"Astaga Joan, bisa-bisanya kau berharap Kiana mengucapkan kalimat seperti itu padamu,"batin Joan merasa bodoh telah menghayalkan hal itu, sahabat tetaplah sahabat bagi gadis itu.
Kiana segera melajukan motornya, meninggalkan Joan dengan bayi kecil yang ada di dalam dekapan pria bertubuh kekar itu."Ayo Jona, kita masuk. Panas ya?" Joan menggendong jona kembali ke dalam rumah, mendapati rumahnya yang cukup berantakan."Jona, sepertinya bunda Kiana lupa memandikanmu ya? Tidak apa-apa, kamu mandi saat sore saja ya?" Joan menatap wajah mungil Jona dengan gemas, ia beralih mencium kening Jona berulang kali saking gemasnya ia pada tubuh kecil bayi itu."Rumah kita berantakan sekali ya? Papa akan menelfon jasa pembersih, tunggu di kamar sebentar ya," Joan membawa tubuh Jona ke dalam kamarnya, membaringkan tubuh mungil itu ke atas tempat tidur.Baru saja ingin menelfon jasa pembersih, tiba-tiba sebuah panggilan telfon masuk."Ayah? Semoga bukan hal buruk yang akan terjadi,"Joan mengangkat telfon itu dengan jantung berdebar kencang bukan main, pasti kepala keluarga itu akan menceramahinya lagi."Halo, Joan? Gimana kabar kamu nak? Kenapa Joan tidak pulang kerumah? Bentah sekali di rumah tua nenek, panggilan telepon dari mama juga tidak pernah kamu angkat,"ternyata itu bunda Joan, ia sengaja menggunakan handphone ayah Joan agar anaknya itu mau mengangkat telfon darinya."Rumah ini tidak tua bunda, ya memang arsitekturnya saja yang terlihat old tapi menurut Joan itu malah buat rumahnya artistik dan mewah," Joan dengan nada ketus."Yah terserah kamu, bunda sama ayah belum pulang untuk tahun ini ya? Gak papa kan?" Pinta Bunda dengan suara lembut."Ya, selalu seperti itu. Kali ini apalagi alasan kalian? Sibuk,kan? Alasan basi,"tegas Joan dengan penekanan di setiap kalimatnya."Dengar bunda dulu Joan, beberapa hari ini jadwal ayah padat sekali. Tidak mungkin kami meninggalkannya," bunda masih berusaha membujuk Joan dengan kata-kata manisnya."Terserah, dari tahun Ketahun memang tidak ada yang berubah," Joan dengan nada ketus, ia tidak ingin mendengarkan kalimat yang sama seperti sebelumnya yang di lontarkan kedua orangtuanya."Mau bunda transfer berapa? Uang jajan bulan ini sudah habis, kan? Uang semester kamu biar bibi ria yang urus," jelas bunda membuat Joan terdiam untuk sesaat."Uang? Apa bunda selalu berpikir uang bisa menggantikan segalanya?"batin joan lalu mendengus kasar, ia kesal sekali dengan perkataan kedua orangtuanya yang menurut mereka uang adalah segalanya bagi Joan."Kamu masih minum alkohol? Di kurangi ya, jaga kesehatan. Bunda gak mau kamu kenapa-napa," ujar bunda berusaha mengakrabkan diri dengan Joan.Tanpa menjawab pertanyaan dari sang bunda, Joan langsung mematikan telfon lalu melempar ponselnya ke atas tempat tidur."Bunda selalu mengatakan tak ingin terjadi sesuatu padaku, padahal dirinya sendiri sangat jauh dariku,"Joan merebahkan tubuhnya ke kasur, menatap wajah Jona cukup lama."Jona … apa aku bisa membangun masa kecil yang indah untukmu? Menjadikan memori masa kecilmu hal yang tak pernah kau lupakan dalam hidupmu," Joan lalu mengelus pipi Jona, sebelum akhirnya kembali bangkit dari posisinya."Ternyata cukup lelah juga menjaga seorang bayi," ujar Joan meregangkan tubuhnya lalu kembali mengambil ponselnya."Dengan jasa pembersih rumah? Apa kalian bisa datang ke rumah di jalan mawar no. 30?"Sementara itu Kiana sudah sampai di depan rumahnya, gadis itu lalu merapikan rambutnya yang cukup berantakan."Mama, Kiana pulang,"sapa Kiana pada wanita paruh baya yang sedang menonton TV di ruang tamu."Aduh, anak gadis pagi-pagi udah ilang ya. Gimana Joan? Dia udah baikan?"ujarnya dengan raut wajah khawatir, menatap