🌺🌺🌺
"Enggak, gak mungkin ... kamu salah orang kali, Nel?" kataku pada Nella-teman kerjaku di pabrik garmen. Baru saja dia menunjukkan sebuah foto seorang pria yang tengah duduk membelakangi kamera dan latar belakang sedang berada di sebuah restoran ternama di kota ini.
Nella mengatakan, "Aku gak mungkin salah orang, Ly. Jelas banget itu suami kamu, kok. Aku melihat dengan mata dan kepalaku sendiri."
Gadis berambut sebahu itu terus berusaha meyakinkanku.
"Tapi ini rasanya mustahil, Nel. Bagaimana mungkin Bang Danu bisa keluar rumah tanpa memberitahu aku lebih dulu? Kamu tahu sendiri kan, kalau dia lumpuh dan pergerakannya sangat terbatas," kataku sambil menggelengkan kepala berusaha gak suudzon dengan suami sendiri.
"Aku bingung harus percaya sama siapa? Sahabat atau suami yang sama-sama selalu menemaniku selama ini," batinku sangat bimbang, tetapi aku harus tetap berpikir positif dan mengambil sikap yang hati-hati supaya, tak ada hati yang terluka.
Aku adalah seorang istri, juga ibu dari satu anak, dan aku juga adalah seorang anak dari kedua orang tua yang masih lengkap.
Yati--ibuku, Darman--bapakku dan aku punya adik laki-laki bernama Amran. Keluargaku tinggal di kampung, suamiku sedangkan aku menetap di kota bersama suami dan anakku. Keluargaku kadang mengunjungi kami sekali-kali.
Terlebih, selama dua tahun terakhir ini, aku beralih profesi menjadi tulang punggung keluarga.
Kenalkan ... namaku Alyera Sabrina, orang-orang biasa memanggilku Ely, Danu-nama suamiku, dan Naifa-putriku yang saat ini berusia tujuh tahun. Aku bekerja sebagai pegawai di salah satu pabrik garmen di Kota Bandung, sedangkan suamiku tidak bekerja karena kakinya lumpuh semenjak kecelakaan dua tahun lalu.
Sebelum suamiku lumpuh, ia bekerja sebagai buruh kasar yang kadang tidak tetap pekerjaannya, kadang ada kadang juga tidak bekerja.
Namun, aku selalu bisa mengatur keuangan dengan baik karena tidak hanya mengandalkan uang suami, aku juga bekerja di rumah. Sambil momong Naifa sekaligus ngambil upah menjahit dari tetangga.
Hingga kemalangan itu datang pada Bang Danu, mau tak mau aku harus ikhlas dengan takdir yang harus kujalani. Merawat suami dan anak sekaligus mencari nafkah untuk menyambung hidup kami kedepannya.
Tentu tak mudah saat itu, bahkan aku hampir putus asa karena yang memakai jasa jahitku semakin hari semakin sepi.
Tiba-tiba, salah satu pelanggan jahitku ada yang memberi saran agar aku melamar pekerjaan di pabrik garmen saja, yang gajinya bisa dikatakan lumayan. Apalagi pekerjaan di pabrik itu, sesuai dengan keahlianku.
Beruntung ibu mertuaku yang baik hati dan pengertian mau datang setiap hari ke rumah untuk menemani anak dan cucunya. Meski rumahnya agak berjauhan dengan tempat tinggal kami.
Dengan dorongan mertua yang rela menjaga Bang Danu juga Naifa, membuat aku memantapkan hati dan mental untuk bekerja di luar dan di sinilah aku sekarang, sebagai QC (Quality Control) di pabrik ini. awalnya aku hanya bekerja di bagian menjahit saja. Lama-kelamaan aku diangkat jadi QC oleh leader dan supervisor karena katanya aku sangat berdedikasi dan cerdas juga.
"Aku tahu kalau Bang Danu lumpuh ... tapi, apa kamu tidak curiga sama sekali dengan suami kamu, Ly?" tanya Nella membuatku tersadar dari lamunan panjangku.
Seketika aku menarik napas dalam lalu mengembuskan perlahan-lahan.
"Curiga? Untuk apa aku curiga sama suami aku sendiri, Nella?" tanyaku sambil menatap Nella sangat dalam.
Nella terdengar mengembuskan napas berat dan terlihat kikuk
"Apa kamu gak pernah terpikir kalau ... misalnya suami kamu itu cuman memanfaatkan kamu aja?" tanya Nella sedikit ragu.
"Ngaco kamu, Nel." Aku mengibaskan tangan menepis angin dan berusaha tidak mengambil pusing ucapan Nella barusan.
