Share

Suara Ketukan Di Tengah Malam
Suara Ketukan Di Tengah Malam
Penulis: Norain Norsa

Pindah Rumah

"Mama masuk duluan, ya," kata Renata,  seraya melangkah masuk ke dalam rumah. 

Gadis yang diajak bicara tak menyahut. Dia lebih memilih diam dan merapikan rambut. Karenina namanya, rambut panjangnya sedikit berantakan karena tertiup angin.

Karenina duduk termenung di kursi halaman belakang. Pemandangan asri di rumah barunya ini, tampak jauh berbeda dari rumahnya yang lama. Tak ada hingar bingar kendaraan berlalu lalang.

Karenina bersandar di kursi, pikirannya melayang pada kejadian sebulan yang lalu. Saat ayahnya memberitahu bahwa mereka akan pindahan. Pindah ke tempat yang cukup terpencil.

"Kita akan pindah ke Pulau Rangit," ucap Jeremy—ayahnya Karenina.

"Oh, pindah. Eh, tunggu, pi ... pindah? Kok bisa?" Karenina segera menghentikan aktivitas makannya.

"Papa ada kerjaan di sana. Kalau bisa selesaiin tugas di sana, bisnis keluarga kita akan semakin besar," jelas Jeremy lagi.

"Kenapa aku harus ikut? Aku udah kelas 2 SMA, Pa. Ini juga pertengahan semester, bakal susah ngurus pindahannya," tolak Karenina.

"Soal itu, biar Mama yang urus," kata Renata yang sedari tadi diam saja.

Karenina mendengkus mendengar jawaban ibunya. Karenina pun tak melanjutkan makan. Dia segera beranjak meninggalkan meja makan. Karenina menghentak-hentakkan kakinya, sebagai bentuk protes atas keputusan sang ayah. 

Segera Karenina melangkahkan kaki menuju kamar. Dia menutup pintu dengan keras. Dia ingin protes sebesar-besarnya, untuk menolak rencana pindah ke tempat terpencil.

*****

Wajah Karenina tampak kesal saat menginjakkan kaki di rumah barunya. Rumah dengan dua lantai yang terbuat dari kayu itu terlihat sangat kuno bagi Karenina.

Sedari kecil, Karenina memang sudah terbiasa dengan kemewahan. Saat umur 5 tahun saja, dia sudah dibelikan boneka seharga lima juta rupiah. Padahal saat itu, teman-teman seumurannya hanya bisa memiliki boneka seharga 20 ribu.

Keadaan rumah yang jauh berbeda dari sebelumnya membuat Karenina tidak nyaman. Belum lagi, tak ada pembantu di rumah yang baru ditempatinya ini.

"Kamarmu di lantai atas, ya, Karen," kata Renata lembut.

"Yakin kita tinggal di sini, Ma? Ini rumah kayu, loh. Yakin kayunya masih kokoh? Kalau tiba-tiba gempa, terus roboh gimana?" tanya Karenina khawatir.

"Udah, udah. Buang jauh-jauh pikiranmu itu. Ini rumahnya dijamin kokoh. Terus, rapiin barang-barang kamu," ucap Jeremy tegas.

Mendengar perkataan ayahnya, Karenina hanya bisa menjawab "iya" dengan lemah. Perasaan enggan masih menyelimuti. Rumah yang akan ditempati, benar-benar jauh dari harapannya.

"Oh, iya. Besok kamu langsung masuk sekolah, ya. Sore nanti kita pergi berbelanja buat keperluan rumah dan sekolahmu," kata Renata.

"Iya." Karenina menarik kopernya dari teras, lalu membawanya masuk ke dalam rumah.

Segera Karenina mengangkat kopernya, saat menaiki tangga untuk menuju ke lantai dua. Walaupun terbuat dari kayu, rumah yang ditempatinya ini terlihat bersih dan kokoh. Tidak terlihat ada sarang laba-laba, ataupun bekas gigitan rayap.

Saat sampai di ujung tangga, Karenina berbelok ke arah kiri. Tampak sebuah pintu yang terbuat dari kayu ulin, masih mengkilap walau telah termakan usia. Segera, pintu itu dibuka oleh Karenina. Ruangan yang cukup luas dengan ranjang dan lemari yang sudah tersedia di sana.

"Ah, lelahnya," keluh Karenina seraya merebahkan badan ke ranjang.

"Ternyata engga terlalu buruk juga di sini. Kamarnya masih lumayan luas," gumam Karenina.