Kiana yang mulai berjalan menghampirinya."Eh, i-iya dia sudah bisa jalan walau masih harus di papah atau memengang benda lain,"jawab Kiana dengan gugup, lalu menjatuhkan dirinya ke sofa."Kasihan, mama tadi dapat kabar katanya bunda sama ayahnya Joan gak pulang lagi tahun ini. Kamu semangatin dia ya? Mama takut dia buat hal-hal bahaya,"tegasnya."Iya mah, Kiana tau Joan itu lelaki yang kuat. Papa sendiri tahun ini pulang, gak?"ujar Kiana dengan nada ketus."Pulang dong, papa malah udah jadwalin mau pulang kesini Minggu depan,"ujar wanita paruh baya itu dengan raut wajah sumringah."Baguslah, bilangin ke papa. Jangan lama-lama di sana nanti jadi bule,"Kiana lalu tertawa kecil di akhir kalimatnya."Bilangin aja, kalo mama ikut-ikut aja kata papa. Kalo papa pilih B mama juga harus pilih B karena mama istri papa dan kita berdua itu tanggung jawab besar papa, apalagi kamu anak satu-satunya,"ujarnya beralih mengusap lembut kepala Kiana."Mana kue yang mama buat? Kiana mau coba,"pinta Kiana dengan wajah memelas."Sini, sini. Mama ada buat 2 macam, soalnya kamu sama Joan itu beda. Joan sukanya coklat, kamu sukanya matcah," ujarnya menuntun Kiana kearah dapur.Di dapur cukup berantakan, mungkin wanita paruh baya itu kelelahan sehingga tak sempat untuk membersihkan semuanya."Lain kali gak usah capek-capek ma, kalo bisa beli. Beli aja, sayang tenaga," ujar Kiana lalu merapikan beberapa wadah kotor yang ada di atas meja memindahkannya ke wastafel."Kamu kan tau sendiri hobi mama masak, na. Gak bisa mama lihat bahan kue nganggur di dapur," ujarnya sembari menyusun kue dengan toping coklat kedalam dos.Dania darma Triwahyuni , wanita kelahiran tahun 1984. Lulusan sarjana S1 jurusan farmasi. Beliau sempat bekerja di rumah sakit, namun tak lama karena suatu tragedi yang membuat pasien yang ia rawat meninggal dunia dan beliau di tuduh sebagai pembunuh dan di anggap lalai dalam menjalankan tugas, mendekam di penjara dengan waktu 5 tahun serta dilarang untuk bekerja di rumah sakit selamanya."Kenapa mama gak sewa pembantu lagi? Biar ada yang bersih-bersih rumah. Masa transferan dari papa gak cukup bayar pembantu?" Kiana dengan nada ketus nya, mulai merapikan dapur yang cukup berantakan itu."Mama bukannya gak mau sayang, mama takut kejadian kayak dulu. Pembantunya malah bawa kabur perhiasan mama,"tegas Dania."Pliss lah ma, gak semua orang kayak gitu," Kiana beralih mengambil sepotong kue lalu memakannya."Joan masih tinggal sendiri di rumah almarhumah neneknya?" Ujar Dania berusaha mencari topik yang lain."Hum … Iya, Joan betah sekali tinggal di rumah peninggalan neneknya itu. Sayang rumah besarnya hanya di tempati oleh supir, pembantu dan tukang kebun,"jelas Kiana masih menikmati setiap gigitan kue buatan Dania."Itu sebabnya mama tidak mau ikut papa ke Amerika, soalnya papa sendiri tidak mau rumah ini di jual. tidak mungkin meninggalkan rumah ini begitu saja tanpa satu pun penghuni.""Ma, apa benar papa pernah berselingkuh?" Pertanyaan Kiana membuat Dania bungkam, pandangan wanita paruh baya itu berubah sayu.Ia lalu menarik nafas dalam-dalam beralih menatap mata Kiana dengan serius, membuat gadis itu tambah penasaran."Iya, waktu kamu umur 10 tahun papa sempat lari dengan selingkuhannya ke Singapura,"jelas Dania membuat Kiana semakin mendekatkan diri pada wanita paruh baya itu."Lalu? Bagaimana dengan kita?"tanya Kiana menatap Dania dengan serius juga."Mama sempat pulang kerumah orang tua mama, tapi kakek kamu itu kekeh tidak mau mama pulang tanpa bawa hak mama dan hak kamu," Dania lalu mengambil segelas air, meneguknya perlahan-lahan."Hak? Hak apa?" Tanya Kiana, ia masih belum mengerti semuanya."Ya harta, kakek tidak mau mama cerai sama papa dengan ninggalin papa tetap bahagia tanpa rasa bersalah,"Dania kini duduk termenung untuk sejenak."Jadi mama nuntut?"tanya Kiana."Iya, mama nuntut agar saham perusahaan sebagian besar jatuh ke tangan kamu sebagai pewaris tunggal kelak. Mama gak mau papa nikah lagi terus punya anak dan anak pelakor itu yang akan warisin saham perusahaan," Dania me
