Sesosok bayi gemuk dengan kulit seputih telur rebus dikupas, terkekeh menampilkan deretan gusi merah saat menyaksikan ayahnya mendekat. Sepasang lengannya terulur, minta digendong.Wajah keruh Gavin berubah cerah begitu melihat anaknya. Ia mengangkat Ezra, lalu menciumi pipi gembilnya. Sepasang mata bulat kehijauan milik Ezra, tampak jernih dan berkilauan, dipenuhi cahaya kegembiraan. Bayi bergelar bakpao itu tertawa-tawa geli ketika lehernya dicium gemas. “Jangan diajak main dulu. Bakpao baru selesai makan. Nanti muntah,” tegur Prisha. “Yaudah, kalo gitu ngajak maen ibunya aja.” Gavin melirik sang istri penuh arti.Prisha tak acuh. Ia bertanya, “Kok, pulang? Ada yang ketinggalan?”“Hari ini jadwal imunisasi, kan? Aku mau ngantar kalian.” Mata Prisha membulat. “Sha dan Bakpao bisa berangkat sendiri. Dianter Mbak Noni.” Prisha menyebutkan nama sopir pribadi wanita yang direkrut Gavin untuk mengantarnya ke mana-mana.“Bayi kita biasanya diimunisasi di rumah. Dokter spesialis anak ya
Alif mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang dan cenderung santai. Ada bayi ahli waris Devandra yang berharga di mobilnya. Alif tak berani ambil risiko, walau mobil meluncur di jalur tol bebas hambatan.Prisha berterima kasih dalam hati karena Alif melambatkan laju mobilnya. Sopir sekaligus teman sekolahnya di masa lalu itu, cepat tanggap serta sangat memperhatikan penumpangnya. Bayi Ezra jarang naik mobil. Prisha khawatir bayinya kaget dan kurang nyaman kalau mobil terlalu cepat.Prisha bersandar di dinding empuk jok mobil bersama dedek bayi yang menyedot ASI, dalam gendongannya. Sementara Gavin masih menerima telepon. Kening lelaki itu berkerut.Baru lima menit, Ezra yang kekenyangan, langsung tertidur pulas. “Ada apa?” Prisha bertanya, begitu Gavin menonaktifkan layar ponselnya. “Humas dan tim IT Healthy Light mendeteksi unggahan video netizen pagi ini. Zakki memaksa masuk ruangan presdir Mutiara Hospital. Gosipnya, sepupuku yang menyebalkan itu, melabrak Dokter Salman ....”P
Setibanya di poliklinik anak, Dokter Ariana menyambut Prisha dengan riang. Mereka bersalaman dan cipika cipiki.Prisha memasuki ruangan yang luas. Wangi lembut khas bayi mendominasi, membangkitkan perasaan nyaman, tenang, dan aman. Dinding-dinding dilapisi wallpaper biru pastel dengan gambar-gambar lucu dan menarik. Prisha duduk di sofa empuk yang tersedia untuk para ibu yang membawa anaknya berobat.“Lama nggak ketemu. Gimana kabar papa mama Kak Ariana?” tanya Prisha. “Alhamdulillah, papa semakin membaik. Udah bisa jalan-jalan pagi. Mama juga sehat. Recovery masih sebulan lagi di gunung. Tapi mereka udah bisa aku tinggalkan. Seminggu sekali kujenguk.”“Kak Ari tinggal dimana? Kenapa nggak kembali aja ke rumah kakek nenek?”Ariana tersenyum. “Lebih mudah dan praktis tinggal di asrama rumah sakit.” Ariana menyembunyikan alasan sebenarnya. Sebagai putri dari orang yang pernah berkomplot untuk menjatuhkan perusahaan, ia khawatir, cucu-cucu Zed dan Diana mempermasalahkan keberadaannya d
“Gimana caraku menyelesaikannya?” Ariana kebingungan.Prisha melayangkan tatapan iba ke arah sepupu Gavin itu. Usia Ariana lebih tua darinya, pendidikan pun jauh lebih tinggi. Prisha ingat, dokter spesialis anak yang cantik itu pernah bercerita tentang masa remajanya yang dihabiskan di belakang meja belajar. Kata Gavin, Ariana memiliki IQ setara astronot. Pendekatan terhadap anak-anak juga sangat bagus dan luwes. Patut diacungi jempol. Sayang sekali, emotional quotion atau EQ-nya soal cinta menyedihkan. Sepuluh tahun mengejar cinta, berakhir kesia-siaan. Ketika cinta yang dikejar tiba-tiba datang sendiri, Ariana malah menolaknya. Prisha menganggap, Ariana belum memahami suasana hatinya sendiri. “Kenapa juga kamu tolak Dokter Salman?” Suara dingin Gavin, mengandung ketidaksabaran. “Kamu buang-buang waktu!”Mata Gavin tiba-tiba menyorot tajam ke arah tiga nakes wanita yang mendampingi Ariana di poliklinik anak itu. Mereka semula memasang wajah kepo saat ikut mendengar percakapan antar
