Ia lalu menarik nafas dalam-dalam beralih menatap mata Kiana dengan serius, membuat gadis itu tambah penasaran.
"Iya, waktu kamu umur 10 tahun papa sempat lari dengan selingkuhannya ke Singapura,"jelas Dania membuat Kiana semakin mendekatkan diri pada wanita paruh baya itu."Lalu? Bagaimana dengan kita?"tanya Kiana menatap Dania dengan serius juga."Mama sempat pulang kerumah orang tua mama, tapi kakek kamu itu kekeh tidak mau mama pulang tanpa bawa hak mama dan hak kamu," Dania lalu mengambil segelas air, meneguknya perlahan-lahan."Hak? Hak apa?" Tanya Kiana, ia masih belum mengerti semuanya."Ya harta, kakek tidak mau mama cerai sama papa dengan ninggalin papa tetap bahagia tanpa rasa bersalah,"Dania kini duduk termenung untuk sejenak."Jadi mama nuntut?"tanya Kiana."Iya, mama nuntut agar saham perusahaan sebagian besar jatuh ke tangan kamu sebagai pewaris tunggal kelak. Mama gak mau papa nikah lagi terus punya anak dan anak pelakor itu yang akan warisin saham perusahaan," Dania menggeleng-gelengkan kepalanya membayangkan jika hal itu benar-benar terjadi."Tapi bukannya pihak papa bisa nolak?" Ujar Kiana sekali lagi melontarkan pertanyaan pada Dania."Gak bisa, karena mama sama papa sudah buat surat perjanjian pra nikah. Yang salah satu isinya, apabila salah satu dari kedua belah pihak ada yang berselingkuh maka harta sepenuhnya akan jatuh pada anak tanpa pembagian,"tegas Dania."Bisa gitu, ya? Kiana baru tahu,"Kiana memijat-mijat pelipisnya mencerna semua hal yang baru saja di katakan Dania."Tunggu, dari kalimat yang tadi mama lontarkan, berarti mama tau siapa pelakor itu?"celetuk Kiana membuat Dania menatapnya dalam."Sahabat mama …,"ujar Dania dengan raut wajah datar namun tatapan wanita paruh baya itu kembali sayu."What? OMG, crazy. gak punya malu banget, yang mana orangnya itu? Enak aja masuk-masuk keluarga orang lain, gak punya hati!" Pekik Kiana dengan nada ketus."Sudah meninggal na, beliau kena leukimia beberapa bulan setelah mama pergok papa kamu sama dia di hotel," Dania kembali berucap, membuat Kiana bungkam."Jujur Kiana gak tau mau sedih atau senang, kayaknya azab,"ujar Kiana dengan senyum tipis terukir di bibirnya, gadis itu ingin tertawa namun ia tahan. Seperti psikopat saja gadis satu ini."Ih mulutnya gak boleh gitu, orangnya udah gak ada di dunia,"celetuk Dania memukul bahu Kiana cukup keras."Menggunjing orang itu sarang dosa, menghina orang itu sarang dosa," nyayian Kiana membuat Dania tertawa terbahak-bahak."Oke, kita balik ke topik awal. Mama bisa gak ngasih tips-tips agar suatu pernikahan aman dari pelakor- pelakor titisan iblis,"jelas Kiana."Karena menikah sekali seumur hidup adalah impian mama, jadi semuanya sudah mama pelajari sebelum menerima lamaran dari papa. Yang paling utama harus ada perjanjian pra nikah, komitmen dan tanggung jawab dari kedua belah pihak,"tegas Dania lalu mengambil sepotong kue."Kalo biar aman dari pelakor itu dari diri kamu sendiri aja. Mama aja sempat kalah sama pelakor,"ujar Dania." Nanti Kiana juga mau buat gitu sebelum nikah,"ujar Kiana dengan pendirian teguh. Kata-kata gadis itu seperti seorang wanita yang baru saja di lamar."Memangnya sudah ada calonnya? Sejauh ini, ini kata-kata kamu yang paling