Zee terbelalak melihat pesan yang baru saja muncul di ponselnya. Sejujurnya ia belum terbiasa dengan pesan Darren yang tiba-tiba, karena yang ia rasakan tetaplah orang asing meski sebelumnya mereka pernah menghabiskan malam panas.Gara-gara percakapannya dengan Thea waktu itu, Zee jadi sedikit ragu dalam bertindak. Ia tidak ingin kembarannya itu kembali menyalahkannya. Tapi jika ia tidak membalasnya apa itu tidak akan membuat Darren curiga.Dengan berat hati, Zee terpaksa membalasnya.'Jemput ke mana?' Dan tak butuh waktu lama Darren membalasnya dengan cepat . 'Tentu saja ke kantormu.' Zee membelalakkan matanya, kantor? Gawat, Darren tidak boleh sampai menyusul ke sana, bisa-bisa penyamarannya akan terbongkar saat itu juga.'Hari ini aku tidak ke kantor, aku di Apartment.' Zee harap Darren tidak menanyakan alasannya karena demi apa pun ia tidak tahu harus beralasan seperti apa. 'Baiklah, aku akan mampir kalau begitu.'Zee bernafas lega. Ia merasa geli sendiri saat mengetikkan balas
"Zee! Kau masih belum bersiap-siap!" Zee menoleh ke asal suara, niatnya untuk mengambil minum harus terhenti saat ia melihat kedua mata ibunya melebar. Ayolah, ia tidak merasa terintimidasi karena ibunya memang selalu seperti itu terhadapnya."Bisakah aku tidak ikut?" Zee bertanya sambil menggaruk kepalanya dengan malas-malasan."Oh tentu, kehadiranmu hanya akan membuat Thea malu!" Bukannya tidak terima, Zee malah bernafas lega. Setidaknya waktu istirahatnya terselamatkan, pikirnya. "Sayangnya kali ini kau tidak bisa melewatkannya lagi. Ini adalah hari bersejarah untuk Thea, kau harus melihatnya dengan mata kepalamu sendiri sehebat apa kakakmu itu," sindirnya.Raut wajah Zee berubah masam, ia tidak masalah jika ibunya terus mengintimidasi selama ia tinggal di rumah ini, bahkan saat ibunya berlaku tidak adil, Zee tidak peduli. Tapi, saat ia mulai dibandingkan dengan Thea, rasanya Zee tidak pernah bisa menerimanya. "Jangan mulai lagi." Zee memperingatkan, ia tidak ingin beradu mulut
"Dia akan pergi ke Paris ...." Darren berkata dengan suara lemah.Jonathan; orang yang sadari tadi duduk di sampingnya itu menaikkan satu alisnya. Ia adalah teman sekaligus sekertaris Darren yang tadi datang bersamanya."Apa masalahnya? Ayolah Darren, itu hanya Paris. Kekasihmu juga butuh liburan." Jon tidak bermaksud membela Thea, menurutnya Darren terlalu berlebihan jika frustasi hanya karena Thea akan pergi ke Paris.Darren meliriknya dengan kesal, ia kembali menuangkan alkohol di gelasnya lagi. Lalu meneguknya dengan sekali tegukkan. "Dia ke Paris bukan untuk liburan, tapi dia akan tinggal di sana selama beberapa bulan. Katanya dia diajak kerja sama oleh salah satu perusahaan di sana." Darren memperjelasnya."Maaf, aku tidak tahu. Jadi ..., kau keberatan jika dia pergi?" Jon bertanya dengan hati-hati."Bodoh!" Darren mendengus. "Tentu saja aku keberatan. Aku akan melamarnya, tapi dia malah ingin pergi ke Paris.""Jadi karena itu kemarin kalian bertengkar di telpon." Jon menganggu
Jika saja kepalanya tidak berdenyut-denyut, ingin sekali Zee bertanya, "Apa kita saling mengenal?" Sayangnya keadaan Zee sedang tidak ada tenaga untuk mengeluarkan suara. Atau mungkin sebenarnya Zee mengenalnya, tapi ia tidak mengingatnya. Entahlah, Zee tidak punya ingatan lain tentang pria itu. Keadaan Zee lebih parah dari Darren. Wajar saja, karena ia bukanlah seorang peminum, tapi malam ini ia sudah menghabiskan satu botol penuh hingga kesadarannya hampir dikuasai oleh alkohol sepenuhnya. "Kau baik-baik saja?" Darren bertanya dengan khawatir. Zee hanya melihatnya dengan kebingungan, ia tidak merasa kenal dengan Darren, tapi dari cara pria itu bertanya padanya sepertinya mereka memang saling mengenal. Tanpa menunggu jawaban dari Zee, Darren mendekati Zee dan membantunya untuk berdiri dengan benar. Meski Darren masih marah tapi melihat wanitanya seperti itu tentu ia merasa tidak tega. Darren merasa bersalah, ia berpikir jika itu adalah salahnya.Darren membuka kamarnya menggunak
