Prang!!
Aku beringsut mundur ketika gelas yang sedang aku cuci di wastafel jatuh dan hampir mengenai kakiku.
Astaghfirullah. Ada apa? Kenapa tiba-tiba perasaanku jadi tidak enak. Kenapa tiba-tiba aku mengkhawatirkan Mas Ibnu?
Gegas aku mengambil gawai yang sedang aku isi baterai di dalam kamar, mengusap layar benda pipih tersebut, memencet nomer suamiku ingin menanyakan keadaannya di Jakarta.
Tersambung. Tapi tidak kunjung ada jawaban.
'Ya Allah, lindungilah suamiku dari segala mara bahaya juga godaan wanita.'
Kembali ku letakkan gawaiku, karena sudah sepuluh kali panggilan masih tetap belum ada jawaban.
[Kamu dimana sih, Mas. Apa kamu baik-baik saja? Tolong jangan bikin aku khawatir]
Lekas ku kirim pesan kepada laki-laki yang telah menikahiku selama dua belas tahun itu.
Centang dua, tapi belum dibaca. Aku menjadi semakin mengkhawatirkannya.
***
Sudah hampir tiga tahun aku tinggal di rumah ibu mertuaku, menemani Ibu yang sakit stroke karena aku satu-satunya menantu wanita Ibu. Kedua adik Mas Ibnu Syafa dan Marwah, mereka tinggal jauh di kota seberang ikut dengan suami mereka. Hanya setahun sekali mereka pulang menemui Ibu, itupun saat hari raya saja.
"Kenapa, May. Kok melamun?" tanya Ibu, menyentakku dari lamunan.
Aku menyungginkan bibir, mencoba menutupi rasa gelisah yang sedang mendera.
"Kangen Mas Ibnu, Bu," jawabku sambil duduk di samping wanita berusia lebih dari setengah abad itu.
Sebenarnya aku merasa sangat kesepian karena hidup jauh dari anak serta suamiku. Raihan, satu-satunya putra kami, aku titipkan kepada kyai Mukhsin guru spiritualku ketika masih gadis. Aku ingin putaku menjadi anak yang sholeh dan mampu memakaikan mahkota kepadaku serta Mas Ibnu di surga kelak.
Meskipun banyak yang berkomentar, aku membuang putraku karena menitipkannya di pesantren sejak dia kelas satu sekolah dasar.
"Ya sudah, besok kamu ikut Bram saja ke Jakarta. Susul suamimu. Lagian sudah hampir dua bulan dia tidak menjenguk kita. Apa dia sudah lupa kalau di kampung ini ada Ibu serta istrinya yang selalu merindukan dia!"
"Tapi, Bu?" Aku menatap ragu.
"Ada Bi Milah yang jagain Ibu. Kamu tenang saja. Ibu akan baik-baik saja!" Ibu menggengam jemariku.
Aku mengangguk ragu, sebab tidak tega meninggalkan Ibu.
"Jangan bagi tahu suami kamu, buat surprise!" Ibu tersenyum.
"Iya, Bu."
Aku mengulum senyum membayangkan ekspresi Mas Ibnu ketika aku sampai, seperti saat aku memberinya kejutan saat ulang tahun pernikahan kami yang ke dua belas, dia sampai melelahkan air mata dan terus memelukku dengan penuh kerinduan.
***
Setelah menempuh perjalanan selama lima jam, akhirnya mobil Abraham–teman semasa kecil Mas Ibnu berhenti tepat di depan pintu gerbang rumah suamiku.
"Mampir dulu, Bram?" kataku basa-basi.
"Nggak usah, May. Kapan-kapan saja aku main. Sudah malam!" tolak pria berambut gondrong itu sembari mengulas senyum.
"Ya sudah, terimakasih karena sudah mau direpotkan!"
"Sama-sama, May."
Aku lekas turun dan membuka pintu garasi karena aku dan Mas Ibnu memang memegang kunci masing-masing.
"Gelap sekali?" gumamku sambil menyisir teras rumah Mas Ibnu yang terasa sunyi.
Ceklek!
Memutar anak kunci, membuka pintu sambil mengucap salam. Pasti Mas Ibnu sedang berada di dalam kamar.
Aku meraba tembok mencari saklar, menyalakan lampu hingga ruangan tempat aku berdiri menjadi terang benderang.