"Yuk, fokus kerja!" titahku pada Nella yang masih menatapku iba, seolah aku ini wanita yang paling menyedihkan di pabrik ini.
"Pokoknya kamu harus menyelidiki suami kamu, itu!" titahnya dengan bibir dimanyunkan.
"Iya ... nanti aku coba tanya dia baik-baik. Apa benar dia, ada pergi ke restoran itu," kataku santai "meski kita sama-sama sudah tahu jawabannya, bahwa Bang Danu gak mungkin ke mana-mana tanpa mengajakku dan Naifa."
Semenjak Ibu Mertua tidak lagi menemani Bang Danu, Naifa lah yang selalu menjaga bapaknya jika ia pulang dari sekolah. Beruntung punya anak gadis yang begitu pengertian dan sangat mandiri.
Sebelum berangkat bekerja, Bang Danu sudah aku bantu ke kamar mandi dan ia mandi seorang diri karena yang lumpuh itu kakinya, sedangkan tangannya masih berfungsi dengan baik.
Setelah itu aku menemaninya sarapan dan aku juga selalu menyiapkan makan siang untuk suami dan anakku.
Begitulah rutinitas ku setiap hari, selama dua tahun belakangan ini. Aku butuh jam terbang yang lumayan untuk semua pekerjaan itu.
"Kok, nanya dia sih? gak perlu lah! aku suruh kamu langsung selidiki aja, S-E-L-I-D-I-K, kamu cari tahu diam-diam, oke!" titah Nella sambil menekan ponselnya lalu ....
Ting
Tanda pesan masuk di ponselku
"Gambarnya sudah ku kirim ke nomormu, jika ada waktu senggang coba kamu perhatikan baik-baik gambar itu!" kata Nella seperti sebuah perintah yang harus dikerjakan.
Menit selanjutnya, aku, Nella dan pekerja yang lain sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Aku memang berada di pabrik, tapi pikiranku sedang berkelana ke mana-mana.
Bimbang, itu yang aku rasakan saat ini.
Haruskah aku bertanya baik-baik sama Bang Danu langsung atau mengikuti saran Nella untuk menyelidiki diam-diam?
Ah, rasanya otakku lelah untuk berpikir. Pikiran negatif tentang suamiku seolah menari-nari di kepala. Hingga aku harus memaksa otakku tetap berpikiran positif dan berusaha untuk fokus bekerja.
Hingga waktu pulang telah tiba.
"Jangan lupa menyelidiki suamimu!" bisik Nella saat kami berjalan bersama hendak ke parkiran.
Aku hanya menepuk pelan punggungnya, lalu naik ke motor dan melambai pada Nella yang juga menghidupkan kendaraan roda duanya.
Setelah sampai di rumah, aku langsung membersihkan diri, lalu lanjut mengerjakan rutinitas para emak-emak ber-daster.
Aku memang tidak mempekerjakan pembantu, karena sejauh ini, aku masih bisa mengerjakan semuanya. Ditambah Ibu mertua yang kadang datang sekali-sekali ke sini dan membantuku.
Tentu tidak cuma-cuma, karena saat Ibu mertua hendak pulang, maka Bang Danu akan memintaku memberi sejumlah uang untuk Ibu Mertua dan aku tidak pernah keberatan soal itu.
Sudah sepantasnya aku membalas kebaikan mertuaku.
Kembali ke masa sekarang, setelah urusan dapur beres dan urusan perut anak dan suami selesai. Aku masuk ke kamar sementara Bang Danu masih asyik menonton TV sambil berselancar di ponselnya, bukan ia yang menonton, tetapi TV yang menonton dirinya.
Sedangkan Naifa sedang sibuk mengerjakan tugas sekolahnya di meja belajar miliknya.
Seharian ini, aku tidak fokus bekerja karena kepikiran Bang Danu. Meski aku menyangkal semua ucapan Nella karena menurutku mustahil suamiku yang lumpuh bisa pergi jauh dari rumah tanpa sepengetahuanku dan makan enak tanpa mengajak aku dan Naifa itu sungguh di luar nalar.
Iya, Naifa gak ada di dalam foto itu. Jadi, aku sangat yakin kalau itu bukan Bang Danu-suamiku
Aku menatap foto yang Nella kirim tadi siang, memang gestur tubuh sangat mirip dengan Bang Danu, tetapi tunggu dulu ... baju yang pria itu kenakan seperti tak asing buatku. Baju itu sama persis dengan baju suamiku yang aku cuci tadi subuh.
Aku terus fokus menatap layar pipih di hadapanku dan berusaha memastikan kalau baju itu memang familiar sekali.
