Aku harus memasak untuk makan siang majikan dan semua pembantu. Ada lima pembantu wanita, tiga sopir dan lima penjaga rumah dan bagian taman.
Mereka selalu mengerjai aku dengan memberikan pekerjaan mereka. Hampir semua pekerjaan berat diberikan kepadaku. Tapi kalau Iqbal atau Faruq sedang di rumah, mereka tidak berani menyuruhku bahkan sangat menghormatiku.
"Fahim, habis memasak jemur baju terus seterika!" perintah Ruby berlagak bos.
"Tapi sebelumnya sapu dan pel kamar ku dulu, soalnya ada pecahan gelas." sahut Sena.
Tanpa membantah aku menuruti apa kata mereka. Tapi sebelumnya aku menyiapkan makan siang buat nyonya. Aku dengan sabar berdiri di dekatnya agar kalau dia membutuhkan sesuatu tidak kesulitan.
Nyonya hampir selesai makan, tiba-tiba Tuan Hussein datang.
"Sekalian siapkan makan buatku, Fahim!" pinta Tuan Hussein.
"Baik, Tuan." kataku dengan patuh.
Aku berjalan ke dapur mengambilkan lagi sayur yang hangat. Aku melihat para pembantu di dapur sedang bergerombol ngrumpi sambil tertawa-tawa. Begitu mengetahui aku masuk dapur, sontak mereka diam dan semua menatapku menyelidik. Aku jadi risih dibuat pusat perhatian mereka.
"Apa sih lebihnya, nggak ada kan? Tubuhnya kecil mungil biasa-biasa saja, apalagi wajahnya, pas-pasan!" seru Sena berdiri di dekatku.
"Udah lepas saja cadarmu, sok-sokan pakek cadar wanita kotor saja sok suci!" Ruby menimpali sambil tangannya menarik cadarku hingga lepas dan terjatuh kemudian dia menginjaknya. Bersamaan mereka tersenyum nyengir dan mengejek.
Aku menatap mereka dengan menahan kesal. Tapi mereka terbelalak menatapku, kemudian ngakak.
"O ternyata untuk menutupi luka bibir kamu yang pecah? Pasti itu ganjaran dari Tuan Muda Faruq, kamu sih suka ngebantah ... syukurin!" ejek Ruby diiringi tawa mereka.
Aku malas merespon, aku paling malas bicara yang tidak berguna. Dengan hati-hati aku menyiapkan sop daging di mangkuk bersama acar dan beberapa makanan yang lain di nampan.
Karena aku diam tidak meresponnya, ternyata membuat mereka penasaran dan sakit hati. Saat aku mulai melangkah dengan membawa nampan berisi makanan, semua pandangan tertuju padaku. Aku berpikir pasti mereka akan mengerjaiku lagi.
Ternyata tidak salah, Ruby menyerampang kakiku agar aku terjatuh tentunya. Sontak aku melompat kecil sehingga kakiku lolos dari keusilannya. Bahkan dengan sengaja aku menjatuhkan kakiku tepat di jari kakinya. Dia berteriak kesakitan.
"Aduh, kurang ajar! Berani kamu!" teriak Ruby.
Memang kadang aku harus bersikap demikian. Meskipun badanku kecil dan nampak lemah tapi aku punya bekal pencak silat yang aku pelajari sejak kecil dari suatu perguruan di kampungmu. Tapi anehnya, aku tak berdaya berada dalam tindihan dan ancaman Faruq. Ilmu yang selalu ayahku banggakan yang katanya bisa menjaga diriku, ternyata tak berguna di hadapan Faruq.
"Awas kamu!" Ruby berteriak mengancam.
Dan aku berlalu tanpa menghiraukannya. Di ruang tengah aku bertemu Priya, dia tersenyum sambil berbisik.
"Sekali-kali kamu harus melakukannya, Fahim! Biar mereka jera dan tidak meremehkanmu!"
Dan aku membalasnya dengan senyum dan anggukan setuju. Sesampai di meja makan aku melihat Faruq sudah berdiri di dekat meja makan sedang bercakap dengan kedua orang tuanya.
"Kok dia sudah pulang sih!" gerutuku dalam hati.
"Ambilkan untuk Tuan Muda sekalian!" perintah nyonya.
"Tidak usah, Umi, aku tadi meeting di restoran sudah sekalian makan siang. Di kantor sedang tidak ada pekerjaan aku pulang saja, capek!" ujarnya sambil menatap aku dengan tajam seolah kata-kata itu ditujukan kepadaku.
