"Hara Kayyisa Malik?"
Aku lebih terkejut lagi ketika dia memanggil nama lengkapku, seiring dengan tubuh jangkungnya yang memangkas jarak antara kami.
"Kak ... Sananta?" ulangku ragu. Kemudian menyadari sesuatu. Kami tidak pernah berkenalan secara langsung, kenapa saling sapa satu sama lain seperti teman yang lama tak bertemu?
Uluran tangan kokoh di depanku membuatku salah tingkah. Pertemuan telapak tangan kami mengirimkan sensasi panas ke wajahku. Tanpa bisa dicegah, pipiku merona merah jambu.
***
Aku ingat sekali, bagaimana sosok itu hadir pertama kali dan kesan yang ditinggalkannya.
Saat menjadi mahasiswa baru, Kak Sananta telah berada di tingkat akhir. Dia mengambil jurusan teknik sipil dan selalu mendapat IPK tertinggi di tiap semester.
Satu malam di tengah meriahnya pentas seni, resleting gaunku melorot di belakang punggung. Aku yang sedang bersama beberapa pemuda pengisi acara lainnya, malu setengah mati dan panik mau minta tolong pada siapa. Sementara hanya ada aku yang perempuan di ruang tunggu ini. Persis pula ketika itu MC memanggil namaku untuk membacakan puisi.
Kegelisahanku ketika sudah dua kali MC memanggil namaku, berganti terkejut saat menyadari seseorang sudah membenarkan resleting gaunku setelah membisikkan kata maaf. Kemudian mendorongku pelan menuju pentas.
Aku ingat betul wajah dan ekspresi itu. Wajahnya tidak mencolok, tidak bisa juga dibilang jelek, menurutku dia menarik. Wajahnya datar cenderung membuang muka. Tak ada senyum ataupun godaan di matanya. Kaku. Dan entah kenapa ketika itu dadaku justru berdebar kencang.
Debar yang kemudian selalu hadir saat sesekali aku melihatnya dari kejauhan. Bahkan hanya dengan mengingatnya, pipiku memanas dan aku tahu virus cinta tengah melanda.
Cinta yang hanya bisa kupendam dalam hati karena sulitnya interaksi antara kami.
Aku tak punya keberanian lebih untuk mencari informasi tentangnya. Akhirnya perasaan itu tersimpan begitu saja tanpa ada muaranya."Apa kabar?" Pertanyaan yang membuyarkan lamunanku tentangnya. Baru aku sadari kami sama-sama terdiam canggung beberapa saat lamanya.
"Sehat, Kak," jawabku senatural mungkin. Jika dijawab baik, jelas aku tidak dalam keadaan baik-baik saja.
"Selamat untuk wisudanya," ujar Kak Sananta lugas, membuat ketenangan yang susah payah kubangun porak-poranda.
Pria ini tahu wisudaku?
"Terima kasih, Kak."
"Bunganya diterima dengan baik, bukan?"
Pertanyaan itu membuatku terdiam sejenak. Ingatanku kembali pada momen wisuda. Banyak bunga yang kuterima, dan ada satu yang tak bernama. Kukira hadiah tambahan dari Ari setelah sebelumnya sebuket besar cokelat bertuliskan namanya kuterima.
Apa itu dari Kak Sananta?
Jika benar ....
"Terima kasih banyak, Kak." Pipiku kembali merona dengan tak tahu diri. Tiga tahun tanpa kabar, lalu sebuket bunga datang di hari penting untukku. Bolehkah aku merasa tersanjung?
Obrolan kami terputus ketika satu orang berseragam yang sama dengan orang yang menyambutku di depan pintu mendekat.
"Maaf, Nona. Tuan mungkin akan pulang malam. Beliau minta Nona pulang saja dan kembali besok pagi sebelum Tuan berangkat kerja."
Aku mengangkat wajah seraya menahan kecewa yang menyeruak. Apa gunanya aku disuruh masuk jika orang yang hendak kutemui tidak ada di rumah?
Sepertinya birokrasi berbelit-belit tentang orang penting dan yang punya kepentingan kini sedang menjeratku.
Tuan Saddil Ramdan. Pemilik perusahaan tambang SS Group. Aku terlalu bersemangat untuk bertemu langsung secepat mungkin dengannya.
"Sayang sekali," desahku tanpa sadar. Ingin sedikit bernegosiasi tapi aku sadar asisten rumah tangga di depanku ini tak punya kuasa apapun.
Perempuan itu berlalu dan aku mengembuskan napas panjang. Tak ada gunanya aku di sini. Aku harus segera mencari penginapan untuk beristirahat.
