"Jangan salah paham. Aku hanya memanfaatkanmu." Karla berhenti, menatap pemuda yang berjalan di sampingnya.
"Aku tak salah paham. Aku mengerti," ujar Rayyan cuek.
"Tapi terima kasih." Bagaimanapun Karla tahu yang harus diucapkan pada pemuda yang telah melepasnya, meski sementara dari Gery.
"Baiklah. Aku pergi." Rayyan melangkah lebar meninggalkan Karla.
"Tunggu." Suara gadis tinggi semampai menahan langkah pemuda berambut sebahu.
"Kau menolak ganti rugi waktu itu, setidaknya aku harus mentraktirmu kali ini."
"Ah, aku masih kenyang. Baru sudah makan." Rayyan tersenyum lebar. Namun, bersamaan dengan ucapan mengatakan ia kenyang, perutnya tak berkompromi. Suara cacing di dalam sana bergurau nakal. Apa yang terjadi embuat pemuda berambut sebahu menyugar rambut. Bagaimanapun ia tak nyaman bersama orang asing. Apa lagi seorang gadis.
"Ayo! Aku tahu makanan enak di sekitar sini." Karla melangkah mendahului, memandu.
Kini R
Seperti biasa, saat bosan memelototi layar komputer, Rayyan beranjak dari kamar. Pekerjaan seperti yang digelutinya tak bisa dilakukan saat fokus teralih. Jika sedang berkonsentrasi Rayyan bisa menghabiskan berjam-jam. Namun, saat tidak mood, ia memilih beristirahat.Saat keluar kamar, Rayyan merasa heran. Tidak biasanya rumah lengang setelah keberadaan dua kurcaci kembar. Apa keduanya sedang tidur siang? Saat tak melihat keponakannya di kamar, pemuda itu memutuskan keluar. Padahal tadinya ia ingin bermain-main dengan keduanya. Itu cukup untuk mengembalikan semangat.Akhirnya ia memutuskan pergi ke pesantren. Sudah beberapa hari tak melihat keadaan di sana.Tentu saja sebagai penyempurna penyamaran, Rayyan tak pernah datang ke pondok dengan kenderaan roda empat. Ia lebih memilih naik ojek. Jam-jam sebelum salat asar di sini sangat lengang. Karena seluruh santri masih sibuk di kelasnya. Selepas zuhur mereka memiliki jadwal materi pengembangan diri. Setiap s
Malam bergerak pasti mengikuti pergerakan waktu. Atap bumi gelap tanpa bintang yang biasanya berpendar indah. Sedangkan di sebuah kamar temaram, tampak sosok tubuh yang bergerak gelisah. Suara keluar dari lisannya tak terdengar jelas, keringat kini memenuhi wajah yang biasanya tenang. Wajah berhidung mancung dan memiliki pesona di senyum dan tatapan matanya. Mimpi itu sepertinya datang lagi. Mimpi yang sering mengusik secara berulang, terutama di masa lalu."Mungkin ia telah kehilangan ayah, tapi ia punya kakak laki-laki. Jadi jangan sekali-kali mengganggunya atau aku akan membuat hidung kalian berdarah." Bentakan itu tak terdengar main-main. Terlebih yang mengatakannya adalah anak bertubuh jangkung dengan tatapan mata tajam. Tubuhnya juga terlihat kekar di bandingkan anak seusianya."Dik, dengar! Tak ada yang salah dari menjadi yatim. Ayah akan terus mengawasi kita dari sana. Atau begini saja, apa yang ingin kau beritahu pada ayah, kau sampaikan saja pada kakak." Suara
Jam kerja baru saja dimulai. Di sebuah kantor yang tak terlalu besar, tapi terlihat ekslusif. Beberapa orang saja penghuni ruang berarsitektur unik itu, dan mereka terlihat sibuk dengan tugasnya masing-masing. Di antara beberapa orang yang telah saling mengenal dengan baik tersebut, terlihat wajah asing. Sepertinya ini kali pertama ia berada di sini. Ia adalah seorang pemuda. Perawakannya gagah dengan wajah di atas rata-rata. Tatap matanya memperlihatkan dengan jelas, bahwa ia sosok yang cerdas.Meski dalam biodatanya tertulis jelas, jika ia harus dipertimbangkan ke mana saja ia memasukkan surat lamaran. Nyatanya ia harus menunggu begitu lama untuk menemui pemilik kantor kecil ini. Sebuah kantor akuntan yang belum terlalu lama berdiri. Pemiliknya adalah seorang gadis cantik, yang masih baru di bidang ini. Gadis itu bernama Karla. Seorang akuntan publik lulusan master luar negeri. Walaupun belum bisa dikatakan matang, tetapi sepeakterjangnya patut diperhitungkan. Itu tentu saja