"Ya sudah istirahatlah! Fahim, buatkan minuman hangat buat Tuan Muda!" perintah nyonya kepadaku.
"Baik Nyonya!" jawabku.
"Sekalian ambilkan lagi sop dagingnya, Fahim. Sop kamu gurih dan segar!" sela Tuan Hussein.
"Sop daging? Aku juga mau, ambilkan juga buat aku, Fahim, dan bawa ke kamarku!' sela Faruq dari atas tangga begitu mendengar ada sop daging kesukaannya.
"Baik Tuan Muda!" jawabku.
Aku kembali ke dapur dan menyajikan kembali dua mangkuk sop.
"Mana buat Tuan Muda? Biar aku yang antarkan ke kamarnya!" Sena menawarkan diri sambil menatanya di nampan.
Dia mungkin tidak bisa menyakiti tubuhku dengan kekerasan, tapi mereka pandai memfitnah dan bertipu muslihat. Aku mulai waspada. Aku membiarkan Sena mengantarkan sop daging dan susu kurma ke kamar Faruq. Padahal dalam lubuk hatiku yang paling dalam aku tahu, Faruq bukan saja menginginkan sop itu, melainkan dia ingin aku mendekatinya.
Aku membawakan sop ke meja makan sambil merapikannya.
"Kamu tadi keluar kemana, Umi?" Tuan Hussein bertanya kepada nyonya.
"Aku ke rumah Zaenab ambil baju-baju pesenanku, Abi!"nyonya menjawab. "Aku juga baru saja pulang." lanjutnya.
Tiba-tiba aku mendengar Faruq berteriak marah.
"Berani-beraninya dia meremehkan perintahku!" teriak Faruk marah.
Pyarrrr! Suara barang pecah belah dibantingnya.
"Kamu melimpahkan tugasmu pada orang lain, Fahim?" tanya Tuan Hussein.
"Iya, Tuan," jawabku menyesal.
"Bodoh! Dia memerintah kamu, bukan orang lain! Jelas saja dia marah?" hardik Tuan Hussein.
"Apakah dia akan mengamuk dan memukuliku lagi? Apa sih bedanya cuma ambilkan sop saja, baik dia maupun aku yang mengantar kan sama saja?" pikirku mengerutu.
"Cepat kamu naik, cari gara-gara saja! Apapun alasannya, dia ingin cuma kamu yang melayaninya, tau?" hardik nyonya.
Aku segera berlari naik ke lantai atas menuju kamar Faruq. Sena di dalam kamar sedang membereskan pecahan kaca yang berceceran.
Saat aku datang dia menatapku dengan tatapan tajam dan geram.
"Maafkan aku, Tuan Muda!" ujarku ragu dan takut.
"Apa maksudmu? Aku menyuruh kamu kan, kenapa kamu lempar ke Sena? Kamu meremehkan aku ya? Bikin sakit hati, tau!" hardiknya melotot tepat di mukaku.
Aku melirik ke arah Sena yang jongkok membereskan pecahan kaca, dia tampak tersenyum puas melihat kemarahan Faruq kepadaku. Spontan aku punya ide agar emosi Faruq tidak berujung dengan main tangan di depannya. Dia akan tertawa menang bila sampai itu terjadi.
"Maafkan aku, Tuan Muda!"
"Maaf ... maaf saja bisanya!" sahutnya lagi.
"Kaki saya masih sakit, Tuan Muda. Saya kesulitan naik tangga sambil membawa sop panas. Kalau saya sedang baik-baik saja, pasti saya sendiri yang akan melayani Tuan Muda. Kan selama ini selalu saya yang melayani Tuan Muda," kataku dengan lembut dan manis.
Dalam hatiku bersedih, aku melakukan apa yang ada di luar kemauanku. Tapi tidak apa-apa, ini demi diriku sendiri agar tidak selalu ditindas oleh mereka.
"Kalau memang kamu masih sakit kan bisa bilang, biar aku saja yang turun makan di meja makan, Fahim." jawab Faruq melunak.
"Alhamdulillah!" ucapku dalam hati.
Aku melirik ke arah Sena yang menatapku dengan kecewa.
"Sena, apa kamu belum selesai?" tanya Faruq kesal.
"Sudah, Tuan Muda," jawabnya gagap.
"Ya sudah kamu ke luar! Kenapa masih di situ?" usir Faruq.
"Baik, Tuan Muda."
Aku melihat Sena keluar kamar sambil melirikku dengan kesal. Aku yakin teman-temannya sudah menunggu di dapur untuk mendengar kabar tentang aku.