"Arggh, pikiran bodoh apa ini? Tidak mungkin aku menyukai lelaki gila seperti joan! Tidak Kiana, jangan pikirkan itu lagi! Jangan! Bisa gila aku,"batin Kiana sembari memukul-mukul tepi kasurnya, bayangan kegilaan Joan mulai berenang dalam pikirannya."Kiana? Apa sudah selesai?" Suara Dania terdengar dari luar, sepertinya wanita paruh baya itu berjalan menuju kamar Kiana."Iya, ma. Sebentar lagi," Kiana segera menuju ruang gantinya, ia memilih memakai baju dan celana panjang yang longgar agar tidak ribet saat mengasuh Jona."Tumben sekali kamu memakai baju longgar, biasanya memakai croptop dan rok pendek ala Korea," celetuk Dania yang sudah berada di depan pintu, memandang Kiana dari bawah sampai atas."Memangnya kenapa, ma? Dari pada bajunya tidak terpakai, jadi Kiana pakai saja. sayang papa sudah beli jauh-jauh ke Australia,"tepis Kiana sembari mengambil beberapa pakaiannya untuk ia bawa ke rumah Joan."Kalau kamu menginap, mama sama siapa? Sendirian?"Dania memandang Kiana. Dengan wa
"Aku, kan?"tanya Kiana penuh percaya diri."Salah sayang, ayo coba tebak lagi,"goda Joan dengan senyum smirknya."Bunda mu?"tanya Kiana sekali lagi."Ibu mu, aku berharap Jona tumbuh seperti ibumu yang kuat dan penuh perhatian,"ujar Joan membuat Kiana mengerutkan keningnya, mengapa harus seperti Dania?"Mama? Tapi bunda kamu juga baik hati, mereka berdua sama. Dua wanita yang hebat,"celetuk Kiana."Tapi ibumu lebih hebat,"tegas Joan membuat Kiana lagi-lagi mengerutkan keningnya menatap wajah datar lelaki tampan itu."Joan … apa sekarang kau membenci bunda mu?"ujar Kiana sembari mengulurkan tangan kirinya pada joan agar diberi sabun mandi.Joan hanya diam, raut wajahnya berubah datar. Memberikan benda yang di minta Kiana dengan perlahan, tak berani menatap gadis itu."Joan, tatap aku Sekarang. aku tahu, pasti berat. kan? Aku juga seperti itu pada papa,"ucapan Kiana membuat Joan mendongak."Kau membenci ATM berjalan milikmu? Hebat sekali,"celetuk Joan dengan tawa di akhir kalimatnya."K
"Yuhuy, Jona sudah wangi … Jona sudah cantik ya? Iya kan? Ututu … imutnya," Kiana gemas sendiri melihat Jona, tangannya gatal ingin menciuminya."Sekarang buatkan aku, cepat pelayan!" Ucap Joan dengan tawa terbahak-bahak di akhir kalimatnya."Baik tuan, tunggu sebentar. Karena rumah tuan yang sangat raksasa ini, tidak memiliki bahan makanan!" Ucap Kiana setengah tersenyum."Jadi kamu keluar lagi?"tanya Joan dengan mata melotot, rasanya tak sanggup lagi ia di tinggal. Terkadang Jona rewel dan tak mau berhenti menangis dalam dekapannya. "Aku sudah kapok menyuruhmu berbelanja, bisa-bisa kau membawa pulang semua isi minimarket," jawab Kiana ketus."Dadah Jona … aku pulang,"Kiana ingin membuat Joan takut dengan kalimatnya."Jangan seperti itu Kiana … kasihan Jona, apa kau Setega itu?" Joan dengan mata berbinarnya."Kelakuanmu terkadang alay, menakutkan dan tentunya gila ya, Joan? Apa kau berkelakuan seperti ini pada semua wanita?""Wanita yang mana? Hanya kau wanitaku," ucap Joan dengan s