"Oh, Allah ... kenapa aku baru menyadarinya?" tanyaku dalam hati dan mulai cemas sendiri
hingga tangan kekar menyentuh punggungku dan membuat aku terlonjak kaget sampai-sampai ponsel di genggamanku terjatuh.
Bersambung..
"Lihat apa sih, sampai kaget dan tegang gitu, Dek?" tanya Bang Danu yang hendak mengulurkan tangannya ke lantai untuk mengambil ponselku.Bukannya menjawab pertanyaannya, aku malah spontan mengambil ponselku yang jatuh tadi, sebelum keduluan olehnya. Entah kenapa, aku seolah belum siap menginterogasi Bang Danu soal foto itu.Hati kecilku memilih mengikuti arahan Nella, untuk diam-diam mencari tahu kebenaran suamiku. Jika memang benar Bang Danu yang ada di foto itu, kenapa dia tidak pernah cerita denganku?Dengan siapa dia pergi? Semua harus kucari tahu dengan benar dan akurat daripada aku terus saja berprasangka buruk dengan suamiku sendiri."Dek ... kok malah melamun?" Aku terkesiap saat Bang Danu melambaikan tangan di depanku."Hmm ... Maaf, Bang. Aku kurang fokus," jawabku sedikit gugup, namun aku berusaha untuk bersikap santai agar tidak terlalu mencolok."Pertanyaanku belum dijawab loh, Dek! Lagi liat apa sih di ponsel sampai segitunya gak fokus?" tanyanya hendak melihat ponselk
"Jangan main-main, sebaiknya kamu jujur ... atau aku ...," ucapan Nella yang samar terdengar di telingaku tiba-tiba menggantung.Aku yang memang memarkirkan motor agak jauh dari rumah, perlahan berjalan ke rumah dengan segala tanya di kepala.Otakku yang tiba-tiba traveling membuatku buntu. Yang ada dalam pikiranku saat ini, aku ingin tahu tujuan Nella tiba-tiba datang ke rumah tanpa memberitahukan kepadaku lebih dulu.Bukankah ia yang menyuruhku untuk mencurigai suamiku sendiri?Pertanyaan itu terus saja berputar di kepalaku.Bukankah ia pergi dengan calon suaminya?Aku menggelengkan kepala untuk menepis pikiran burukku terhadap suami dan sahabatku.Meski itu sangat mengganggu, apalagi banyak kejadian-kejadian nyata yang berseliweran tentang kasus suami dan sahabat yang selingkuh, terus sahabatnya jadi adik madu lalu istri pertama akan terbuang tanpa belas kasih.Aku menggeleng pelan saat pikiranku menjadi paranoid. "Tidak ... ini tidak mungkin, aku harus memastikannya sendiri," gum
Aku berdiri di ambang pintu kamar, sambil menyandar di kusen pintu dengan mata yang fokus menatap suamiku yang tak bosan-bosannya memainkan ponsel. Aku melirik jam di dinding yang sudah menunjuk angka sepuluh, itu artinya sudah hampir tengah malam. Namun Bang Danu masih bergeming di depan TV yang sejak tadi siarannya tak dihiraukan olehnya. Aku mengembuskan napas berat, seberat beban yang aku tanggung selama ini, tetapi tak pernah terasa sama sekali karena aku selalu berlapang dada. Namun, kali ini dadaku rasanya sesak memikirkan kejanggalan yang terjadi belakangan ini. Tanpa sadar, bulir bening menetes di pelupuk mata. Aku mengelapnya pelan lalu melangkah ke kamar Naifa untuk memastikan kalau putri kesayanganku sudah tidur. Setelah memastikan, kalau Naifa sudah tidur. Aku kembali melangkah ke ruang nonton TV dan menemui Bang Danu untuk mengabarkan kalau esok pagi aku akan mengantarnya ke rumah sakit untuk periksa kesehatan kakinya. "Bang ... besok pagi jangan lupa awal bangu
Namaku Danu Jaya, Jaya adalah nama Bapak dan Farida--ibuku. Alhamdulillah kedua orang tuaku masih ada dan masih sehat.Hanya saja, Bapak tidak terlalu suka padaku karena menurutnya aku anak pemalas. Hanya Ibu yang selalu menyayangi dan mendukung setiap langkahku."Kamu itu sudah menikah, sudah punya anak dan istri, tapi masih saja malas kerja! Kapan kamu dewasa, Danu? Mau kamu kasi makan apa anak orang, hah?" omel Bapak setiap aku datang ke rumahnya untuk minta uang buat beli rokok waktu itu."Makan nasi lah, Pak," balasku sambil mengisap rokok yang baru saja kuambil darinya dan berusaha tak ambil pusing dengan ocehannya yang sudah seperti buruh beo.Bapak memukul kepalaku dengan pecinya sambil terus memarahiku. "Kamu pikir, nasi itu bisa datang dengan sendirinya ke rumahmu! Kamu pikir anak orang mau cuman dikasi makan nasi saja tanpa lauk dan sayur!""Sudah ... sudah, Pak. Jangan memarahi Danu terus-menerus, Pak, yang ada dia makin buntu nanti otaknya. Kasihan anak kita, Pak." Ibu da
