Tepat di ruang utama. Telah hadir Beatrix Floy yang sudah diberitahu kedatangan Laurice oleh William.
"Hai, kita bertemu lagi, Nyonya Beatrix Floy."
"Kau bisa memanggilku dengan Floy!" sahut Beatrix Floy ketus.
"Ohhh, baik Floy. Kuharap kita bisa berteman dengan baik."
"Jangan harap!" Suaranya terdengar tegas bercampur ketus. Dia terus berjalan menuju ruang pribadi William.
"Floy di manakah Jill Anne?"
Namun tak ada jawaban yang terlontar. Amarah bergemuruh dalam dada Beatrix saat ini. Sedang Jill Anne dari lantai dua tengah melihat ke arah mereka. Sengaja dia tidak turun. Dari dua sudut bibirnya senyum licik mengmbang.
"Kau bisa rasakan perasaanmu saat ini, Floy. Apa kau masih bersikukuh dengan pendirianmu?"
Jill Anne kembali masuk kamar. Bergegas Sofia menghampirinya.
"Apa Nyonya tidak turun?"
Dia menggeleng.
"Untuk apa aku turun, Sofia. Hanya akan menurunkan egoku saja."
"Apa itu juga istri Tuan W
"Kenapa kau menolaknya? Anggap aku tak ada. Dan tak mengetahuinya. Lakukan semua yang ingin kau lakukan bersama William. Tapi dengan satu syarat, Sofia!" "A-apa itu, Nyonya?" "Kau harus melaporkan semua dan mengikuti apa yang aku bilang!" Sofia tertunduk kebingungan. Dia tak tahu harus menjawab apa. Di hadapannya berdiri seorang sosok wanita yang dia kagumi dan segani. "Mengapa Nyonya mempunyai pemikiran seperti itu?" Jill Anne hanya menarik napas panjang. Lalu berjalan menjauhi Sofia. Dia memandang pemandangan laut yang terlihat indah dari jendela kamarnya. "Cinta itu awalnya seindah laut biru yang aku lihat sekarang, Sofia. Ternyata aku tak menyadari jika laut itu pun rentan badai. Saat dihempaskan oleh angin dan terjangan hujan petir. Yang ada hanya sebuah ketakutan. Aku saat ini bukan takut kehilangan seseorang, Sofia. Yang paling aku takutkan kalau cintaku telah berpaling. Dan, itu telah terjadi." "Ta-tapi, Nyonya. Saya me
Gerak tangan William cepat. Menarik pinggang ramping sang istri hingga merapat ke dalam dekapannya."Lepaskan tangan kamu, William!" sentak Jill Anne.William pun membungkuk. Bibirnya menempel di telinga Jill Anne. Seraya berbisik, "Kau masih istriku! Dan, kau harus mengikuti semua apa mauku, Jill Anne!""Apa maksud kamu, William? Apa kau masih belum puas mengumpulkan para wanitamu itu?""Kenapa kau sulit mengakui kalau mereka juga istriku, Jill?""Mau ... sampai kapan kau begini?!" sentak Jill Anne lantang.Sorot matanya nyalang. Menatap sepasang mata elang milik William.Hembusan napasnya terdengar kencang. Menahan gelora amarah yang terpendam.Dan tanpa terasa, Jill Anne tak mampu menahan air matanya menetes di hadapan William. Masih dalam dekapan William. Jemari tangannya mengusap lembut pipi Jill Anne."Kau masih menangis untukku?""Ini tangisan kebencian untukmu!" teriak Jill Anne, seraya mendorong tubuh William kua
William berjalan menuju kamar pribadinya. Yang berada bersebelahan dengan ruang kerja. Sejenak dia menghempaskan tubuhnya yang jangkung dan kekar. Perlahan William melepaskan kemaja dan jas.Terlihat dada yang bidang berbulu cukup lebat. Saat hendak melepas celana. Seseorang memeluknya dari arah belakang. Membuat William terkejut."Laurice?"William tampak terkejut dengan kehadiran wanita cantik itu."Aku rindu kamu William. Kenapa kamu tak mendatangi aku ke kamar?""Baru saja aku datang.""Tapi, aku lihat kamu ada di kamar Jill Anne. Iya 'kan?""Kamu cemburu?""Iya, William. Aku seorang yang posesif. Kamu 'kan tau itu."Lelaki tampan itu berbalik. Dia memegang kedua bahu Laurice. Menatapnya tajam tanpa jeda."Dari awal aku sudah mengatakan semua padamu Laurice. Aku tak akan pernah bisa puas hanya dengan satu wanita saja.""Kenapa baru sekarang? Kau mengumpulkan wanita di kastil kamu? Aku tahu pernika
