengantin? Aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi, dan aku mulai mengingat semuanya.Kakiku penuh luka, darah mulai mengering di sana-sini. Ada bercak darah di gaun putih pernikahan. Aku tidak tahu bagaimana aku mendapatkan luka ini? Dan bagaimana aku tiba-tiba berada di gudang. Ada terpal kotor menutupi tubuhku yang lemah yang kini mulai terasa gatal-gatal.Tangis Iqbal makin jelas terdengar di telingaku. Dan kini mataku pun mulai jelas melihat sekelilingku. Meski kepala masih terasa sakit dan berat, cukup untukku bisa membawa tubuhku bangun dan duduk.Kenapa aku disekap di gudang? Satu-satunya pemegang kunci gudang penyimpanan makanan ini adal
Faruq shock, ternyata dia menginginkan bayi itu. Tapi aku tidak berdaya, bagaimana aku bisa tidak menyadari kalau ada pertumbuhan mahluk mungil di rahimku. Betapapun aku menyesalinya, nasi sudah menjadi bubur."Bagaimana mungkin kamu tidak tahu kalau hamil, Fahim? Atau jangan-jangan memang kamu sengaja ingin menggugurkannya karena kamu tidak menginginkan bayi itu?" tuduh Faruq memekik menangis."Apakah aku sekejam itu? Bagaimana mungkin aku membunuh darah dagingku sendiri? Meskipun aku tidak menginginkan bayi itu, meskipun aku benci sama kamu, aku jijik sama kamu tapi aku bukan manusia kejam yang bisa membunuh anakku sendiri!" teriakku emosi tepat di depan wajahnya.Seolah ingin melepaskan gejolak hatiku yang lama kutahan. Tak perduli kekejaman apalagi yang bakal kuterima, pasti rasanya tak sesakit kehilangan bayiku."Beraninya kamu bicara seperti itu kepadaku! Dasar wanita gila, bodoh! Wanita pembangkang, bukannya minta maaf, malah ngelunjak!" teri
Aku lebih suka tidur di kamar Iqbal. Tanpa sepengetahuan Tuan Hussein dan nyonya aku sering menyelinap tidur di kamar Iqbal. Bila mereka mengetahuinya, aku pasti dimarahi bahkan dihukum karena tidur di sana. Mereka merasa aku tidak sederajat dengan Iqbal sehingga tidak boleh tidur seranjang dengan anakku sendiri. Tidur di kamar Iqbal adalah salah satu cara agar aku bisa selamat dari nafsu Faruq. Malam ini aku masih sakit, aku yakin Faruq tidak akan memaksaku bercinta. Maka itu aku tidur di kamarku sendiri. Terdengar dia membuka pintu kamarku yang sebenarnya sudah aku kunci. Tapi dia memegang kunci duplikatnya. Dia sudah melakukan ini hampir setiap malam. Nafsu sexnya terlalu tinggi, mungkin pengaruh dari makanan yang dikonsumsinya setiap hari. Aku pura-pura tidur saat dia mendekatiku. Seluruh badanku yang dilukai dengan cambuk itu pun belum sembuh. Aku sengaja tidak menutupinya dengan selimut karena sentuhan selimut menyakiti lukaku. Aku melirik
Aku harus memasak untuk makan siang majikan dan semua pembantu. Ada lima pembantu wanita, tiga sopir dan lima penjaga rumah dan bagian taman.Mereka selalu mengerjai aku dengan memberikan pekerjaan mereka. Hampir semua pekerjaan berat diberikan kepadaku. Tapi kalau Iqbal atau Faruq sedang di rumah, mereka tidak berani menyuruhku bahkan sangat menghormatiku."Fahim, habis memasak jemur baju terus seterika!" perintah Ruby berlagak bos."Tapi sebelumnya sapu dan pel kamar ku dulu, soalnya ada pecahan gelas." sahut Sena.Tanpa membantah aku menuruti apa kata mereka. Tapi sebelumnya aku menyiapkan makan siang buat nyonya. Aku dengan sabar berdiri di dekatnya agar kalau dia membutuhkan sesuatu tidak kesulitan.Nyonya hampir selesai makan, tiba-tiba Tuan Hussein datang."Sekalian siapkan makan buatku, Fahim!" pinta Tuan Hussein."Baik, Tuan." kataku dengan patuh.Aku berjalan ke dapur mengambilkan lagi sayur yang hangat. Aku mel
Suara di lantai bawah mulai gaduh, kemarahan tuan dan nyonya sangat jelas terdengar. "Fahim, turun kau!" teriak nyonya kemudian. Aku dan Iqbal saling berpandangan, ada perasaan khawatir. "Umi turun dulu, Iqbal!" pamitku kepada Iqbal. "Aku ikut, Umi! Aku tidak mau Umi kena masalah. Aku takut mereka mengerjai Umi lagi!" ujar Iqbal. "Tidak perlu takut sayang, selama kita benar dan jujur, Allah pasti menolong kita," kataku menenangkannya, padahal hatiku sendiri ragu. "Tapi Umi ...." katanya terpotong. '"Sudahlah kamu siapkan alat sekolah kamu dan segera turun untuk sarapan ya!" kataku kemudian berjalan meninggalkan Iqbal. Aku lihat di bawah sudah berkumpul semua pembantu sedang di sidang oleh majikan laki dan perempuan, juga Faruq. Saat aku berjalan turun tangga semua mata tertuju kepadaku.Aku jadi salah tingkah dan tidak tahu harus bagaimana? "Sini kamu, cepat!" bentak nyonya kepadaku. "Baik Nyo
Kubuka mataku, ternyata aku tertidur di kamarku dan Iqbal menemaniku. Aku merasakan sakit yang teramat sangat di jemariku. Aku mengingat semuanya, ini karena sabetan cambuk dari Tuan Hussein. Punggung tanganku merah kehitaman, dan sepertinya bekas diolesi krem.Bila aku mengingat kejadian pagi itu rasanya tercekam bagai menghadapai algojo. Dan seketika dadaku terasa sesak bernafas, ngeri sekali rasanya. Aku jadi membayangkan bagaimana dengan TKW Indonesia yang sedang menghadapi hukuman pancung? Dia membela diri karena diperkosa majikan.Kalau akhirnya TKW itu tidak sengaja membunuhnya untuk membela diri, apa itu salah? Kenapa justru dia harus menghadapi hukum pancung sebagai pelengkap penderitaannya?Komplotan Ruby tidak berani menyakitiku, apalagi untuk menyentuh tubuhku. Tapi kalau dengan fitnah seperti ini, akan lebih membahayakan diriku. Aku bisa saja kena hukuman potong tangan kalau saja Faruq dan Iqbal tidak menolongku.Aku menatap anakku Iqbal yang