Pelan-pelan aku berjalan menuju kamar utama. Tempat dimana aku dan Mas Ibnu selalu memadu kasih saat kami masih tinggal satu atap.
Langkahku terhenti ketika mendengar suara orang sedang bercanda ria di dalam sana. Apa Jangan-jangan Mas Ibnu?
Ah, aku tidak mau berprasangka buruk. Kuputar gagang pintu, namun ternyata terkunci.
"Mas!" Tok! Tok! Tok!
Aku mengetuk pintu karena pintu kamarku tidak bisa aku buka dari luar.
Suara di dalam sana tiba-tiba diam kala aku mengetuk pintu, membuat aku bertambah resah saja.
"Mas, Mas Ibnu!" teriakku memanggil nama suamiku.
Tidak lama kemudian, seraut wajah tampan muncul dibalik pintu yang terbuka. Mas Ibnu tersenyum dan wajah lelaki yang selalu memenuhi hari-hariku dengan cinta itu terlihat pucat pasi.
Apa dia sakit?
"Mayla? Ka– kamu kenapa nggak ngasih kabar kalau mau datang?!" tanya Mas Ibnu terlihat gugup.
"Sengaja, Mas. Mau ngasih surprise. Lagian, gimana aku mau ngasih kabar. Kamu aku telepon aja nggak di angkat. W* nggak dibales. Aku itu khawatir banget sama kamu tahu nggak?!" Aku mendengkus kesal.
"Iya, Maaf. Soalnya akhir-akhir ini Mas sibuk. Kerjaan numpuk di kantor!" Dia merangkul pundakku dan membimbingku duduk di sofa ruang keluarga.
"Tadi aku denger kamu kaya lagi ngobrol. Sama siapa, Mas?" Aku menatap menyelidik.
"Aku tidur, kok!" kilahnya.
Tapi aku sangat yakin tadi mendengar suara orang sedang bercanda ria di dalam kamar kami.
"Mungkin suara televisi kali, May!"
Aku mengangkat kedua bahuku, lalu melingkarkan tangan di pinggang Mas Ibnu. Rasanya sudah rindu sekali diri ini.
'Astaghfirullah, kenapa tubuh suamiku juga bau wangi parfum wanita. Dan itu juga bukan harum minyak wangiku.' Aku bergumam sendiri dalam hati.
Seketika dadaku terasa berdenyut tidak karuan. Aku takut, khawatir sekali kalau sampai lelakiku ternyata telah membagi cintanya.
"May, kamu istirahat gih! Kan habis melakukan perjalanan jauh!" Mas Ibnu membingkai wajahku dan melengkungkan bibir plumnya.
Aku beranjak dari sofa dan melangkah ragu menuju kamar.
"May, dikamar sebelah saja!" ucap suamiku, membuat langkahku seketika terhenti.
"Lah, Mas. Emangnya kenapa kalau aku istirahat di kamar ini?" Alisku bertaut.
"E–enggak apa-apa sih. Soalnya berantakan banget!" Mas Ibnu menggaruk kepala.
Aku melenggang masuk dan meyalakan lampu kamar.
Ya Allah, benar-benar sudah seperti kapal pecah kamar ini. Bantal berserakan di lantai, seprai pun tidak terpasang pada tempatnya.
Sambil menggeleng aku memunguti satu persatu bantal yang teronggok sembarangan di lantai, lalu membetulkan posis seprai hingga kamar Mas Ibnu terlihat rapi kembali.
Aku mengenyakkan bobotku di atas tempat peraduan kami, dan kembali mengendus wangi parfum yang aku cium di tubuh Mas Ibnu.
Apa diam-diam dia memiliki wanita idaman lain dan berani membawanya masuk ke dalam kamar kami.
Ya Tuhan, rasanya seperti tidak mungkin kalau Mas Ibnu sampai menghianati cintaku.
Pelan ku geser tanganku ke sisi sebelah kiri. Gerakanku terhenti ketika tangan ini menyentuh cairan lengket yang menempel di atas seprai.
Dadaku langsung terasa sesak. Jantungku mengentak kuat ketika mengendus tanganku dan mencium bau anyir khas laki-laki.
"Mas dengan siapa kamu melakukannya?!" pekikku ketika Mas Ibnu berjalan mendekat ke arahku.
Mata pria bertubuh tinggi besar itu langsung membeliak kaget. Wajahnya pias dan terlihat gugup.