"Bagiamana kalau aku membelikan semua merek tas?! Dior? LV? Hermes? Gucci? Prada? Tapi kurasa itu kurang, mungkin sebuah mobil baru?" Joan menggigit bibir bawahnya, mencoba memikirkan hal-hal yang lebih gila lagi."Apa sebuah tanah seluas 1 hektar? Tapi tanah untuk apa? Kurasa itu tak akan berharga bagi Kiana," Joan lalu melipat kedua tangannya di dada, berusaha mencari sesuatu yang mungkin lebih bermakna sebagai tanda permintaan maaf.Di sisi lain, Kiana juga memikirkan Joan. Lelaki itu memang tak salah apa-apa, ia hanya terlalu kesepian selama ini.Karena hal itu membuat Kiana tak fokus memperhatikan penjelasan materi dari dosennya."Kiana? Kamu melamun nak?" Tanya pak dosen membuat Kiana terlonjak."Iya pak? Maaf saya kurang enak badan," tepis Kiana dengan setengah senyum."Ya sudah, jangan di ulangi lagi. Takut kesambet,"ujar pak dosen dengan logat Jawa yang medok.Kiana hanya bisa mengangguk, masih memasang senyum tipisnya. Mencoba untuk fokus, dan membuang pikirannya tentang Joa
"Bukan begitu! Ini … untuk anak teman mama, mama sibuk. Jadi memintaku untuk berbelanja ini semua," Kiana mengelak dengan membuat cerita lain, meski Jona bukan anak yang lahir dari rahimnya. Ia tidak mau kelak bayi kecil itu akan di olok-olok dan dianggap anak pembawa sial, jadi di buang oleh kedua orangtuanya."Oh, begitu. Aku pikir kau memiliki seorang bayi,"Alen bernafas lega setelah mendengarkan penjelasan dari Kiana."Tidak mungkin! Gila kamu!"pekik Kiana lalu memukul bahu Alen. Ia dan Alen cukup akrab tapi tidak sekarang seperti Joan, Alen hanya sebatas teman dekat."Hati-hati di jalan.""Iya, aku pamit dulu. Kamu juga hati-hati," Kiana berjalan menuju motornya yang terparkir di luar, cukup susah membawa itu semua dengan motor.Sesampainya di depan rumah Joan, Kiana tidak langsung masuk. Ia masih berusaha menyiapkan diri untuk bertemu Joan tanpa rasa canggung."Aku pulang …," sapa Kiana saat sudah berada di ruang tamu, ia mendapati rumah besar itu hening dan sunyi. Mungkin Joan
Cih, pesta apa itu? Ulang tahun anak TK?"jawab Joan, lalu tertawa sombong."Joan, kau juga ak …,"belum sempat Kiana menyelesaikan kalimatnya, Joan langsung menepisnya."Aku tidak akan pergi, kau juga. Kan!?""Aku sudah berjanji untuk datang bersamamu …,"Kiana langsung tertunduk mendapati tatapan tajam kini mengarah kepadanya, tatapan itu seperti menuntut pernyataan tidak padanya.Mendengar itu Joan langsung melepas piring yang ia pengang ke wastafael, ekspresi lelaki tampan itu berubah dingin. Kiana bahkan masih tertunduk tak berani berbicara kembali."Astaga Kiana … mengapa kau mengiyakan ajakannya!? Kau tidak tahu dia itu lelaki yang busuk hati!"teriak Joan di depan wajah Kiana.Tidak ingin membuat Kiana takut, Joan berusaha menahan amarahnya. Menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan-lahan, setelah itu mengubah tatapan tajamnya agar Kiana kembali menatap matanya."Baiklah, aku dan kamu akan pergi bersama. Kita berdua, dalam satu mobil. Kau tidak boleh pergi dengan or
Joan tambah terkejut mendapati sebuah berita yang mengatakan bahwa keluarganya melakukan sebuah penipuan besar serta melakukan jual beli narkoba dengan beberapa mafia. Di tambah beberapa artikel memuat tentang masa kecil Joan yang kelam dan Kedua orang tuanya di sebut"bajingan kelas kakap" siapa yang tidak marah jika orang tuanya di sebut bajingan?Joan mengepal kuat kedua tangannya, wajahnya memerah serta pembuluh darah yang tampak tegang di lehernya. Ingin sekali rasanya menghancurkan apa saja yang ada di hadapannya, namun ia urungkan karena tak ingin membuat Kiana terbangun apalagi ketakutan dengan sikapnya yang seperti kerasukan raga iblis."Siapapun orang sialan ini, aku akan mendapatkannya dengan tangan sendiri. dalam keadaan hidup-hidup!"Pagi itu Kiana bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, memasak makanan kesukaan lelaki tampan itu. atas bentuk permintaan maaf sekaligus ucapan terimakasih karena sudah diberikan barang-barang mewah nan mahal.Saat sedang sibuk, tiba-tiba