Darren bukanlah pria brengsek yang suka melakukan hal-hal seperti ini, berpacaran dengan Thea selama hampir satu tahun lebih, ia hanya berani mencium-cium ringan sebagai tanda kasih sayang yang ia miliki. Mereka pun jarang berciuman mengingat keduanya sama-sama sibuk dengan karir masing-masing, jadi jika mereka bertemu paling hanya ada dinner atau sekedar makan siang bersama. Darren sangat memahami Thea, ia tidak pernah menuntut apa pun dari wanitanya. Hanya saja kejadian malam ini diluar kendalinya, ia tidak tahu apa yang begitu merasukinya hingga ia begitu menginginkan Thea. Mungkin karena Darren takut kehilangannya, atau mungkin ia belum pernah melihat wajah polosnya yang justru terlihat lebih cantik. Selama ini Darren ke mana saja, kenapa ia baru sadar jika Thea akan lebih menggoda jika sedang mabuk. Selain menghisap dan melumat, Darren bermain-main dengan lidahnya sesuai naluri yang ia punya, ia adalah pria dewasa yang tahu akan prosesnya.Zee menyambutnya dengan sukarela, rasa
"Aku bergerak sekarang ya." Itu bukan permintaan, karena setelahnya Darren mulai bergerak memaju mundurkan tubuhnya seolah mencari titik kenikmatan. "Ahh ...." Si wanita merintih, meski sejujurnya ada sesuatu yang membuatnya menggelinjang hebat saat benda itu menekan kuat bagian terdalamnya."Maaf sayang, aku sudah berusaha untuk pelan," ucap Darren disela pergerakannya.Zee pasti sudah gila karena ia merasa senang saat ada orang asing yang memanggilnya sayang. Kata itu seolah terdengar sangat tulus di telinganya, hingga membuat hatinya tersentuh. Apa mungkin itu karena alkohol terlalu kuat menguasai tubuhnya?Zee tidak tahu kenapa tiba-tiba ia merasa ingin disentuh, dibelai, dan dipuaskan. Yang pasti, ia sudah tidak sadar dengan apa yang dilakukannya. Tubuhnya merespon cepat setiap kali Darren berhasil menyentuh titik kenikmatannya."Ahh ...." Zee membuka tutup matanya keenakan, kedua tangannya meremas sprei erat-erat. "Panggil namaku," kata Darren dengan nada memerintah.Zee, wan
"Dari mana saja kau!" Bu Prim mencercanya dengan tatapan tajam saat ia mendapati Zee yang mengendap-endap ke dalam rumah. Zee menundukkan kepalanya, ia tidak ingin ibunya melihat keadaannya yang kacau. Terlebih matanya yang mungkin sudah membengkak. Zee pikir ia akan lolos mengingat ini sudah lewat tengah malam, tapi ternyata ibunya masih terjaga."Kenapa diam, aku bertanya dari mana saja kau!" Bu Prim tampak kesal karena Zee tidak berniat untuk menjawabnya. "A-aku ..., aku-" "Sudahlah, tidak peduli juga kau pergi ke mana. Tapi lain kali jangan begini, kau tidak lihat sekarang jam berapa! Apa kata tetangga jika mereka tahu anak gadis sepertimu pulang selarut ini!" kata Bu Prim panjang lebar.Tangan Zee semakin bergetar, air matanya mulai kembali menggenang. Bahkan ibunya tidak mengkhawatirkan sama sekali, ia hanya memikirkan pandangan orang lain. "Sana masuk kamar!" perintahnya.Zee segera pergi ke kamarnya, jika ia terlalu lama di sana takutnya ia tidak bisa menahan diri lagi. Di
Prangg ....Zee menjatuhkan sendok yang ada di tangannya hingga menimbulkan perhatian dari beberapa pengunjung di sana. Dengan cepat Zee tersenyum dengan penuh penyesalan, ia segera mengambil sendok itu di lantai. Salah satu teman kerjanya, Syalu menghampiri Zee dengan penasaran. "Ada apa Zee?"Zee menatap Syalu dengan pandangan yang sulit diartikan. Rasanya ia ingin menghilang sata itu juga, wajahnya berubah memucat membuat Syalu semakin penasaran dengan apa yang Zee lihat di dalam ponselnya. "Kau baik-baik saja?" tanya Syalu lagi."Mati aku," lirihnya.Syalu tampak kesal karena Zee tak kunjung memberitahunya. "Kenapa, soal ibumu lagi?"Zee menggeleng lemas. Ia tidak yakin haruskah dirinya membalas pesan Thea atau tidak. Tapi dari cara Thea bertanya, sepertinya ia sudah ketahuan. Apa ini saatnya ia menghilang?"Syalu ...," panggil Zee dengan nada lemah."Apa, apa! Dari tadi aku menunggumu mengatakan sesuatu!""Di mana aku bisa bersembunyi," ucap Zee dengan tatapan kosong.Syalu me