"A–aku melakukannya sendiri, May!" sahutnya sambil menundukkan kepala."Ya Allah, Mas. Kamu tahukan kalau itu hukumnya dosa?!" Ada kelegaan sekaligus rasa bersalah karena suamiku sampai melakukan hal seperti itu."Sudah jangan dibahas. Mas malu!"Aku segera turun dari atas ranjang, mengambil seprai baru di dalam lemari dan lekas memasangnya dibantu oleh Mas Ibnu. Setelah itu kami tidur karena tubuhku terasa lelah setelah melakukan perjalanan dari kota asal Mas Ibnu ke Jakarta.***Lamat-lamat terdengar suara adzan subuh berkumandang. Kubangunkan Mas Ibnu yang masih terlelap sambil memeluk guling, lalu segera ke kamar mandi membersihkan badan serta mengambil wudhu."Loh, kok tidur lagi, Mas?" Kembali ku guncang tubuh suamiku dan menyuruhnya untuk segera melaksanakan shalat subuh."Nanti nunggu jam setengah enam, May!" ucapnya t
Dengan langkah terseok aku berjalan ke rumah untuk mengambil ponsel dan menghubungi Abraham. Aku juga berniat merekam aksi bejat mereka, sebagai bukti jika mereka berkilah saat penggerebekan nanti."Loh, Bu Mayla. Kenapa malam-malam berada di sini?" tanya Bang Ali–satpam komplek yang kebetulan sedang berjaga."Bang, tolong panggil warga yang masih melek dan Pak Rt. Bawa mereka kesini!" titahku setengah berbisik."Emangnya ada apa, Bu May?" Bang Ali menatapku heran."Panggil saja. Nanti kumpul di depan rumah itu!" Menunjuk rumah yang di dalamnya terdapat dua manusia yang sedang berlayar di samudra dosa."Tapi tolong jangan berisik. Saya tadi lihat ada laki-laki masuk ke dalam rumah itu dan sepertinya mereka sedang berbuat mesum!"Bang Ali langsung ke pos ronda memanggil teman-temannya dan juga Pak Rt, sedang aku sendiri langsung bergegas mengambil posel,
Pak Rt mengangguk setuju. Wajah pria berkumis tipis itu menatap prihatin kepadaku, lalu segera mohon diri karena hari sudah siang dan dia harus pergi mengajar. Segera kukirim pesan kepada Mba Salamah–Kakak pertama Mas Ibnu sekaligus ibu kandung Lusi, menyuruh dia beserta suaminya untuk segera berangkat ke Jakarta dengan alasan Lusi tersandung kasus dan sekarang sedang ditahan oleh pak Rt. Air mata Mba Salamah tumpah ketika dia sampai di kediamanku, dan mengetahui kalau Lusi telah berzina dengan suamiku bahkan sampai diarak keliling komplek oleh warga serta diviralkan. Aku juga menunjukkan video yang berhasil aku rekam, supaya mereka semua percaya dan tidak menuduhku mengada-ada. "Mbak minta maaf, May. Mbak sudah gagal mendidik Lusi!" ucap wanita yang usianya mungkin seumuran dengan ibuku sambil terus menggenggam jemariku. Aku hanya diam membisu tanpa bisa berkata
Malam harinya, semua keluarga berkumpul membicarakan masalah perselingkuhan hingga berujung perzinaan itu.Aku lihat Mas Hansa–ayahnya Lusi hanya tertunduk malu, sambil sesekali menyeka air mata.Berbeda denganku yang berusaha tegar menghadapi semua pengkhianatan ini, berusaha dengan sekuat tenaga supaya tidak menitikkan air mata di depan mereka, walaupun sebenarnya hati ini hancur berkeping-keping. Remuk sudah tidak berbentuk."Ini kelanjutannya bagaimana, Bu Mayla?" tanya Pak Rt memecah keheningan."Maaf, Pak Rt. Bukannya saya tidak mengizinkan Mas Ibnu menikah dengan Lusi. Tapi, Mas Ibnu itu pamannya Lusi dan menurut hukum Islam, seorang paman tidak boleh menikahi keponakannya sendiri. Seperti disebutkan dalam Al-Qur'an;Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudar
Samar-samar terdengar sang muadzin mengumandangkan adzan. Gegas aku membuka mata, turun dari tempat peraduan lalu segera mengambil wudhu dan melaksanakan shalat wajib dua rakaat.Setelah selesai melaksanakan shalat subuh, lekas diri ini pergi ke dapur, menyalakan kompor untuk menjerang air. Biasanya setiap bangun tidur Mas Ibnu selalu meminta dibuatkan teh hangat."Kamu ngapain, May?" tanya Ibu sambil mematikan kompor."Loh, Bu. Kenapa kompornya dimatikan?" Aku menatap wajah ibu mertuaku."Sekarang ini pekerjaan di dapur sudah menjadi tugasnya Lusi. Kamu ingat kata Ibu kemarin? Kita harus jadi tim yang kompak dan kuat untuk melawan perempuan nggak tahu diri itu!"Ibu mengajakku ke kamar utama, membangunkan Lusi karena jarum jam sudah menunjuk ke angka 05:30.Sebelum Lusi benar-benar membuka mata, aku mengambil semua skin care milik dia yang tergeletak d
"Mendingan jadi wanita kampung daripada jadi wanita perusak rumah tangga orang!" bisikku, dekat sekali di telinganya.Lusi menghentakkan kakinya lalu berusaha menarik rambutku. Untung saja aku sudah antisipasi hingga bisa menghindari serangan harimau betina tersebut.Selepas shalat subuh, sesuai instruksi Ibu, aku tidak keluar dari kamar.Aku hanya berguling-guling di atas kasur, sambil memainkan ponsel berkirim pesan dengan Raihan putraku.Ya Allah, andai anak semata wayangku tahu kelakuan bapaknya di sini, pasti dia akan merasa sangat kecewa. Mudah-mudahan anakku tidak sampai melihat video bapak serta kakak sepupunya yang sempat viral di sosial media.Aku melirik jam di layar ponsel dan ternyata sudah pukul enam pagi. Gegas aku keluar, karena tenggorokan ini terasa kering juga cacing-cacing di perut sudah berdemonstrasi. Mungkin Lusi sudah selesai menyiapkan sarapan
Aku beranjak dari duduk dan lekas keluar mencari sarapan, dan sengaja tidak memberhentikan tukang makanan yang lewat depan rumah, supaya Mas Ibnu tetap menghabiskan masakan yang sudah ia puji-puji tadi."May, bagi nasi uduknya sedikit. Kalau nggak itu buat aku. Kamu kan bisa beli lagi. Nasi gorengnya rasanya nggak enak banget!" ucap Mas Ibnu setengah berbisik."Di sananya sudah habis, Mas. Lagian kamu kan sudah ada nasi goreng spesial buatan bidadari. Kamu makan saja masakan bidadari tak berakhlak itu. Jangan malah minta nasi uduk aku!" jawabku sengaja meninggikan nada bicara, supaya Lusi mendengar percakapan kami."Memangnya masakan aku kenapa, Mas?!" Lusi mendelik menatap suamiku."E–enggak, Lus. Masakan kamu itu enak banget. Kaya masakan chief restoran bintang lima!" puji Mas Ibnu berlebihan.Padahal jelas-jelas tadi dia bilang masakan Lusi tidak enak.
"Saya masih istrinya, Mas. Omong-omong, Mas ini siapa ya? Soalnya saya merasa kaya pernah mengenal Mas?" Aku memberanikan diri untuk bertanya."Saya bosnya Ibnu," jawab pria itu. "Oh, jadi Mba masih istrinya? Saya minta maaf, soalnya waktu itu dia memperkenalkan istri barunya yang bernama Lusiana, dan dia bilang sudah berpisah sama Mba. Sekali lagi saya minta maaf!" Lelaki bermata sipit itu menangkupkan tangan."Perempuan yang dia bawa itu bukan istrinya, Bar. Itu selingkuhannya. Dan elo tahu nggak? Selingkuhannya itu tunangan gue. Jadi gue sama Mayla itu sama-sama korban!" sambung Abraham sambil mengepalkan tangan. Kilat kemarahan tergambar jelas di mata coklatnya."Sorry, gua benar-benar nggak tahu. Parah juga si Ibnu ya. Terus, sekarang apa Mba Mayla masih bertahan sama suami seperti dia?" tanya Akbar lagi."Entahlah, Mas. Saya ingin mempertahankan hak saya. Kalau saya maen tinggalin dia aja kan k