Share

Bab 06. Selembar Kertas

Tubuhku seolah membeku mendengar apa kata Teh Nani barusan. Mas Azzam telah membawa pergi Daffa ke rumah istri muda.

Aku bingung harus berbuat apa? Tega-teganya Mas Azzam akan memisahkan ibu dengan anaknya. Mending kalau ibu tirinya baik.

"Kay, Kamu coba kejar saja! Siapa tahu belum jauh." Kata Teh Nani memberi saran.

Tetapi karena waktu salat telah tiba dan segera akan di mulai untuk berjama'ah. Terpaksa aku mengurungkan niat untuk mengejar mereka yang hendak kabur membawa Daffa.

Seteleh selesai melakukan kewajiban sebagai muslim. Lekas aku keluar dari musholah dan berlari ke jalan raya. Tetapi naas, di tepi jalan masih sepi dan hanya ada beberapa pedagang yang memang buka di malam hari dan tutup menjelang pagi.

"Buk, maaf. Tadi ada lihat Mas Azzam naik mobil bawa Daffa nggak?"

Aku bertanya pada pemilik warung yang kebetulan pintunya nampak terbuka.

"Eh? Kay. Ia tadi naik angkot sama Daffa sama siapa tuh cewek? Ibu kurang tahu ceweknya siapa?" jawab pemilik warung.

Hatiku mencelos mendengar itu. Entah kemana harus aku kejar anak ku? Seandainya bertanya sama Mama juga yang lainnya. Sudah pasti mereka pun akan merahasiakan.

"Ya sudah, Buk. Terima kasih infonya ya, Buk!"

"Iya sama-sama ya, Kay. kamu yang sabar jadi istrinya Azzam," ujarnya.

Aku hanya mampu tersenyum seraya melangkah pergi dengan membawa perasaan yang semakin tak menentu. Aku benar-benar merasa buntu harus meminta bantuan siapa?

Yang ingin aku perjuangkan bukan tentang pernikahan, tetapi anak. Aku ingin Daffa tetap ada bersamaku.

Dengan sisa keberanian. Aku melangkah menuju rumah Mama. Biasanya kalau sudah sepagi ini ada ayah mertua duduk di luar dengan memangku anak bungsu.

Benar saja, ku lihat ayah sedang duduk di kursi sembari menghisap sebatang rokok di tangannya. Lekas aku datang mendekat.

"Maaf, Ayah. Mas Azzam membawa Daffa pergi, memangnya pergi kemana, Yah?"

Ayah mertua ku nampak terkejut. Ia lekas menoleh dan menatap ku dengan tatapan yang menunjukan rasa iba tetapi aku tak terpengaruh dengan hal itu sebab sifatnya sungguh sangat membingungkan kadang baik kadang pun seperti sama saja dengan Mama mau pun Mas Azzam.

"Eh! Key. Kamu dari mana?" tanyanya.

Memang keluarga penuh dusta penuh drama. Berpura-pura tak tahu dengan apa yang sudah aku alamai padahal sudah jelas masalah yang menimpaku semata-mata karena anaknya.

"Aku tanya sama Ayah. Mas Azzam membawa Daffa ke mana?"

"Heh, Kayla. Bisa sopan nggak kalau ngomong sama orang tua?" sentak Mama yang tiba-tiba muncul seperti jailangkung.

"Kamu cari Daffa? Cari saja di rumah Tia istri muda Azzam yang lebih kaya lebih segalanya dari pada kamu," hardik Mama. Matanya melotot seperti akan terlepas dari tempat.

Aku hanya bisa mengelus dada dan beristighfar saja dalam Hati.

"Iya, Ma. Tapi, aku minta alamatnya, Ma. Mas Azzam nggak bisa dihubungi ponselnya." Aku menjawabnya meskipun mustahil Mama memberikan apa yang aku minta.

"Ma, kasih tahu saja lah! Kasihan dia Ibunya Daffa. Malu sama tetangga lihat Kayla lontang lantung di jalan kaya gini," tekan Ayah.

Aku sedikit terkejut mendengar Ayah mertuaku sedikit membentak istrinya. Ini untuk pertama kali aku mendengar ketegasan Ayah.

"Kamu kenapa jadi belain dia sih, Pak? Jangan -jangan bener kecurigaan saya. Kalian ada main di belakang saya."

"Astaghfirullah, Ma. Tolong jangan selalu su'udzon sama aku, Ma! Meskipun aku kere dan selalu buruk di mata mama. Tapi tak pernah ada niat aku menduakan Mas Azzam dengan lelaki mana pun. Apa lagi kalau sampai merebut Ayah dari Mama."

Aku membantah tuduhan Mama yang lagi-lagi membuat hati aku semakin sakit dengan segala ucapan juga tuduh yang tak mendasar itu.

"Aku akan pergi jauh dari keluarga kalian. Asal kalian ngasih tahu dulu alamat istri mudanya Mas Azzam," imbuh ku tegas dan pasti.

Mama kemudian masuk ke dalam rumah. Tidak berapa lama ia pun kembali keluar dengan membawa secarik kertas di tangan.

"Nih!" ujarnya melempar kertas ke tepat memgenai wajah ku.

Lekas aku pungut kertas yang terjatuh ke lantai tersebut. Aku tak perduli cara Mama memberikannya seperti apa, yang terpenting aku sudah mendapatkan apa yang aku mau.

"Kayla, ingat! Jangan pernah lagi datang ke sini! Azzam anak saya sudah tidak sudi memiliki istri udik seperti kamu." Makinya berapi-api.

"Baik, Ma! Dan terima kasih untuk semuanya. Maafin aku kalau selama aku di sini sudah menjadi beban untuk Mama. Aku berharap, Mas Azzam juga cepat memberikan surat cerai untuk aku," jawabku. Setelah berkata demikian. Aku pun segera pergi meninggalkan rumah Mama.

Aku membuka lipatan kertas yang diberikan Mama. Aku membaca alamat itu. Meskipun tak tahu arahnya kemana. Tetapi tekadku tetap akan mendatangi dan mengambil Daffa dari tangan mereka.

Hari sudah semakin siang. Aku menarik koper menuju jalan raya yang kebetulan tak begitu jauh dari rumah Mama.

"Kayla!"

"Eh? Teh Nani!" sambutku sedikit terjekut.

"Kamu masih di sini?" tanyanya.

"Teh, Maaf. Tahu alamat ini nggak?" tanya ku tanpa menjawab pertanyaan yang dia ajukan.

Teh Nani pun menerima kertas yang aku berikan. Ia lalu membaca dan nampak keningnya mengerut dalam.

"Kay, alamat ini mah jauh. Adanya di daerah pegunungan. Kalau dari sini sekitar 3 jam baru nyampe," katanya.

"Ya Allah jauh banget teh?"

Tetapi aku tak perduli. Berapa pun jaraknya aku akan tetap mencari. Setelah aku tanyakan naik mobil apa dan arahnya kemana. Teh Nani menjelaskan sedetail mungkin agar aku tak tersesat di jalan.

"Bismillah."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status