"Fahim, ...." panggil Faruq sambil menghampiriku.
Aku menatap Faruq dengan takut, tapi tak sengaja mataku justru melihat serpihan pecahan gelas itu di lantai. Sontak aku berlari menghampiri Faruq tanpa berpikir panjang. Entah kenapa aku tidak ingin pecahan kaca itu melukai Faruq.
"Tuan Muda, berhenti!" teriakku sambil mendorong tubuhnya.
"Auh!" jeritku histeris.
"Fahim!" pekik Tuan Muda.
Aku merintih kesakitan, pecahan kaca itu menancap di kakiku. Darah segar mengucur hebat karena luka yang lumayan dalam. Serpihan kaca itu masih menancap di telapak kakiku.
"Kenapa kamu melakukan ini? Kenapa kamu tidak membiarkan aku yang terluka? Bukankah kamu membenciku?" cerca Faruq.
Aku diam tidak menjawabnya, dengan tidak sabar lagi aku terpaksa menahan sakit dengan mencabut pecahan kaca itu dari kakiku.
"Auh!" pekikku lirih.
"Apa yang kamu lakukan? Sebentar kupanggil dokter!" ujarnya gugup.
"Tidak usah, Tuan Muda, biar kuobati sendiri saja!" kataku lirih.
Tapi Faruq tidak mendengarkan bahkan dia membopong tubuhku dan mendudukkan aku di bibir ranjangnya yang empuk. Dia segera mengambil kotak obat dan mengobati lukaku.
"Jangan Tuan Muda, biar kuobati sendiri!" kataku karena tidak enak hati dia memperlakukan aku seperti itu.
"Sudah diam, jangan bawel!" hardik Faruq.
Akhirnya aku membiarkan dia mengobati lukaku. Aku menatap wajah tampannya yang sedang mengkhawatirkan aku. Saat tangannya yang kekar itu mengoleskan anti biotik aku terperanjat karena sakit dan perih. Faruq menatapku dengan iba, sambil meniup lukaku dengan lembut.
"Tahan sedikit lagi ya, kuolesi yodium!" pintanya sambil menatapku. Aku hanya diam membalas tatapan Faruq. Kami saling berpandangan sekejap, tapi dalam. Setelah mengoles yodium, dia membungkus lukaku.
"Si ceroboh Sena harus dihukum! Sena ..!" teriak Faruq.
"Tidak perlu Tuan Muda, kan saya sudah tidak apa-apa." Aku menahannya agar tidak memperpanjang masalah.
"Bagaimana mungkin aku bisa memaafkan dia? Dia sudah melukaimu, Fahim!" pekiknya.
Aku hanya tersenyum pasrah meskipun hatiku sedih.
***
Pagi sekali, aku membantu Iqbal menyiapkan keperluan sekolah di kamarnya. Sebenarnya kakiku masih sangat sakit. Tapi aku tidak mau membuat Iqbal khawatir bila melihatnya.
"Ruby ... Sena ... Priya ...!" nyonya berteriak dengan keras.
"Ada apa dengan oma sih, pagi-pagi sudah teriak-teriak!" keluh Iqbal.
"Siapa kemarin yang memberesi kamarku?" tanya nyonya berteriak.
"Ada apa sih, Umi?" tanya Faruq menghampirinya.
"Faruq, perhiasan dan uang Umi hilang di lemari!" teriak nyonya lagi.
"Mana mungkin sih, untuk pertama kalinya kita kehilangan harta di rumah kita?" kata Tuan Hussein.
Aku dan Iqbal saling berpandangan, mendengar gaduh di bawah mengenai kehilangan.
Terlintas dalam pikiranku, ini pasti skenario mereka untuk memfitnahku lagi. "Apa yang harus kulakukan?" pikirku dalam hati.
Sepertinya Iqbal juga sedang memikirkan sesuatu. Apakah yang dipikirkannya sama dengan apa yang sedang kupikirkan?
"Kalau sampai diantara kalian ada yang berani mencuri di rumahku, kalian tahu aku seorang polisi kan, aku penjarakan kamu! Dan hukuman untuk pencuri adalah potong tangan." Tuan Hussein berteriak marah dan mengancam.
Apa yang bakal terjadi denganku?
Bersambung ....