Saat menoleh hendak pamit, kutemukan mata tajam Kak Sananta tengah menatapku intens.
"Jika boleh tahu, kamu ada perlu apa dengan Ayah?"
Fakta yang baru saja terungkap dari bibir Kak Sananta itu membuatku tertegun sejenak. Sungguh tak kusangka dia putra Tuan Saddil. Kupikir dia seseorang yang sama denganku--memiliki urusan dengan bos tambang itu--.
"Itu ...." Aku kebingungan memilih kata.
"Siapa tahu aku bisa membantumu bertemu Ayah lebih cepat."
Kak Sananta menawarkan koneksi?
***
Aku memperbaiki posisi duduk untuk ke sekian kali. Jemariku bertaut di atas lutut, berusaha mengusir ketegangan karena udara yang kembali penuh tekanan.
Kak Sananta tetap menelepon ayahnya meski aku menolak menceritakan. Pria itu menyuruhku menunggu beberapa waktu lagi.
Berdua di ruangan elegan dengan Kak Sananta, sungguh aku tak pernah memimpikan itu. Fakta jika dia mengirim bunga di hari wisudaku, serta bantuan untuk bertemu dengan ayahnya. Sebuah kejutan besar ketika Kak Sananta ternyata mencari tahu tentang aku.
Dadaku kembali berdebar oleh prasangka. Sesuatu yang menurutku datang di waktu yang kurang tepat. Kecemasan yang membawaku ke sini, begitu bertolak belakang dengan percikan-percikan kecil yang terus saja berpijar di hatiku sejak melihat Kak Sananta.
Dering ponsel membuyarkan lamunanku. Aku permisi sebentar untuk menjawab panggilan.
"Kamu baik-baik saja, Ra? Kenapa lama sekali?" Pertanyaan bertubi dari Ari begitu aku terhubung dengannya.
"Aku baik, Ri. Saat ini sedang menunggu Tuan Saddil. Beliau tidak ada di rumah."
"Menunggu? Bukankah tadi disuruh masuk, itu artinya tuan rumah ada di dalam, bukan?"
Aku tersenyum tipis mendengar perkataan Ari. Pikiran kami ternyata sama.
"Sabar, ya, Ri. Nanti aku telepon kamu lagi."
Saat menurunkan telepon genggam dari telinga, kembali kutangkap tatapan Kak Sananta ke arahku. Aku mendekat lagi dan kembali duduk di sofa tamu.
"Maaf, Kak. Ini saudaraku." Setelah kalimat itu terucap, aku sedikit menyesal. Tidak ada pertanyaan, semoga aku tidak terkesan menggebu menjelaskan.
"Tak apa." Kak Sananta tersenyum sekilas, lalu terang-terangan menatapku.
"Hara, apakah saat ini kamu sedang menjalin hubungan spesial dengan seseorang? Pacaran atau bisa saja, bertunangan?"
"Tidak. Tapi jika boleh tahu, kenapa Kakak bertanya seperti itu?" Kak Sananta tak terduga. Dia tidak berbasa-basi. Membuatku cukup yakin pertanyaanku tidak akan ditanggapi dengan reaksi berlebihan.
"Hanya sedang memastikan, aku sedang tidak duduk berdua dengan milik orang."
Aku tertawa pelan. Jawaban yang melesat cepat dan tepat menembus jantungku. Jawaban yang sebenarnya biasa saja tapi jatuhnya menerbangkanku ke awan.
"Banyak orang di luar sana yang bahkan dengan sengaja melakukan itu, Kak." Kucoba mengeluarkan candaan, agar tawa gugupku tak begitu kentara. "Respect dengan prinsip Kak Sananta."
Dia mengulum senyuman, membuat kesan dingin yang kutangkap tiga tahun lalu lenyap tak bersisa. Sesaat kemudian Kak Sananta berdiri dan aku cepat-cepat mengikuti. Orang yang kami tunggu telah datang.
Aku memperkenalkan diri pada pria tinggi besar dengan kepala plontos itu. Wajahnya cukup bersih dengan jambang yang terawat. Dari tatapan sekilas, aku tak bisa menilai karakter Tuan Saddil kecuali dia seorang yang terlihat penuh perhitungan.
"Jadi, kau serius dengannya, Sananta?"