jauh,"Dania tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi anaknya yang tiba-tiba berubah kusut."Ih mama, kan di rencanakan memang," Kiana menatap Dania dengan wajah cemberut."Iya, iya. Kalo bisa cari calon yang baik-baik," Dania lalu mengelus lembut kepala Kiana."Pastilah! Itu ada di angka 1 list syarat jadi suami Kiana, udah ya. Kiana mau mandi, gerah banget"Kiana berdiri dari posisi duduknya, berjalan menuju kamarnya.Di rumah itu hanya ada 2 orang pekerja, ada tukang kebun dan supir. Sudah 3 tahun Dania tidak menerima lowongan kerja sebagai pembantu di rumahnya, pakaian mereka semuanya memakai jasa laundry. Kadang-kadang Dania juga akan menyewa jasa pembersih ketika rumah dalam keadaan benar-benar kotor. Selebihnya wanita paruh baya itu masih bisa mengerjakan semuanya sendirian."Kamu kerumahnya Joan jam berapa?"tanya Dania membuat langkah Kiana terhenti."Kiana mau cepat soalnya belum mandiin Jon...," Kiana hampir saja keceplosan tentang Jona, gadis itu menepuk-nepuk bibirnya cukup keras."Kiana bodoh banget kamu! Kenapa ceplas ceplos banget!"batin Kiana mencubit tangannya sendiri."Kenapa? Mandi apa? Mama gak denger tadi," Diana berbalik menatap Kiana karena tidak terlalu mendengar suara gadis itu."Ti-tidak, maksud Kiana kasian Joan belum mandi, pasti gerah banget. Kiana rencananya mau kerumah joan jam 03.00 sore," suara Kiana terdengar gemetar, gadis itu ketakutan setengah mati."Kalo bisa nanti suruh aja Joan ganti baju biar gak gerah, tapi kamu jangan bantuin ya!"tegas Dania."Ya iyalah! Mama pikir aku perempuan apa? Udah ah. gerahh,"Kiana lalu melanjutkan langkahnya, gadis itu menghela nafas lega.Sementara itu, jasa pembersih yang Joan sewa sudah datang. Mereka mulai membersihkan semuanya dari kamar satu ke kamar yang lain. Padahal mungkin kamar lain tidak akan di gunakan dan keadaanya pun masih bersih."Anaknya cantik sekali, mamanya mana Pak?" Tanya salah seorang petugas melihat bayi kecil yang ada di dekapan Joan."Hm? Mamanya? Di-dia sedang keluar, oh iya tolong di setiap ruangan bersihkan dengan baik, saya tidak mau bayi kecil ini, terkena virus atau bakteri,"tegas Joan dengan nada ketus."Baik pak, kami akan membawa peralatan-peralatan yang lebih canggih dan bersih." Sekitar 10 orang di sana mulai merapikan rumah yang sudah cukup bersih itu. Bagaimana tidak, Joan selalu menyewa mereka setiap 2 kali dalam seminggu."Okey, kamar saya di bersihkan belakangan saja. utamakan kamar yang di sebelah sana," Joan menunjuk kamar yang berada tepat di samping kamarnya."Baik Pak, kami akan berusaha sebaik dan semaksimal mungkin.""Bukannya kita selalu datang 2 kali seminggu di rumah ini?" Bisik salah satu petugas pada petugas lainnya."Iya, bahkan posisi barang-barang yang kita tata 3 hari lalu tak berpindah sama sekali.""Kalian mau kerja atau mau gosip di rumah saya?"ujar Joan dengan nada ketus menatap tajam kearah mereka berdua."Ma-maaf pak, kami mau kerja.""Kita tunggu bunda di dekat kolam, Jona suka air kan? Iyakan? Jona anaknya papa yang paling cantik sedunia alam semesta," Joan melangkah menuju area belakang yang terdapat kolam dan sebuah kebun kecil berisi bunga-bunga yang sudah layu karena sudah lama tak dirawat."Tapi kok tiba-tiba ada