Paras Zakki memerah. Rahangnya mengeras. Ia mengepal tinju diam-diam, menahan emosi.“Bukan urusanmu.”“Aku bertanggung jawab mengontrolmu! Ingat, kakek sedang menghukummu.” Suara Gavin tegas, penuh intimidasi.Diingatkan akan pekerjaannya yang berfungsi sebagai hukuman, mata kelam Zakki menunjukkan jejak frustrasi.“Aku tak akan mengulanginya lagi.” Akhirnya ia menyahut, lemah. Keheningan menyapu sepasang sepupu itu untuk sesaat. Zakki menghela napas panjang seraya melonggarkan kepalan tangannya.“Aku hanya ingin dia tersenyum bahagia.” Pemuda itu melanjutkan ucapannya dengan nada menyerah.Gavin langsung mengerti siapa “dia” yang dimaksud Zakki.“Bukan begitu caranya.”Zakki mengangkat muka. Sebenarnya ia gengsi menunjukkan rasa ingin tahu. Namun, gejolak perasaannya lebih dominan, sehingga ia rela menekan gengsi itu.Gavin mengangkat jari telunjuk, lalu menggoyangkannya sebagai isyarat agar Zakki mendekat. Dalam situasi normal di masa lalu, Zakki tak akan sudi mendengarkan kata-k
Terlepas dari perbuatan jeleknya di masa lalu, Gavin agak kasihan pada Zakki. Tapi ia juga tak berdaya mengendalikan kakek neneknya yang pilih kasih. Tekanan keluarga Atmaja pada Zakki juga lebih karena merasa malu melihat Zakki tak bisa dibanggakan di tengah keluarga Devandra.“Adik saya sudah berubah,” kata Gavin, berusaha meredakan kejengkelan Robi. Nada suaranya tenang. “Dia jenius bisnis yang bakal diproyeksikan sebagai pengganti saya.”Kilat keterkejutan yang tajam melintas di mata Zakki. Ia memandang kakak sepupunya dengan sorot tak percaya. Tapi dengan cepat ia berpikir, Gavin pasti hanya ingin menjaga harga dirinya, mengingat mereka kini “bersekutu”. Dua detik berikutnya, tatapannya kembali jatuh ke gelas bening berisi air mineral. Ekspresinya kembali datar.Robi Atmaja tercengang. Lalu, suara tawanya berkumandang. Mengandung ejekan. “Pecundang ini? Jadi pengganti CEO Healthy Light? Apa kalian meremehkan pengkhianatannya? Anak ini sudah mencoreng nama baik dua keluarga!”“Pa
“Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau saudara Gavin Davendra bin Tibra Devandra dengan putri saya yang bernama Prisha Lavani binti Egon Braun, dengan maskawinnya berupa kalung emas seberat 20 gram, tunai.”Penglihatan Gavin berkabut kala menjawab ijab. Kesadarannya mengawang-awang. “Saya terima nikah dan kawinnya Nalini---“Penghulu berdeham. Salah satu saksi menepuk bahu pemuda itu. “Mas Gavin, salah nyebut nama.”Gavin tersentak, lalu mengulangi kabulnya, setengah linglung. Kalimat kedua, tetap salah ucap. Saksi menggeleng pelan dan kembali menegur. Lafaz kabul yang ketiga, tatapan Gavin menerawang. Masih menyebut Nalini.Sesaat, pikirannya terbang pada kejadian satu jam sebelumnya. Menjelang akad, mamanya tiba-tiba mengancam bunuh diri. “Mama akan bunuh diri kalo kamu tetap nekat menikahi mantan PSK itu!” Wajah Karina--mamanya--menyiratkan ancaman. Ujung pisau di tangannya, telah menempel pada leher. Gavin terbeliak. Pucat pasi. Lebih dari apa pun di dunia, ia sangat menyayang
Empat jam sebelumnya. Belum tuntas Prisha berdoa selepas salat Subuh, suara ketukan di pintu terdengar bertalu-talu. Gegas gadis berusia 22 tahun itu bangkit dan membuka pintu. Hari itu adalah hari istimewa yang sangat dinanti-nanti ibunya. Mereka pasti bakal sibuk. Para tetangga di desa sudah sejak kemarin gotong royong membantu masak-memasak dan persiapan lainnya. Konon, pernikahan pertama ibunya berlangsung siri dan tak dihadiri Sarah, neneknya. Itulah sebabnya, di pernikahan kedua ibunya kali ini, meski digelar sederhana, neneknya tetap ingin menyiapkan walimah terbaik. Jadi Prisha pikir, wajar jika pagi-pagi pintu kamarnya sudah digedor. Mungkin Nenek butuh bantuan. Mungkin—“Prisha!” Nalini menghambur masuk, lalu memeluk putrinya sambil menangis sampai terguguk. “Mami, kok, nangis? Duh, sabar, sabar ....” Prisha mengelus-elus punggung ibunya. “Mami gugup, ya?” Gadis itu tersenyum kecil. Ia teringat beberapa kawan sekampungnya yang menikah di usia muda. Menjelang akad nikah,