Hara 6 "Benar, Ayah. Aku sudah menunggunya selama tiga tahun, bukankah sekarang adalah waktu yang tepat?" Tunggu! Apa ini? Apa yang dikatakan Kak Sananta pada ayahnya sehingga kata-kata ini yang kudengar? "Miss Malik, apakah Anda benar-benar menyukainya juga?" Mata pria setengah baya itu menyipit. Tatapannya mengintimidasi. "Saya ...." Aku benar-benar terkejut. Ini di luar prediksiku. Aku datang ke sini untuk negosiasi soal penjualan tanahku, bukan untuk pertanyaan aneh seperti ini. Kualihkan pandangan pada Kak Sananta. Dia terlihat begitu tenang tanpa membalas tatapanku. "Haruskah Ayah menanyakan itu padanya? Dia pasti malu, Ayah." Kak Sananta menjawab pertanyaan itu dengan ringan. Dibalas oleh Tuan Saddil dengan senyuman tipis yang tak bisa kuartikan. Pria gundul itu terlihat mengetuk-ngetukkan jarinya di lengan sofa. "Hmm ... bisakah kau beri aku waktu beberapa menit untuk bicara dengannya?" "Tentu saja, Ayah." Suara Kak Sananta terdengar yakin. Membuat praduga semakin m
TPD 7Setengah terhuyung aku keluar dari rumah besar itu. Kakiku terasa begitu ringan sementara otakku dipenuhi pikiran-pikiran yang tumpang tindih."Ingat saja, Bi. Jika ada gangguan pada perjalanan kami lagi atau sesuatu terjadi pada Hara, Bibi akan jadi orang pertama yang dicari polisi." Langkahku melambat mendengar Ari yang sedang memunggungiku. Dia sedang menelepon dan mendengar kata bibi, aku rasa dia sedang bicara dengan Bibi Sartika."Kenapa tidak? Aku sudah melaporkan dua plat motor yang mengikuti kami tadi ke polisi dan meminta perlindungan perjalanan. Bibi diam, atau bibi terancam." Ari terlihat kesal ketika mematikan ponselnya, lalu terkejut ketika aku sudah berada di belakangnya."Bagaimana? Berhasil, tidak?" Aku mengembangkan senyum lebar seraya mengangguk. Ari mengepalkan tangan senang. Dia segera membuka pintu mobil dan memintaku masuk."Syukurlah, kukira kita akan kesulitan menyelesaikan apa yang
Pertanyaan Ari membuatku menoleh cepat. Pandangan kami bersirobok. Dan aku tak kuasa menentang tatapan matanya. Kepalaku tertunduk dengan wajah bersemu merah. Aku lupa jika Ari begitu gampang membacaku. "Kapan?""Siapa?""Kenapa kamu tak pernah cerita jika kamu menjalin hubungan dengan seseorang?" Pertanyaan beruntun Ari persis seperti wawancara. Dia bertanya, aku menjawab apa adanya. "Kukira kamu akan jadi perawan tua selamanya." Kali ini suaranya terdengar mencemooh, seperti orang yang dibohongi. Aku mendelik. Dia pasti menyindirku soal ketidaktertarikanku pada laki-laki selama ini."Kamu cinta dia?" Yang ini terdengar begitu tajam, sekaligus begitu dalam."Aku ...." Benarkah aku mencintai Kak Sananta? Atau itu hanyalah sebuah perasaan kagum semata? Semacam obsesi yang bertahan sekian tahun karena tak pernah berkesempatan dekat dengannya? Lalu apa namanya ini. Poros dunia yang
TDP 9Ari bilang pengakuan Kak Sananta hanya alibi, agar aku masuk perangkap mereka dengan sukarela. Sementara aku berusaha menjelaskan karena dari apa yang kulihat dan kudengar, Kak Sananta tak tahu apa-apa soal tanah warisanku. Dia murni terlihat --jika boleh berlebihan-- seperti pungguk menemukan bulan."Ayo ke rumahku." Aku terperanjat kaget saat wajah Ari muncul begitu aku membuka pintu."Aku minta maaf untuk semalam. Aku terlalu over thinking." Senyuman Ari terukir. "Sekarang ayo pulang. Kamu harus istirahat." Pemuda itu menarik tanganku. Aku tersaruk mengikutinya."Terima kasih, Ari. Maaf, perasaanku membuat aku menjadi begitu keras kepala dan egois begini." Jujur, aku mulai memikirkan prasangka Ari dengan intens. Aku mengenal Ari hampir seumur hidup, sementara Kak Sananta? Bahkan kemarin adalah kali pertama kami berkenalan. "Aku yakin kamu tidak akan salah jatuh cinta, Hara. Maafkan aku yang memandangmu sebagai anak ke