bayi ya? Perasaan Pak Joan selama ini sendirian, apa baru pulang dari luar negeri istri sama anaknya?" Mereka kembali melanjutkan pembicaraan itu setelah melihat langkah Joan yang sudah cukup jauh."Sudah kerja saja, kamu tau sendiri kan kalo kita cepat. bonusnya banyak!""Lihat deh, tempat sampah di dapur isinya botol minuman alkohol yang masih ada isinya!" Pekik beberapa petugas yang membersihkan bagian dapur."Sudah kadaluarsa mungkin.""Feeling ku sih, enggak. Kayaknya Pak Joan mau berhenti minum soalnya ada anaknya.""Lucu ya, Pak Joan berhenti minum karena keluarganya. Mau juga deh yang kaya gitu.""Tapi bukannya Pak Joan masih kuliah ya? Kapan nikahnya?""Memangnya kalau Pak Joan mau nikah dia akan undang kamu? Pasti acaranya di buat tertutup, kamu saha?artis? Setahu aku boleh kok berumah tangga sambil kuliah."Kiana sudah selesai membersihkan tubuhnya, ia kini berbaring di atas tempat tidur menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih polos."Kenapa ayah tega sekali menduakan mama, sesuram itu kehidupan mama di masa lalu?" Kiana menutup matanya dengan kedua tangan, membayangkan sesakit apa perasaan wanita yang sudah melahirkannya saat melihat suaminya sendiri sedang bermesraan dengan sahabat yang paling ia percaya."Apa karena itu dari dulu aku tidak pernah bisa mempercayainya? Mengapa kehidupan ini begitu sulit!? Mengapa harus ada orang jahat di dunia ini? Apa mereka orang-orang yang tak di beri cinta dan perhatian dari tuhan?" Kiana bangun dari posisinya, ia lalu duduk di tepi kasur terdiam sejenak."Mengapa aku tiba-tiba menyukai Joan? Rasanya kali ini lelaki itu sangat berbeda semenjak ada Jona.""Arggh, pikiran bodoh apa ini? Tidak mungkin aku menyukai lelaki gila seperti joan! Tidak Kiana, jangan pikirkan itu lagi! Jangan! Bisa gila aku,"batin Kiana sembari memukul-mukul tepi kasurnya, bayangan kegilaan Joan mulai berenang dalam pikirannya."Kiana? Apa sudah selesai?" Suara Dania terdengar dari luar, sepertinya wanita paruh baya itu berjalan menuju kamar Kiana."Iya, ma. Sebentar lagi," Kiana segera menuju ruang gantinya, ia memilih memakai baju dan celana panjang yang longgar agar tidak ribet saat mengasuh Jona."Tumben sekali kamu memakai baju longgar, biasanya memakai croptop dan rok pendek ala Korea," celetuk Dania yang sudah berada di depan pintu, memandang Kiana dari bawah sampai atas."Memangnya kenapa, ma? Dari pada bajunya tidak terpakai, jadi Kiana pakai saja. sayang papa sudah beli jauh-jauh ke Australia,"tepis Kiana sembari mengambil beberapa pakaiannya untuk ia bawa ke rumah Joan."Kalau kamu menginap, mama sama siapa? Sendirian?"Dania memandang Kiana. Dengan wa
"Aku, kan?"tanya Kiana penuh percaya diri."Salah sayang, ayo coba tebak lagi,"goda Joan dengan senyum smirknya."Bunda mu?"tanya Kiana sekali lagi."Ibu mu, aku berharap Jona tumbuh seperti ibumu yang kuat dan penuh perhatian,"ujar Joan membuat Kiana mengerutkan keningnya, mengapa harus seperti Dania?"Mama? Tapi bunda kamu juga baik hati, mereka berdua sama. Dua wanita yang hebat,"celetuk Kiana."Tapi ibumu lebih hebat,"tegas Joan membuat Kiana lagi-lagi mengerutkan keningnya menatap wajah datar lelaki tampan itu."Joan … apa sekarang kau membenci bunda mu?"ujar Kiana sembari mengulurkan tangan kirinya pada joan agar diberi sabun mandi.Joan hanya diam, raut wajahnya berubah datar. Memberikan benda yang di minta Kiana dengan perlahan, tak berani menatap gadis itu."Joan, tatap aku Sekarang. aku tahu, pasti berat. kan? Aku juga seperti itu pada papa,"ucapan Kiana membuat Joan mendongak."Kau membenci ATM berjalan milikmu? Hebat sekali,"celetuk Joan dengan tawa di akhir kalimatnya."K