Tak lama kemudian, Karenina sudah terlelap di kamarnya. Jarak tempuh yang cukup jauh membuatnya kelelahan. Ditambah dengan jalanan yang belum beraspal, terjal, dan berbatu, membuat perjalanan dengan mobil terasa semakin lama.

Suara ketukan dari pintu membangunkan Karenina dari tidur. Segera dia melangkah untuk membukakan pintu

"Loh, ya ampun, Sayang. Masih belum siap, juga? Ini udah sore, loh. Cepet siap-siap. Kita mau pergi belanja," ucap ibunya Karenina.

"Hah, udah sore? Perasaan tadi baru tiduran bentar doang, deh," sahut Karenina sambil menggaruk kepala.

"Ck, dasar. Yaudah, cepetan mandi dulu. Kalau udah, langsung turun aja. Jangan lama-lama, ya." Renata pun berlalu meninggalkan Karenina yang masih tak bergeming dari tempatnya.

Karenina mengayunkan kaki dengan malas. Rasa lelah masih belum hilang, tapi malah langsung diajak berbelanja. Diambilnya handuk yang ada di dalam koper, lalu segera dia masuk ke kamar mandi.

Di tatapnya interior dalam kamar mandi. Walau seluruh rumah terbuat dari kayu, tapi kamar mandinya diberi keramik. Mungkin biar tidak lembab atau biar airnya engga rembes ke lantai bawah, pikir Karenina.

Tak lama kemudian, Karenina yang sudah siap segera menuruni tangga. Rambut panjangnya diikat dengan gaya ponytail. Polesan lip tint membuat wajah Karenina semakin berseri.

"Aduh, cantiknya anak Papa," puji Jeremy.

"Makasih, Pa. Mama mana? Tadi katanya harus cepet."

"Mama lagi ke kamar bentar. Mau ambil yang kelupaan, katanya," jawab Jeremy.

"Yuk, jalan." Renata yang baru saja datang langsung mengajak semua untuk segera masuk ke mobil.

*****

Renata dan Karenina memilih perlengkapan dapur. Sedangkan, Jeremy lebih memilih untuk duduk di kursi di luar toko. Walau termasuk pulau terpencil, desa Sinsani yang ada di Pulau Rangit ternyata telah memiliki pusat perbelanjaan yang cukup maju.

Setelah selesai membeli semua keperluan. Karenina bersama orang tuanya menyempatkan untuk singgah sebentar ke sebuah rumah makan yang terlihat cukup unik.

"Bu, kami pesan 3 porsi ayam panggang sama 3 potong ayam goreng untuk dibawa pulang," kata Jeremy pada seorang ibu paruh baya.

"Baik, Pak. Silakan ditunggu pesanannya. Silakan duduk dulu di meja dekat kasir. Nanti pesanannya akan diantarkan ke meja Bapak," jawab si pegawai.

Karenina sekeluarga pun duduk di dekat kasir. Interior rumah makan tersebut terbilang cukup unik. Mengangkat nuansa modern, tapi dengan tidak meninggalkan ciri khas pedesaan.

"Pa, kenapa milih mesan makanan di sini, sih? Suasananya engga enak gini. Liat aja, tuh, pelanggannya aja sedikit, sepi," protes Karenina.

"Sepi? Jangan bercanda, deh, Karen. Ini semua meja terisi penuh gini, kok," sahut Renata.

"Hah!? Ih, becanda Mama tuh engga lucu, tau," kata Karenina sambil mengelus tangannya yang merinding.

Sebenarnya Karenina masih ingin protes. Namun, badannya disenggol oleh sang ayah agar dirinya diam. Disebabkan pegawai mendekat ke arah mereka untuk mengantarkan pesanan.

"Ini, Pak, Bu, pesanannya. Maaf agak lama. Karena hari ini hari libur, rumah makan kami jadi ramai seperti ini. Kami jadi agak keteteran," kata si pegawai memberi penjelasan.

Karenina yang mendengar ucapan tersebut sontak terkejut. Rupanya apa yang dikatakan ibunya memang benar. Namun, tetap saja, di matanya di rumah makan itu terlihat sepi oleh pelanggan. Hanya terlihat satu, dua orang yang makan di sana.

"Ayo, cepat, Pa. Nanti keburu gelap." Karenina lekas mengajak ayahnya pulang, karena dia melihat sosok dengan wajah pucat. Segera Karenina mengayunkan kaki ke luar rumah makan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status