Suara di lantai bawah mulai gaduh, kemarahan tuan dan nyonya sangat jelas terdengar. "Fahim, turun kau!" teriak nyonya kemudian. Aku dan Iqbal saling berpandangan, ada perasaan khawatir. "Umi turun dulu, Iqbal!" pamitku kepada Iqbal. "Aku ikut, Umi! Aku tidak mau Umi kena masalah. Aku takut mereka mengerjai Umi lagi!" ujar Iqbal. "Tidak perlu takut sayang, selama kita benar dan jujur, Allah pasti menolong kita," kataku menenangkannya, padahal hatiku sendiri ragu. "Tapi Umi ...." katanya terpotong. '"Sudahlah kamu siapkan alat sekolah kamu dan segera turun untuk sarapan ya!" kataku kemudian berjalan meninggalkan Iqbal. Aku lihat di bawah sudah berkumpul semua pembantu sedang di sidang oleh majikan laki dan perempuan, juga Faruq. Saat aku berjalan turun tangga semua mata tertuju kepadaku.Aku jadi salah tingkah dan tidak tahu harus bagaimana? "Sini kamu, cepat!" bentak nyonya kepadaku. "Baik Nyo
Kubuka mataku, ternyata aku tertidur di kamarku dan Iqbal menemaniku. Aku merasakan sakit yang teramat sangat di jemariku. Aku mengingat semuanya, ini karena sabetan cambuk dari Tuan Hussein. Punggung tanganku merah kehitaman, dan sepertinya bekas diolesi krem.Bila aku mengingat kejadian pagi itu rasanya tercekam bagai menghadapai algojo. Dan seketika dadaku terasa sesak bernafas, ngeri sekali rasanya. Aku jadi membayangkan bagaimana dengan TKW Indonesia yang sedang menghadapi hukuman pancung? Dia membela diri karena diperkosa majikan.Kalau akhirnya TKW itu tidak sengaja membunuhnya untuk membela diri, apa itu salah? Kenapa justru dia harus menghadapi hukum pancung sebagai pelengkap penderitaannya?Komplotan Ruby tidak berani menyakitiku, apalagi untuk menyentuh tubuhku. Tapi kalau dengan fitnah seperti ini, akan lebih membahayakan diriku. Aku bisa saja kena hukuman potong tangan kalau saja Faruq dan Iqbal tidak menolongku.Aku menatap anakku Iqbal yang
Hari ini kebetulan hari Minggu, acara Ta'aruf sudah dipersiapkan dengan matang. Ada tiga mobil yang ikut mengantar ke rumah calon mempelai wanita."Faruq, aku yakin kamu pasti tertarik dengan calon pengantinmu, dia cantik sekali," kata wanita paruh baya yang tak lain adalah adik abinya."Tante, kok belum-belum bilang calon pengantin wanita sih, emangnya aku setuju? Kan baru ta'aruf belum juga melihat orangnya," jawab Faruq sambil tertawa renyah."Tapi dia seperti bidadari, kamu pasti terpukau melihatnya. Selain cantik, dia cerdas dan kaya," kata Tante Umamah."Yah, kita lihat saja nanti!" jawab Faruq tegas.Aku hanya mengintip kegiatan mereka dari lantai atas. Aku melihat Iqbal yang mengenakan setelan jas mewah sangat tampan. Membuat aku begitu bangga menjadi uminya.Faruq mengenakan jas setelan sama dengan jas Iqbal. Dia tak kalah ganteng, saat mereka duduk berdampingan seperti pinang dibelah dua. Aku hanya menatapnya dari atas. Kelua
Aku menunggu dengan cemas, dan mondar-mandir di dekat jendela kamarku. Sebentar-sebentar aku melongok ke luar jendela sambil melihat kalau-kalau rombongan mobil ta'aruf itu datang. Terasa begitu lama, benar ternyata menunggu itu sangat melelahkan.Tiga jam lebih akhirnya rombongan itu datang. Aku begitu penasaran dengan hasil pertemuan itu. Acara ta'aruf saja yang ikut sekian banyak orang sih, beda dengan Indonesia. Baru kalau acara lamaran melibatkan banyak orang.Aku mengintip dari jendela, mereka turun dari mobil menuju ke rumah. Wajah mereka berseri-seri semua. Aku keluar kamar dan mengintai dari balkon."Kubilang apa? Faruq pasti akan terpana melihat kecantikannya. Dia bukan saja cantik wajahnya, tapi cerdas," ujar tante Umamah."Dia juga pandai menari dan bernyanyi." sahut adik nyonya, Hanifah."Kamu beruntung sekali, Kak Faruq, selera kamu berkelas sekali," sahut Ihsan menimpali."Memang mata kakak masih waras, tau?" jawab Faruq terta