Siang itu sahabat istriku datang ke rumah dan menanyakan banyak hal padaku. Hanya saja, aku pura-pura bodoh dan tak mau menjawab sama sekali. Bahkan kata si Nella ini, dia pernah melihatku di restoran bersama kekasih gelapku, tetapi ia berjanji tidak akan memberitahu istriku kalau aku mau bekerja sama dengannya. Tentu saja aku menolak kerja sama dengannya, karena gak menguntungkan sama sekali buatku, bahkan bisa merugikan aku juga. Ibarat makan buah simalakama aku akan sama-sama dirugikan. Dia mengancam bahkan menyuruhku untuk jujur pada Ely bahwa aku hanya pura-pura lumpuh karena aku tak mau kerja sama dengannya. Pada saat itu hampir saja Ely mendengar ocehan si muka dua ini. Aku dan Nella sama-sama terkejut karena aku takut Ely curiga padaku dan Nella juga takut kalau Ely mendengar apa rencana kerja samanya sebenarnya. Rasanya jantungku bekerja begitu cepat saat itu juga dan hampir saja aku berpindah alam. Syukur aku gak ada riwayat penyakit jantungan. Aku berusaha menormalk
POV Alyera"Apa-apaan ini, Bang?!"Aku menghampiri Bang Danu yang terlihat kaget dengan kedatanganku. Apalagi dia melihat kali ini wajahku tampak tak bersahabat.Siapa yang tak marah, saat melihat anaknya di suruh angkat air dari rumah tetangga. Rasanya kepalaku sudah mengeluarkan asap saat ini juga.Bukan karena tak ingin anakku di suruh-suruh, tetapi ada alasan lain di balik kemarahanku ini."D-dek ... se-sejak kapan di situ?" tanya Bang Danu gugup.Aku mengabaikan pertanyaannya. Tatapanku beralih pada Naifa yang sudah ke luar dari WC. Aku mendekat ke arah putriku lalu mengusap kepalanya."Naifa main dulu, ya! Soalnya Mama dan Papa mau ngobrol sesuatu hal yang sangat penting!" titahku pada gadis kecilku
Hati siapa yang tak hancur saat mengetahui kebohongan demi kebohongan pria yang sangat dicintai, yang sangat disayangi dan sangat kita perjuangkan masa depannya.Sakit ... sungguh sakit dan sesak dada ini jika mengingat segala perjuangan dan kerja keras yang kulakukan selama ini, tetapi apa balasannya? Kebohongan dan pengkhianatan.Sekuat tenaga aku menahan diri ini agar tak tumbang saat ini juga."Dek ...."Bang Danu membuyarkan lamunanku saat ia meraih tanganku."Jangan menyentuhku!" bentakku saat lagi-lagi tangan Bang Danu, kutepis dengan kasar."Maafkan Abang, Dek!" mohonnya dengan wajah memelas."Ceraikan aku saat ini juga, Bang!" Pintaku dengan tegas.Hanya ini jalan satu-sat
Setelah kepergian Alyera, Danu merasa frustrasi sekali. Ia meremas rambutnya dengan kasar, meninju dinding, dan menendang apa saja yang menghalangi jalannya.Ia emosi bukan karena kehilangan cintanya. Akan tetapi ia emosi karena kehilangan ATM berjalan yang ia punya.Pria itu belum benar-benar menyesali perbuatannya. Bahkan ia merasa apa yang ia lakukan masih bisa di maafkan dan diberi kesempatan kedua.Ia melampiaskan amarahnya dengan mengacak-acak semua barang yang ada di rumah itu. Sekali menggeser barang yang ada di atas nakas dengan tangan maka berjatuhan semua barang-barang.Suara pecahan kaca pun bersahutan.Ia bingung bagaimana caranya agar membujuk istrinya untuk kembali.Terpaksa ia menghubungi ibunya untuk membantu membujuk menantunya yang telah pergi entah ke mana.Alyera, istri yang sangat patuh pada suami. Namun, dibohongi selama dua tahun lebih lamanya, itu bukanlah hal yang harus dianggap sepele.Ini menyangkut sebuah hati yang retak, kekecewaan terdalam akan sebuah ra