"Yuhuy, Jona sudah wangi … Jona sudah cantik ya? Iya kan? Ututu … imutnya," Kiana gemas sendiri melihat Jona, tangannya gatal ingin menciuminya."Sekarang buatkan aku, cepat pelayan!" Ucap Joan dengan tawa terbahak-bahak di akhir kalimatnya."Baik tuan, tunggu sebentar. Karena rumah tuan yang sangat raksasa ini, tidak memiliki bahan makanan!" Ucap Kiana setengah tersenyum."Jadi kamu keluar lagi?"tanya Joan dengan mata melotot, rasanya tak sanggup lagi ia di tinggal. Terkadang Jona rewel dan tak mau berhenti menangis dalam dekapannya. "Aku sudah kapok menyuruhmu berbelanja, bisa-bisa kau membawa pulang semua isi minimarket," jawab Kiana ketus."Dadah Jona … aku pulang,"Kiana ingin membuat Joan takut dengan kalimatnya."Jangan seperti itu Kiana … kasihan Jona, apa kau Setega itu?" Joan dengan mata berbinarnya."Kelakuanmu terkadang alay, menakutkan dan tentunya gila ya, Joan? Apa kau berkelakuan seperti ini pada semua wanita?""Wanita yang mana? Hanya kau wanitaku," ucap Joan dengan s
"Bagiamana kalau aku membelikan semua merek tas?! Dior? LV? Hermes? Gucci? Prada? Tapi kurasa itu kurang, mungkin sebuah mobil baru?" Joan menggigit bibir bawahnya, mencoba memikirkan hal-hal yang lebih gila lagi."Apa sebuah tanah seluas 1 hektar? Tapi tanah untuk apa? Kurasa itu tak akan berharga bagi Kiana," Joan lalu melipat kedua tangannya di dada, berusaha mencari sesuatu yang mungkin lebih bermakna sebagai tanda permintaan maaf.Di sisi lain, Kiana juga memikirkan Joan. Lelaki itu memang tak salah apa-apa, ia hanya terlalu kesepian selama ini.Karena hal itu membuat Kiana tak fokus memperhatikan penjelasan materi dari dosennya."Kiana? Kamu melamun nak?" Tanya pak dosen membuat Kiana terlonjak."Iya pak? Maaf saya kurang enak badan," tepis Kiana dengan setengah senyum."Ya sudah, jangan di ulangi lagi. Takut kesambet,"ujar pak dosen dengan logat Jawa yang medok.Kiana hanya bisa mengangguk, masih memasang senyum tipisnya. Mencoba untuk fokus, dan membuang pikirannya tentang Joa
"Bukan begitu! Ini … untuk anak teman mama, mama sibuk. Jadi memintaku untuk berbelanja ini semua," Kiana mengelak dengan membuat cerita lain, meski Jona bukan anak yang lahir dari rahimnya. Ia tidak mau kelak bayi kecil itu akan di olok-olok dan dianggap anak pembawa sial, jadi di buang oleh kedua orangtuanya."Oh, begitu. Aku pikir kau memiliki seorang bayi,"Alen bernafas lega setelah mendengarkan penjelasan dari Kiana."Tidak mungkin! Gila kamu!"pekik Kiana lalu memukul bahu Alen. Ia dan Alen cukup akrab tapi tidak sekarang seperti Joan, Alen hanya sebatas teman dekat."Hati-hati di jalan.""Iya, aku pamit dulu. Kamu juga hati-hati," Kiana berjalan menuju motornya yang terparkir di luar, cukup susah membawa itu semua dengan motor.Sesampainya di depan rumah Joan, Kiana tidak langsung masuk. Ia masih berusaha menyiapkan diri untuk bertemu Joan tanpa rasa canggung."Aku pulang …," sapa Kiana saat sudah berada di ruang tamu, ia mendapati rumah besar itu hening dan sunyi. Mungkin Joan
