TPD 87"Hei, Hara. Kenapa kau menuduhku seperti itu? Aku tidak berkomplot dengan siapapun apalagi mertuamu seperti tuduhanmu itu. Bukankah kau sendiri yang memberikan surat kuasa itu? Kalau bukan karena surat kuasamu, bagaimana bisa aku melakukannya? Bukankah kau sudah mengamankan semuanya dariku?" Sudah kuduga. Bibi Sartika akan terus mengelak. Entah kenapa pula aku masih terus ingin mendengar pengakuan dari mulutnya. Sesuatu yang tentu saja akan sulit terjadi."Aku mendengar sendiri apa yang Bibi bicarakan dengan Tuan Saddil, hanya saja aku tidak sempat merekamnya." Aku tersenyum kering. "Kau selalu mengada-ada, Hara. Apa sekarang kau merasa menyesal menjualnya, lalu kau ingin mencari gara-gara denganku lagi?" Mata berhiaskan eye liner tebal itu menatapku tajam. "Tidak. Aku tidak mencari gara-gara. Aku hanya ingin bertemu dengan Bibi, melihat kebenaran secara langsung dari wajah kalian. Bukankah ketika itu Bibi meneleponku dan m
TPD 88"Jadi, gimana kita pulang?" Setelah beberapa menit berlalu dari keterkejutan itu, pertanyaan Mbak Mira terdengar dari arah belakang. "Sepertinya kita tak bisa pulang malam ini." Ari yang menyahut."Memangnya gak ada jalan memutar gitu, ya, Mas?" Mbak Mira memanggil Ari dengan sebutan Mas walaupun dia lebih tua. Katanya sungkan jika harus panggil nama."Ada, Mbak. Memutar jauh ke atas bukit Tapi sebagian besar masih jalan tanah. Dan hujan begini kita nggak bisa bawa Hara melewatinya.""Jadi ....""Kita putar balik lagi aja. Cari penginapan dulu. Setuju, 'kan, Ra?"Aku yang bersandar ke jok mobil menegakkan kepala perlahan. Mobil masih parkir di pinggir jalan, sementara hujan masih belum menampakkan tanda-tanda akan berhenti. Perutku tak nyaman. Seperti kram, dan aku tak mau berpikiran buruk, tapi saat bergerak, sakit itu terasa lagi."Kamu baik-baik saja?" Suara Ari terdengar menuntut. Mungkin dia melihat rautku yang berkedut."Ti ..." Aku baru saja akan mengatakan tidak, ketik
"Bayinya perempuan, Mas." Salah seorang suster yang baru saja keluar dari ruang operasi bersama Hara yang didorong dua suster lain tersenyum semringah. "Anaknya cantik. Ayahnya pasti senang. Saat ini sedang dihangatkan di inkubator, ya Mas."Ari tergagap. Tatapan suster itu jelas mengatakan jika dialah ayahnya."Kondisi ibunya juga baik. Untung Anda tiba tepat waktu." Suster itu terus bercerita. Sementara Ari mengikuti langkah mereka ke kamar rawat inap."Makasih, Sus." Hanya itu yang bisa dikatakan Ari. Walau tubuhnya serasa jadi bayang-bayang karena cemas, sekarang dia sudah bisa bernapas lega."Habis ini Mas ke ruang bayi, ya, buat iqamahkan putrinya," ujar suster itu lagi saat mereka semua sudah selesai mengantar Hara dan memastikan kondisinya stabil. Kalimat yang disambut oleh anggukan Ari."Selamat, Ra." Ari menyapa Hara. Wajah perempuan itu pucat, tapi dia terlihat bahagia. Binar di matanya mengatakan itu."Makasih, Ri." Hara tersenyum. "Kak Sananta sudah ada kabar?""Belum, Ra
"Berhenti kalian semua!"Aku sungguh menyesal tidak membawa pengeras suara, hingga harus berteriak-teriak di siang terik yang panas ini. Sementara empat lelaki yang sempat kulihat mengenakan helm kuning khas proyek terus menghilang dalam kedalaman kebun karet yang belukarnya sudah setinggi dada.Aku terseok dalam belukar mengikuti jejak kaki yang masih tertinggal. Semak-semak dan kayu kering berpatahan tanda seseorang baru saja menginjaknya. Dengan terengah aku mempercepat langkah, tak peduli peluh bercucuran serta tas di punggung yang beratnya entah kenapa terus saja bertambah. Beberapa kali sepatuku terpuruk dalam celah semak kering yang sudah mati.Akhirnya aku berhenti mengikuti jejak itu, merasa jadi orang paling bodoh begitu menyadari apa yang kulakukan. Segera aku berputar arah."Hei! Bapak-bapak yang sedang mengukur, berhenti!!"Dari bagian cukup tinggi yang susah payah kudaki, aku berteriak kencang. Suaraku menggema dalam keheningan lahan yang luasnya lebih kurang dua ratus h
