Tatkala Salman menyampaikan hasil pembicaraannya dengan Ariana, Dokter Farid dan Dokter Adinda terbelalak tak percaya dan nyaris kehilangan kata-kata.“Bukankah papanya sudah merestui? Mengapa Ariana malah menolak?” Dokter Farid tak habis pikir. “Kamu dulu emang sangat keterlaluan. Aku kasian sekali pada Ariana. Ia sampai berusaha hijrah agar jadi calon istri shalihah yang engkau mau. Terlepas dari niatnya yang kurang tepat, gadis itu gigih sekali. Sepertinya sekarang ia sudah lebih matang dan dewasa.” Dokter Adinda mengungkapkan pandangannya. “Sepuluh tahun menyukaiku, apakah waktu satu tahun sudah cukup baginya untuk melupakanku?” Salman tak rela dilupakan begitu saja. Sebelah hatinya masih berharap Ariana berubah pikiran.Saat itu, malam minggu. Mereka bertiga duduk bersama di beranda rumah Dokter Farid sambil menikmati teh panas dan beberapa camilan. Malam itu sejuk, tapi Salman merasa kedinginan. Saat menceritakan isi dialog terakhirnya dengan Ariana, kenangan demi kenangan be
“Nak, Papa tak ingin mendiktemu lagi seperti dulu. Jangan pikirkan perasaan papa atau mama. Pikirkan kebahagiaanmu sendiri.” “Benar.” Lidya menimpali sambil mengiringi langkah putrinya. “Maafkan Mama yang marah-marah gegara kamu nolak dia. Mama hanya kasian padamu. Kamu putri mama tak pernah hidup susah. Selalu dilayani, tak pernah melayani. Cuma tau belajar, baca buku, lalu bersenang-senang. Hidupmu lurus, menjalani profesi dengan bahagia. Tiba-tiba kita bangkrut dan di-bully. Kamu menderita. Tak ada lelaki yang sudi menikahimu. Mama sedih sekali .... Mama cuma pengen kamu kayak dulu. Bahagia dan bersinar.”“Ari bakal kembali seperti dulu. Bahagia dan bersinar dengan cara berbeda.” Senyum Ariana mengembang. “Jangan khawatir, Ma, Pa.”Danan diam. Raut mukanya tak menunjukkan ketenangan meski putrinya telah ceria seperti biasa, setelah sebelumnya muram.“Apakah kamu tetap baik-baik saja jika mendengar kabar Dokter Salman menikahi wanita lain?” Lelaki itu memastikan sambil memandang pu
Zakki memanggil sopir kantor, lalu meminta diantar ke Mutiara Hospital. Begitu tiba di rumah sakit tersebut, ia bergegas menuju ruangan direktur. Ada papan berukirkan nama Dokter Salman di bawah tulisan direktur utama rumah sakit Mutiara. Zakki hendak menerobos masuk, tapi dua orang satpam menghalanginya. “Kalian nggak tau siapa aku?” desis Zakki.“Bikin janji dulu, Pak. Gak boleh seenaknya masuk ruangan direktur!” tegur salah satu satpam.“Aku Zakki Devandra, cucu pemilik Healthy Light yang menjalin kemitraan dengan rumah sakit ini! Kalian cari masalah kalau menghalangiku!” Zakki terpaksa menggunakan nama keluarganya untuk mengancam dua satpam itu.Kedua satpam bersitatap. Ragu-ragu.“Bisa saja kamu ngaku-ngaku! Mana mungkin cucu pemilik Healthy Light nyasar ke sini!” bantah mereka. Tatapan dua satpam tersebut jatuh ke ID card berupa gantungan kartu nama yang terkalung di leher Zakki.“Heh, kamu cuma sekretaris biasa di Healthy Light. Gak punya kapasitas buat ketemu presdir rumah
Sesosok bayi gemuk dengan kulit seputih telur rebus dikupas, terkekeh menampilkan deretan gusi merah saat menyaksikan ayahnya mendekat. Sepasang lengannya terulur, minta digendong.Wajah keruh Gavin berubah cerah begitu melihat anaknya. Ia mengangkat Ezra, lalu menciumi pipi gembilnya. Sepasang mata bulat kehijauan milik Ezra, tampak jernih dan berkilauan, dipenuhi cahaya kegembiraan. Bayi bergelar bakpao itu tertawa-tawa geli ketika lehernya dicium gemas. “Jangan diajak main dulu. Bakpao baru selesai makan. Nanti muntah,” tegur Prisha. “Yaudah, kalo gitu ngajak maen ibunya aja.” Gavin melirik sang istri penuh arti.Prisha tak acuh. Ia bertanya, “Kok, pulang? Ada yang ketinggalan?”“Hari ini jadwal imunisasi, kan? Aku mau ngantar kalian.” Mata Prisha membulat. “Sha dan Bakpao bisa berangkat sendiri. Dianter Mbak Noni.” Prisha menyebutkan nama sopir pribadi wanita yang direkrut Gavin untuk mengantarnya ke mana-mana.“Bayi kita biasanya diimunisasi di rumah. Dokter spesialis anak ya
