Aku melangkah cepat ke sekolah Raka. Akibat ulahnya mengirim video viral itu membuat geger satu sekolah. Namun, anakku tetap santai menanggapi, bahkan ia sibuk bersendau gurau bersama teman-temannya.Setelah kepala sekolah Raka menelepon dan meminta kejelasan maksud dari video itu, aku gegas ke Jakarta kembali bersama anakku. Sepertinya, sekalian saja aku menemui Hendri untuk membicarakan kasus perceraian dan harta gono gini.Di hadapanku, gadis perusak itu menudukkan kepala, seolah takut bertatap muka denganku. Kami semua berada di ruang kepala sekolah, aku, Raka, juga Angel—teman satu kelas Raka.“Bisa jelaskan pada saya, Bu. Tentang video yang disebar luaskan oleh Raka melalui Angel?” tanya Pak Hanif—kepala sekolah Raka.“Pak, maaf sebelumnya. Saya tidak tahu hal itu. Semuanya begitu saja dan saya tahu saat Bapak menghubungi saya.&rdq
Luapan emosi tak terbendung saat Mas Randi datang, lalu seenaknya memakiku. Aku seperti sudah tak mengenalnya. Datang dengan emosi yang meluap-luap.Kini, ia menjadi arogan dan penuh amarah. Pria itu kemarin menelepon dan ingin membicarakan perceraian. Seperti Hendri bilang, jangan menghindar dari Mas Randi. Temui saja dia dan cari tahu apa yang diinginkannya.Begitu pedih hati ini mendengar setiap cacian padaku. Aku tahu, bukan wanita sempurna, tetapi dia tak berhak mengatakan hal yang tidak baik.Untuk kesekian kali aku mencoba meraup oksigen, tapi dia seperti menghimpitku. Membuat dada ini sesak. Setiap kalimat yang ke luar dari mulutnya membuat hati bagaikan teriris pisau. Tajam dan menusuk. Rasanya aku tak sanggup bangkit setelah tertusuk.“Kamu, kan, yang mengajari Raka berlaku kurang sopan?” Suaranya mulai mening
Berkas perceraian sudah masuk pengadilan. Aku tinggal menunggu panggilan persidangan. Semakin dekat, aku malah semakin takut menghadapinya. Entah, perasaan apa ini? Semua berkecamuk menjadi satu.Raka sudah masuk sekolah lagi, setelah ia lolos dalam seleksi bea siswa. Wajahnya sangat semringah saat berbicara dirinya bisa kembali belajar bersama teman-temannya.Aku pun merasa senang, anakku sudah ceria kembali. Apa lagi ia sudah puas melihat Citra dikeluarkan kepala sekolahnya.Keseharianku kini membantu usaha temanku di butik. Ia tahu aku kesusahan dan menawarkan menjadi bagian dari usahanya. Walaupun hanya sebagai spg. Tak masalah, asalkan Raka bisa jajan dan makan.Aku memejamkan mat
Menanti persidangan kedua membuat aku semakin tak tenang. Keinginan kali ini adalah secepatnya mengurus masalah perceraian dengan Mas Randi. Aku tak mau menunda semuanya.Sepulang sekolah anakku memeluk erat tubuh ini. Bau matahari di tubuhnya terasa nano-nano. Belum lagi warna kulitnya yang berubah menjadi hitam karena kini ia pulang dan pergi sekolah naik angkot."Bau asem, Ka. Mandi dulu, sana.""Wangi, Mah.""Ish ... dasar.""Mama nggak jaga butik?""Kalau hari Senin, Mama libur, Ka."Raka mengiyakan ucapanku. Tak lama ia bergegas mandi setelah aku mendorongnya ke kamarnya. Wajah anakku sekarang lebih segar dari kemarin. Mungkin ia sudah lebih baik dengan masalah yang kami hadapi.Aku megambil ponsel yang berdering di nakas. Panggi
Aku tercengang mendengar ibunya Citra membantah tentang kondisi sang anak. Apa ia tidak tahu atau berpura-pura tidak tahu apa-apa? Wanita tua itu hampir saja terjatuh kalau Raka tak menopang tubuh ringkihnya."Mau Raka antar?"Wanita tua itu menepis tangan Raka. Wajahnya nampak memerah seperti menahan amarah. Lalu, ia memindai ke arah aku dan Raka bergantian."Kalian sengaja membuat hidup anakku menderita?""Kami? Maksud ibu, gara-gara kami?"Aku mengulang pertanyaan. Apa yang dipikirkan wanita tua di hadapanku sampai ia mengalahkan kami. Sudah jelas anaknya yang merebut suamiku. Lantas, malah menyalahkan.Ia melangkah gontai meninggalkan kami. Raka menunjuk wanita itu dengan kepala agar aku mengikutinya. Apa lagi yang
"Kalau dia orang tua yang bertanggungjawab, tidak ada perceraian antara Mama dan dia."Mbak Arni bergeming menatap Raka. Anakku sudah tak bisa mengubah pendiriannya. Jika ia tak mau, maka tak akan ada yang bisa membujuknya. Sekalipun aku.Aku mulai paham dengan kondisi ini. Raka dewasa sebelum waktunya. Ia dipaksa menjadi kuat dan mandiri oleh keadaan. Bagaimanapun, sikapnya kini menjadi lebih sensitive."Yasmin, anakmu kenapa keras kepala sekali?" Mba Arni kini bertanya padaku."Mba, Raka memang seperti itu. Dari dulu sampai sekarang ia memang tegas. Bedanya hanya kini tanpa perasaan.""Pusing saya, lagian kenapa kalian nggak ke rumah dan menceritakan semua kegilaan Randi?""Untuk apa Budhe? Aku nggak sudi Mama memohon untuk seseorang yang nggak pantas untuknya.""Raka! Biar Budhe
POV RAka"Raka kenal Citra sebelumnya?" tanya Mama padaku.Rasanya nyeri di dada begitu kencang saat nama gadis itu disebut. Mama kembali mengingatkan aku pada saat kejadian ini terjadi pada diriku."Ka, si Citra kayanya ngeliatin, tuh," ujar Reno menyenggol lenganku.Aku mengikuti arah ke mana tangan Reno menunjuk. Benar, Citra langsung tertunduk saat aku melihat ke arah dia. Ada apa?Citra salah satu murid perempuan yang banyak ditargetkan oleh beberapa temanku untuk menjadi pacarnya. Selain pintar, cantik, plus kulitnya putih bersih persis kulit bayi.Pernah satu kesempatan aku memergokinya sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Kalau tidak salah dia menyebutnya dengan panggilan Om.
Aku menepuk pundak Raka, saat itu juga ia mengerjapkan mata berkali-kali. Apa aku salah bertanya itu tentang Citra?"Ka, nggak usah di jawab.""Nggak apa-apa, Ma. Aku memang kenal Citra memang dia teman satu sekolahku. Sempet kesal saja dia merusak rumah tangga kedua orang tuaku."Benar dugaanku memang Raka mengenal Citra. Kenapa aku lupa jika mereka satu sekolah, sampai bertanya pada Raka. Bodohnya Mamamu ini, Ka.Sebuah pesan masuk kembali muncul di ponselku. Mba Arni mengirimkan beberapa pesan tentang Mas Randi.[Yas, Mba mohon jenguk Randi. Dia mau bertemu sama kamu.]"Ada apa, Ma?" tanya Raka."Budhe kamu kirim pesan katanya mau ketemu Mama, tapi udah Mama bales nggak bisa ke sana."Aku terpaksa berbohong pada Raka agar ia tak emosi. Ju