Karla yang baru untuk pertama kalinya mendatangi restoran ini terus mengawasi tiga orang di depannya. Ia memutuskan menikmati lebih lama suasana malam di luar rumah, meski aktivitas makannya sudah usai dari tadi. Ia mengedarkan pandangannya pada sebuah restoran dengan dekorasi elegan.Sebagai gadis yang biasa hidup di luar negeri, sebenarnya ia cukup cuek. Karla tak terlalu peduli dengan sekitar, tetapi demi melihat pria yang begitu cekatan mengimbangi dua bocah aktif, mau tak mau beberapa kali gadis itu mencuri pandang pada ketiganya.Karla bukan memperhatikan seperti orang tidak memiliki pekerjaan, itu tak lebih seperti kebetulan, karena tempat duduk mereka berada tepat di depannya. Hingga celotehan dua anak kecil menggemaskan itu terdengar jelas di telinganya.Pemuda gondrong itu memiliki pembawaan tenang dengan tatapan setajam elang. Rambutnya gondrong dengan hidung lumayan mancung dibandingkan penduduk negeri ini pada umumnya. Ia duduk berhadapa
"Sejak awal ibu rasa kalian tak cocok." Wanita lima puluh tahunan meletakkan gelas kopi di depan putranya."Tapi ibu tak pernah beritahu sebelumnya." Pemuda gondrong menatap lembut pada wanita behijab warna gelap."Ibu pikir jika kau cepat menikah itu akan baik.""Tidak bu, itu tidak akan mudah. Menemukan wanita yang bisa menerimaku apa adanya kurasa sulit.""Karenanya izinkan ibumu ini turun tangan. Meski pun hanya wanita tua, aku berpengalaman mencari pasangan yang baik. Kau lupa sehebat apa ayah yang kuberikan untuk kalian.""He, he he. Nenek nenek ini! Jadi ibu sedang pamer sekarang? Hem, tapi itu benar! Beliau ayah yang luar biasa, sayang sekali kita tak punya banyak waktu bersama." Pemuda itu menghela napas berat. Untuk menutupi perasaannya ia segera meraih gelas kopi, menyesapnya pelan."Tapi, Nak. Kau juga salah. Kau terlalu banyak menghabiskan waktu bersama 'Affa dan 'Affiyah. Kau juga terus menempel pada ibumu. Mana ada gadis yang
"Pergilah, Nak. Ayahmu juga pasti bangga di sana, mengetahuinya komputer yang ia hadiahkan membawamu makin dekat pada mimpimu. "Wanita berpenampilan sederhana itu menatap layar persegi dengan lelehan bening yang tak tertahan. Air mata bahagia bercampur haru. Putranya baru saja mendapatkan undangan dari perusahaan besar Rusia. Salah satu perusahaan yang sangat diperhitungkan di bidang IT. Ini tak lain sebab kegilaan Rayyan pada bidang programmer sejak SD. Bidang yang sebenarnya berbeda dari apa yang ia pelajari di bangku sekolah."Aku tidak akan pergi, Bu. Aku sudah bosan hidup di perantauan." Anak muda berambut sebahu itu mematikan layar di meja kerjanya. Menatap lurus pada sang ibu."Anak ini! Kau tahu berapa banyak orang yang mengharapkan ini? Menyia-nyiakan kesempatan sama dengan tak bersyukur." Wanita bertatap lembut tak sepakat dengan alasan sang putra."Bu--" Pemuda itu tak melanjutkan ucapannya melihat reaksi sang ibu. Ia memilih tak berde
Di sebuah pesantren yang baru berdiri beberapa tahun belakangan. Di antara hiruk pikuk santri yang membawa mushaf dan kitab dengan aksara tanpa kumis, tampak seorang pemuda gondrong sedang membersihkan taman. Ia terlihat fokus menata bunga-bunga anaeka jenis. Bentuk fisiknya tak terlalu tinggi, tetapi juga tidak rendah. Tumbuhan hias kini telah terpangkas rapi, bekas potongan daun telah dibawa ke tempat sampah. Pemuda dengan hidung mancung masih memindahkan beberapa anak bunga. Terlihat jelas ia begitu menikmati pekerjaannya, tak peduli meski pakaiannya telah basah oleh keringat.Santri yang melewatinya menegur ramah. Sepertinya ia cukup dikenali di tempat ini. Meski secara penampilan ia harusnya tak berada di tempat ini, karena cara berpakaian yang sangat berbeda dengan tapipenghuni pesantren. Namun, mungkin dewan asatiz memiliki alasan. Alasan kenapa menerima pemuda gondrong dengan celana jeans selutut? Padahal di lingkungan pesantren semu
Pagi masih muda saat Rayyan telah berkutat di depan layar komputer, ia telah duduk di sana seusai subuh tadi. Suara salam terdengar kencang dari ruang depan."Nak, temanmu datang," panggil bunya dari luar kamar.Pasti gadis itu, lirih pemuda bermata tajam. Ia segera beranjak dari kursinya, melangkah ke pintu utama."Mau masuk?" Rayyan menyapa gadis cantik di depan pintu rumahnya.Bukannya menjawab wanita muda berkulit putih bersih mendorong pemuda di depan pintu. Ia langsung mengambil tempat duduk di kursi tamu. Mulutnya cemberut membuat mata sipitnya makin kecil.Pemuda gondrong ikut duduk di kursi seberangnya. Memandang sekilas pada wanita berbusana warna lembut"Kau tak benar-benar mencintaiku, 'kan? Lihatlah kau tak terlihat berusaha mempertahankan hubungan ini. Yang benar saja. Kau tak terlihat seperti pria. Mengapa tak berbuat hal keren." Gadis itu bicara dengan wajah menyedihkan.Rayyan menuang minuman di atas meja, lalu mengan