"Maaf, Nona. Sesuai perintah beliau, Nona datang saja ke alamat ini." Salim merogoh sesuatu dari balik celananya dan menyodorkan padaku. Sebuah kartu nama. Ingin sekali aku menumpahkan kekesalan, tapi kutahan sekuat tenaga karena tak ada gunanya. Aku harus segera mencari Bibi Sartika, pangkal utama masalah ini dan bertanya apa maksud dia melakukan semuanya. *** Seharusnya, aku datang ke kampung ini dengan berjuta rindu yang siap menemui tepi, tapi nyatanya masalah ini sudah menguapkan semuanya. Entah apa yang dipikirkan Bibi Sartika. Bahkan kepulanganku setelah dua tahun di rumahku sendiri seperti tamu tak diundang. "Kenapa kau semarah itu, Hara? Bukankah ini justru keuntungan besar? Kebunmu sudah terbengkalai dan tak menghasilkan lagi. Harga panen rendah sekali ditambah pohon-pohon itu juga sudah tua. Kalaupun kau tebangi dan menanam pohon baru, siapa yang akan mengurusnya? Bibi sudah tua, Hara." Wanita di depanku ini begitu tenang berucap, seolah yang dilakukannya hanyalah menj
Pintu rumah panggung bergaya lama itu terbuka seiring munculnya seraut wajah dibaliknya. Bukan Ari yang menyambutku, melainkan perempuan tua dengan tubuh masih terlihat bugar. Aku menghela napas berat, berusaha untuk tidak terlalu kecewa."Nona Hara?" "Ari, ada, Bu?" tanyaku pada Bu Sarmiah. Asisten rumah tangga yang telah berkerja puluhan tahun di rumah Ari, sahabatku.Rasanya bertemu Ari akan membuat semua kelelahan dan sesak ini terobati. Ari yang memberitahuku tentang kabar penjualan lahan itu, dia yang tak hadir di wisudaku kemarin dan membuatku sedikit menyimpan kekecewaan. Namun, hari ini semuanya menguap begitu saja."Den Ari sempat singgah, Non. Tapi kemarin sore sudah pergi lagi. Mbah Kakung meninggal dan Den Ari belum kembali."Aku terduduk di undakan tangga dengan tenaga yang terkikis habis. Lemas seluruh tulang belulangku. Sedih, haus, lapar, lelah dan pusing semua menjadi satu."Mbah Kakung?" Kesedihan menyapu dadaku. Terbayang wajah tua yang ikut mewarnai masa kanak-ka
"Sst. Ini aku, Ari." Pria itu membuka maskernya, bersamaan dengan lepasnya tangan yang sempat membungkamku bicara. "Ayo kita pulang, secepatnya," bisiknya tergesa.Belum habis keterkejutanku, Ari sudah menarik tanganku--setengah menyeret-- hingga kami benar-benar berlari kencang menuju jalan raya. Motor King Cobra tua milik Ari telah menanti dan segera meraung membelah jalanan yang menanjak. Saat itulah baru aku sempat menoleh ke belakang. Mencoba mencari jawab atas tanya yang sempat menyelinap ketika Ari menyeretku seperti kesetanan. Lima orang berbaju hijau daun serupa hansip baru saja muncul di pinggir jalan. Arahnya dari jalan setapak tempat aku masuk tadi.Oh.Sekarang aku merasa dadaku akan meledak oleh detak jantung yang memburu.***"Jadi, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?" Berbanding terbalik dengan harapan setipis kertas serta ketegangan yang mencekik menjelang senja tadi, sekarang semangat dan kelegaan luar bisa memenuhi dadaku. Meski ini hanya sebatas harapan, tapi
"Hara Kayyisa Malik?" Aku lebih terkejut lagi ketika dia memanggil nama lengkapku, seiring dengan tubuh jangkungnya yang memangkas jarak antara kami. "Kak ... Sananta?" ulangku ragu. Kemudian menyadari sesuatu. Kami tidak pernah berkenalan secara langsung, kenapa saling sapa satu sama lain seperti teman yang lama tak bertemu? Uluran tangan kokoh di depanku membuatku salah tingkah. Pertemuan telapak tangan kami mengirimkan sensasi panas ke wajahku. Tanpa bisa dicegah, pipiku merona merah jambu. *** Aku ingat sekali, bagaimana sosok itu hadir pertama kali dan kesan yang ditinggalkannya. Saat menjadi mahasiswa baru, Kak Sananta telah berada di tingkat akhir. Dia mengambil jurusan teknik sipil dan selalu mendapat IPK tertinggi di tiap semester. Satu malam di tengah meriahnya pentas seni, resleting gaunku melorot di belakang punggung. Aku yang sedang bersama beberapa pemuda pengisi acara lainnya, malu setengah mati dan panik mau minta tolong pada siapa. Sementara hanya ada aku yang