Aku tidak bisa terus berbaring sekalipun badanku demam. Aku harus membantu Iqbal menyiapkan keperluan sekolah juga sarapannya. Mereka berkumpul di meja makan. Makan pagi ini sangat ramai karena semua tamu masih belum pulang.Aku melirik Ikhsan yang dengan nakal matanya berkedip-kedip menggodaku. Aku menunduk takut dan risih, Iqbal bergegas meraih tanganku seolah dia menyadari ketakutanku. Jemari mungil nya meremas tanganku sambil menatap lembut dan mengangguk tersenyum membuat sejuk hatiku."Hei kamu Fahim kan? Kalau Faruq tertarik sama kamu, itu berarti karena kamu cantik," gumam Umamah."Jadi penasaran juga," Ikhsan menimpali."Buka dong!" sela Sholikin sambil tangannya meraih cadar yang menutupi wajahku.Spontan tanganku menangkisnya. Semua mata terbelalak kaget. Mereka merasa aku terlalu berani dan tidak sopan kepada tamu. Kalau saja Faruq melihat semua ini pasti akan terjadi baku hantam lagi.Faruq masih berkemas di kamarnya, demi
Aku semakin penasaran apa benar Faruq ada hubungan khusus dengan Ruby dan Sena sama seperti hubungannya denganku? Apakah Faruq akan marah kepada Sena demi membela diriku? "Senaaa ...!" teriak Faruq dari depan pintu kamarku. Aku penasaran apa yang akan terjadi? Aku menunggu kedatangan Sena dengan hati cemas dan penasaran. "Iya Tuan Muda, ada yang bisa saya bantu?" tanya Sena yang tersenyum genit dan menatap aku dengan tatapan mengejek. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Sena, tapi dengan sikap liciknya aku berkeyakinan dia sedang berpikir curang. "Apa kamu yang mengantarkan Saleeg buat Fahim?" tanya Faruq. "Saleeg? Tidak Tuan Muda saya baru keluar dari gudang mencatat bahan-bahan makanan yang harus di beli hari ini. Ini catatannya, Tuan Muda," kata Sena sambil menunjukkan selembar kertas. "Kamu yakin, Sena?" tanya Faruq datar. "Masak sih Tuan Muda tidak percaya padaku? Tapi tadi habis dari meja m
Di area itu terasa perih dan basah, aku menjadi jijik pada diriku sendiri. Kujambak rambutku kuat-kuat sambil menjerit histeris."Aaaaaagh!"Kugigit bibir bawahku dengan sangat kuat untuk mengalihkan sakit hatiku. Tak henti-hentinya aku mengutuk diriku sendiri yang terlalu lemah dan bodoh sehingga jadi korban penindasan orang lain."Priya, apakah mungkin dia sudah menjamah tubuhku? Sepertinya dia sudah memperkosa aku, kenapa pakaian dalamku lepas?" tanyaku disela isak tangisku."Memang Tuan Muda butuh waktu dari kantor untuk sampai ke rumah ini. Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu, Fahim. Yang tahu kalian berdua, kamu dan Ikhsan," ujar Priya sedih."Tidaaaaak! Aku muak ... aku jijiiiiik!" tangisku histeris.Priya segera memelukku kembali dan memenangkan aku,"Kamu harus kuat, kalau kamu seperti ini mereka akan tertawa puas. Keadaan seperti inilah yang dia harapkan, Fahim," Priya menghibur."Bagaimana kalau Ikhsan berhasil memp
Aku jadi sakit hati bila ingat Faruq memperkenalkan aku sebagai pengasuh Iqbal. Harusnya aku mengerti posisi Faruq, memang tidak mudah. Aku cemburu setelah melihat betapa cantiknya Marwa. Perawakannya sangat bagus tinggi dan sintal, beda jauh denganku. Tinggiku hanya 158 cm dan beratku hanya 46 kg, tak sebanding dengan Marwa. Secara wajah aku juga tidak ada apa-apa nya, orang menyebut dia bagai bidadari. Tak salah bila aku menaruh cemburu. Takut kalau Faruq akan melupakan aku. Bukankah harusnya aku senang tidak menjadi budak nafsunya lagi. Bahkan mungkin dia akan melepaskan aku dari penjara yang membelenggu selama sepuluh tahun. Malah mungkin juga dia mengijinkan aku pulang ke Indonesia. "Umi, Abi pulang!" teriak Iqbal setelah membuka kamarku. Dengan tanpa memperdulikan rasa sakitku, aku segera beranjak bangun dan bergegas bersama Iqbal menyambut Faruq. "Abiiii ...!" teriak Iqbal sambil berlari menghampirinya. Aku dan Iqbal terpe