TDP 10Kata-kata Ferdinand membuatku terus berpikir. Matanya, caranya bicara, entah kenapa aku merasa lelaki itu tengah menyembunyikan sesuatu. Sepanjang malam aku tak bisa tidur dan hanya berguling-guling di pembaringan.Mereka tidak akan menyerah dengan mudah. Itulah yang kupikirkan. Aku merasa mereka memiliki rencana tapi entah apa.Paginya, aku kesiangan bangun dan memutuskan ke taman belakang sebentar untuk menghirup udara segar yang lama tak kurasakan di sana."Bodoh sekali kita harus mengembalikan satu miliar, oh tidak, semuanya. Hara itu aset kita dan sebagaimana aset, ia tak boleh jatuh ke tangan siapapun."Aku tercekat sembari cepat menyelinap ke balik rumpun bunga dahlia yang sedang mekar. Setahuku Bibi Sartika tak pulang tadi malam, tapi tak jauh di depan, wanita itu sedang duduk di kursi taman entah dengan siapa.Kapan wanita itu kembali? Dan, oh ... kata-katanya terdengar menakutkan."Tapi dia berkata akan
TDP 11"Dengarkan aku sekarang." Wanita itu mendekat. Ekspresinya tak tertebak."Aku akan mengembalikan uang muka itu. Tak peduli seberapa besar kau mempermalukan aku, aku akan menuruti kehendakmu kali ini.""Baguslah kalau begitu." Aku coba mengabaikan sikapnya yang playing victim."Tapi kau harus menuruti kata-kataku ini, Hara. Aku tak tenang melihat sikapmu yang keras kepala. Aku tak tahu berapa lama lagi aku akan hidup, karena diagnosa dokter mengatakan aku terkena stroke ringan. Aku takut kalau aku sakit atau meninggal tak ada yang akan menjagamu dan harta peninggalan orang tuamu.""Kau harus segera menikah, Hara. Hanya dengan itu Bibi akan tenang. Walau kau menganggapku jahat tapi aku tak pernah berhenti memikirkanmu, Hara. Jika kau menikah, kau akan memiliki seseorang yang akan sehidup semati denganmu. Melindungimu dan mempertanggungjawabkanmu."Oh. Bibi Sartika memang punya rencana luar biasa untukku."Kenap
TDP 12"Kamu tahu kenapa aku nekad menerobos kamarmu tadi pagi? Karena aku mendengar rencana Ferdinand sebelum aku masuk ke rumahmu. Dia sedang menelepon seseorang dan membicarakan pernikahan. Pernikahan paksa antara kamu dan dirinya. Aku tak tahu apa rencana pastinya, tapi aku tak ingin kamu terjebak di rumah itu. Makanya aku paksa bawa kamu ke sini.""Hara, segera setelah Sananta datang, kamu pergi ke pengacara untuk menanyakan masalahmu ini. Mungkin akan butuh waktu untuk mengurus berkas yang baru dan kamu akan terus dibawah tekanan.""Kenapa kamu malah melibatkan Kak Sananta dalam urusan ini, Ri? Dia tak tahu apa-apa dan aku tak ingin dia mengetahui sebobrok apa bibiku. Bagaimanapun juga dia adalah keluargaku.""Karena kamu perempuan, dan kamu terancam. Kamu butuh pelindung." Ari menatapku sendu. "Sementara aku tak mampu melakukannya." Dia terlihat sedih."Kamu tahu kenapa Ferdinand ngotot ingin menikah secepat mungkin denganmu?"
Seminggu lalu ketika Kak Sananta menginjakkan kaki di rumahku dan kuperkenalkan sebagai calon suami. Hari ini kami telah resmi menikah.Bibi Sartika benar-benar terkena mental. Dia bahkan tidak menyapaku sama sekali. Dia sangat marah hingga berkurung diri di kamar. Dia juga tak menghadiri akad nikahku yang sederhana, sama seperti Ferdinand yang selalu melihat Kak Sananta seperti ingin menelannya. Dan hari ini, lelaki itu menghilang entah ke mana.Aku memang sudah memutuskan untuk menikah saja. Posisi Kak Sananta cukup kuat untuk melindungiku dari trik-trik yang mungkin dirancang Bibi Sartika. Aku harus menutupnya sesegera mungkin sebelum mereka berhasil melakukannya.Kak Sananta yang seorang putra bos tambang, dan keterikatan dana satu miliar yang belum dikembalikan, membuat Bibi Sartika dan anaknya mati kutu. Mereka tak bisa berkutik dan terpaksa menerima jika rencananya gagal total.Mungkin pernikahan ini terdengar seperti aku memanfa