Alif mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang dan cenderung santai. Ada bayi ahli waris Devandra yang berharga di mobilnya. Alif tak berani ambil risiko, walau mobil meluncur di jalur tol bebas hambatan.Prisha berterima kasih dalam hati karena Alif melambatkan laju mobilnya. Sopir sekaligus teman sekolahnya di masa lalu itu, cepat tanggap serta sangat memperhatikan penumpangnya. Bayi Ezra jarang naik mobil. Prisha khawatir bayinya kaget dan kurang nyaman kalau mobil terlalu cepat.Prisha bersandar di dinding empuk jok mobil bersama dedek bayi yang menyedot ASI, dalam gendongannya. Sementara Gavin masih menerima telepon. Kening lelaki itu berkerut.Baru lima menit, Ezra yang kekenyangan, langsung tertidur pulas. “Ada apa?” Prisha bertanya, begitu Gavin menonaktifkan layar ponselnya. “Humas dan tim IT Healthy Light mendeteksi unggahan video netizen pagi ini. Zakki memaksa masuk ruangan presdir Mutiara Hospital. Gosipnya, sepupuku yang menyebalkan itu, melabrak Dokter Salman ....”P
Setibanya di poliklinik anak, Dokter Ariana menyambut Prisha dengan riang. Mereka bersalaman dan cipika cipiki.Prisha memasuki ruangan yang luas. Wangi lembut khas bayi mendominasi, membangkitkan perasaan nyaman, tenang, dan aman. Dinding-dinding dilapisi wallpaper biru pastel dengan gambar-gambar lucu dan menarik. Prisha duduk di sofa empuk yang tersedia untuk para ibu yang membawa anaknya berobat.“Lama nggak ketemu. Gimana kabar papa mama Kak Ariana?” tanya Prisha. “Alhamdulillah, papa semakin membaik. Udah bisa jalan-jalan pagi. Mama juga sehat. Recovery masih sebulan lagi di gunung. Tapi mereka udah bisa aku tinggalkan. Seminggu sekali kujenguk.”“Kak Ari tinggal dimana? Kenapa nggak kembali aja ke rumah kakek nenek?”Ariana tersenyum. “Lebih mudah dan praktis tinggal di asrama rumah sakit.” Ariana menyembunyikan alasan sebenarnya. Sebagai putri dari orang yang pernah berkomplot untuk menjatuhkan perusahaan, ia khawatir, cucu-cucu Zed dan Diana mempermasalahkan keberadaannya d
“Gimana caraku menyelesaikannya?” Ariana kebingungan.Prisha melayangkan tatapan iba ke arah sepupu Gavin itu. Usia Ariana lebih tua darinya, pendidikan pun jauh lebih tinggi. Prisha ingat, dokter spesialis anak yang cantik itu pernah bercerita tentang masa remajanya yang dihabiskan di belakang meja belajar. Kata Gavin, Ariana memiliki IQ setara astronot. Pendekatan terhadap anak-anak juga sangat bagus dan luwes. Patut diacungi jempol. Sayang sekali, emotional quotion atau EQ-nya soal cinta menyedihkan. Sepuluh tahun mengejar cinta, berakhir kesia-siaan. Ketika cinta yang dikejar tiba-tiba datang sendiri, Ariana malah menolaknya. Prisha menganggap, Ariana belum memahami suasana hatinya sendiri. “Kenapa juga kamu tolak Dokter Salman?” Suara dingin Gavin, mengandung ketidaksabaran. “Kamu buang-buang waktu!”Mata Gavin tiba-tiba menyorot tajam ke arah tiga nakes wanita yang mendampingi Ariana di poliklinik anak itu. Mereka semula memasang wajah kepo saat ikut mendengar percakapan antar
Paras Zakki memerah. Rahangnya mengeras. Ia mengepal tinju diam-diam, menahan emosi.“Bukan urusanmu.”“Aku bertanggung jawab mengontrolmu! Ingat, kakek sedang menghukummu.” Suara Gavin tegas, penuh intimidasi.Diingatkan akan pekerjaannya yang berfungsi sebagai hukuman, mata kelam Zakki menunjukkan jejak frustrasi.“Aku tak akan mengulanginya lagi.” Akhirnya ia menyahut, lemah. Keheningan menyapu sepasang sepupu itu untuk sesaat. Zakki menghela napas panjang seraya melonggarkan kepalan tangannya.“Aku hanya ingin dia tersenyum bahagia.” Pemuda itu melanjutkan ucapannya dengan nada menyerah.Gavin langsung mengerti siapa “dia” yang dimaksud Zakki.“Bukan begitu caranya.”Zakki mengangkat muka. Sebenarnya ia gengsi menunjukkan rasa ingin tahu. Namun, gejolak perasaannya lebih dominan, sehingga ia rela menekan gengsi itu.Gavin mengangkat jari telunjuk, lalu menggoyangkannya sebagai isyarat agar Zakki mendekat. Dalam situasi normal di masa lalu, Zakki tak akan sudi mendengarkan kata-k