"Benar-benar sialan kau JIll Anne!" gerutu Beatrix Floy.Dengan langkah kesal akhirnya dia mengikuti mereka. Di ruangan yang mewah dan megah. Para pelayan sudah siap berdiri di posisinya masing-masing."Dia, juga kau ajak duduk satu meja?" tanya Beatrix masih tak percaya dengan apa yang telah diciptakan oleh Jill Anne.Wanita itu hanya tersenyum dingin, membalas pertanyaannya. Tak lama kemudian. Terdengar derap langkah yang keras menuju arah ruangan ini.Tepat di ambang pintu. Tampak William dan Laurice berdiri mengarahkan pandangannya pada mereka satu persatu."Mari kita duduk Laurice!""Ayo, Sayang."Kemesraan yang mereka tunjukkan membuat Jill Anne membuang muka. Sedangkan Beatrix terus menatap tajam pada Laurice yang juga memandang ke arahnya.William terperanjat dengan kehadiran Sofia. Yang duduk bersebalahan Jill Anne. Sorot matanya tajam tanpa jeda memandangi Sofia yang terlihat sedikit berubah. Cantik dan masih mu
"Apa William akan tidur sama kamu?""Pastinya dong, Floy. Kalau kamu mau, kita bisa main bertiga.""Apaaaa?!""Kenapa kamu kaget? Memangnya kamu belum pernah tahu? Atau, pura-pura enggak tahu?"Lalu Laurice berjalan mendekati Beatrix yang masih terpaku di tempatnya. Dan berbisik,"Kita bisa bermain threesome. Mau ikut?" Laurice mempermainkan sebelah mata yang mengerling ke arah Beatrix."William mau?""Pasti lah akhirnya mau."Tanpa banyak bicara lagi. Laurice menarik pergelangan tangan Beatrix yang masih terbengong."Ayo!"Keduanya menaiki anak tangga,. menuju kamar Laurice."Aku di kamar kamu?""Iya. Lepas gaun kamu itu. Dan, pakai baju tidur kamu. Kamu akan tidur di sini sampai William datang. Bagaimana?""Sepertinya ide kamu sangat menarik, Lau. Kau ternyata sangat mahir juga di ranjang."Satu jam berlalu. Beatrix dan Laurice masih menunggu kedatangan 'suami' mereka. Tampak
"Aku tak mau bila Nyonya Jill Anne mengetahuinya. Aku tak mau melukai perasaan dia."William menutupkan telunjuknya di bibir Sofia lembut. Lalu memagut bibir Sofia dengan liar."Hentikan, Tuan!""Kenapa?""Saya tak mau jika akan dimusuhi oleh ketiga istri Tuan. Saya tak sanggup kalau harus adu mulut dengan mereka.""Kenapa kau masih memikirkan mereka? Harusnya yang ada dalam pikiranmu cuman aku!""Ta-tapi, Tu--"William tak memberi kesempatan pada Sofia untuk melanjutkan perkataannya. Lelaki garang itu telah membungkam mulutnya dengan bibir William.Malam ini, Sofia menyerahkan kesuciannya pada lelaki yang membuat dia tak bisa berkutik. Pesona William membuat Sofia mati kutu.Di waktu yang bersamaan. Di lantai dua, kamar Jill Anne. Ester masih berdiri tak jauh darinya."Jadi, mereka berdua tidur bersama?""Iya, Nyonya. Mungkin mereka sedang menunggu Tuan William."Lalu Jill Anneh terkekeh. Dan akhirn
Suara Jill Anne benar-benar menggoda mereka. Dia pun terus terkekeh. Saat melihat perubahan di raut wajah Beatrix dan Laurice. "Me-memangnya siapa istri yang lain?" "Sofia Malvin!" "Apaaaa?!!!!" teriak mereka berdua, seperti mengguncang seluruh kastil. Jill Anne tersenyum lebar dengan terkekeh. Dia merasa senang telah membuat mereka berdua kebakaran jenggot. Walaupun mereka tak berjenggot. Laurice langsung meninggalkan Jill Anne. Dia menuruni anak tangga menuju lantai dasar. Melihat hal itu, Beatrix berusaha mengejar. "Laurice! Tunggu dulu Lau!" Dia terus berteriak. Mencoba menghalangi niat Laurice, yang sudah terbakar api cemburu dan emosi. Laurice pun berhenti. "Kenapa kamu melarang aku?" "William sangat tak menyukai kalau ada yang mengganggu dia." "Aku tak peduli. Ini kesalahan yang telah dia lakukan!" "Ta-tapi, Lau--" Wanita cantik berambut merah itu, pergi berlalu. Beatrix hany
"Siapa dia?""Dialah akuntan yang aku ceritakan dulu. Dia seorang yang handal. Kau tak perlu ragukan pilihanku, William.""Aku tahu itu Jill," sahut William tanpa berkedip. William terus menatap lekat. Lalu Jill Anne berjalan mendekatinya dan berbisik,"Kau jangan membuat temanku takut oleh ulahmu!""Dia tak akan takut. Yang ada malah tertarik denganku.""Awas, kalau kau menggodanya."Kalimat Jill Anne penuh ancaman."Oke, Sherley. William yang akan menjelaskan semuanya. Aku tinggal keluar. Nanti setelah selesai, biar Ester mengantar kamu ke kamarku.""Baik, Jill.""Oh, ya Sherley. Aku sudah menyiapkan kamar untukmu. Bersebelahan dengan kamarku, bagaimana? Dari pada kau harus tinggal di kota.""Hemmm, boleh juga Jill tawaran kamu. Terima kasih sebelumnya."Jill Anne pun pergi berlalu meninggalkan mereka berdua."Sudah berapa lama anda berkecimpung dalam pekerjaan ini Nona Sherley?""Cukup lama