Cih, pesta apa itu? Ulang tahun anak TK?"jawab Joan, lalu tertawa sombong."Joan, kau juga ak …,"belum sempat Kiana menyelesaikan kalimatnya, Joan langsung menepisnya."Aku tidak akan pergi, kau juga. Kan!?""Aku sudah berjanji untuk datang bersamamu …,"Kiana langsung tertunduk mendapati tatapan tajam kini mengarah kepadanya, tatapan itu seperti menuntut pernyataan tidak padanya.Mendengar itu Joan langsung melepas piring yang ia pengang ke wastafael, ekspresi lelaki tampan itu berubah dingin. Kiana bahkan masih tertunduk tak berani berbicara kembali."Astaga Kiana … mengapa kau mengiyakan ajakannya!? Kau tidak tahu dia itu lelaki yang busuk hati!"teriak Joan di depan wajah Kiana.Tidak ingin membuat Kiana takut, Joan berusaha menahan amarahnya. Menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan-lahan, setelah itu mengubah tatapan tajamnya agar Kiana kembali menatap matanya."Baiklah, aku dan kamu akan pergi bersama. Kita berdua, dalam satu mobil. Kau tidak boleh pergi dengan or
Joan tambah terkejut mendapati sebuah berita yang mengatakan bahwa keluarganya melakukan sebuah penipuan besar serta melakukan jual beli narkoba dengan beberapa mafia. Di tambah beberapa artikel memuat tentang masa kecil Joan yang kelam dan Kedua orang tuanya di sebut"bajingan kelas kakap" siapa yang tidak marah jika orang tuanya di sebut bajingan?Joan mengepal kuat kedua tangannya, wajahnya memerah serta pembuluh darah yang tampak tegang di lehernya. Ingin sekali rasanya menghancurkan apa saja yang ada di hadapannya, namun ia urungkan karena tak ingin membuat Kiana terbangun apalagi ketakutan dengan sikapnya yang seperti kerasukan raga iblis."Siapapun orang sialan ini, aku akan mendapatkannya dengan tangan sendiri. dalam keadaan hidup-hidup!"Pagi itu Kiana bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, memasak makanan kesukaan lelaki tampan itu. atas bentuk permintaan maaf sekaligus ucapan terimakasih karena sudah diberikan barang-barang mewah nan mahal.Saat sedang sibuk, tiba-tiba
"kenapa tuhan tidak memberikanku kebahagian itu? Aku sudah cukup bersabar selama ini, apa masih kurang kesabaran ku?" Joan menatap Kiana dengan seringainya, meminta agar di berikan jawaban yang mungkin bisa mengubah pola berpikirnya.Kiana tersenyum miring menatap Joan."Joan, kau memang tidak sadar atau pura-pura tidak sadar!? Kekayaanmu itu kebahagiaan! Banyak orang di luar sana yang mati-matian meminta pada tuhan agar di beri kekayaan lebih seperti kau. Tapi tuhan adil, mereka memang tidak di berikan kebahagiaan lewat harta. Tapi lewat keluarga dan teman-teman.""Kau bisa membeli apa saja hari ini atau besok Dengan sesuka hati, tapi di luar sana bahkan ada orang yang pusing memikirkan bagaimana ia harus makan besok dan seterusnya! Ada orang-orang yang harus menjadi tulang punggung untuk keluarganya, memaksakan diri walau sudah lelah demi menghidupi orang-orang yang ia kasihi dan sayangi,"nafas Kiana tersengal-sengal, dadanya sesak berusaha mengatur nafas. "Apa kau tidak pernah berp