"Bang, boleh Salma ambil satu juta saja dari tabungan itu, untuk beli baju lebaran Kia dan Vita, kasihan anak kita Bang, belum punya baju lebaran," ucapku pelan dan sangat hati-hati takut jika Bang Rahmat marah dan tersinggung, tampak Bang Rahmat menoleh sebentar lalu menggeleng.
"Jaman susah begini sempat-sempatnya kau memikirkan baju lebaran, bisa makan saja sudah syukur alhamdulillah, perbanyak rasa syukur di hatimu biar tidak kesenangan dunia saja yang kau pikirkan, Salma.""Ini untuk anak kita, bukan untuk Salma, kasihan mereka Bang, lagian sudah tau susah, Abang tetap memaksakan diri ngasih THR 6 juta untuk Mamak, padahal Mamak bukanlah orang yang susah, kita ini yang susah, Bang.""Astaghfirullah al azim, istri macam apakah yang aku nikahi ini, suami ingin menunjukkan baktinya pada ibunya malah kau halang-halangi, ingat Salma! Aku ini anak lelaki Mamakku, anak lelaki itu selamanya akan tetap menjadi milik ibunya, ngasih THR 6 juta itu sudah kewajibanku sebagai seorang anak laki-laki. Masalah baju lebaran Kia dan Vita, besok aku coba cari tambahan, kau berdoa saja yang kencang, agar suamimu ini banyak rezeki.""Tapi Bang–""Sudah, jangan membantah, lebih baik kita tidur sekarang agar nanti tidak kesiangan saat sahur."Aku tidak mengerti jalan pikiran Bang Rahmat–suamiku, bukannya aku melarang dia untuk berbakti pada ibunya, tapi lihat kondisi terlebih dahulu. Gara-gara memaksakan memberi THR saat lebaran nanti sebanyak 6 juta rupiah, kami harus berhemat, yang mana setiap gajian, Bang Rahmat menyisihkan uang 5 ratus ribu untuk ditabung, dan itu terus berlangsung selama dua belas bulan hingga saat menjelang lebaran, uang yang terkumpul berjumlah 6 juta dan diberikan untuk ibunya. Karena keinginannya untuk menabung, kami harus berhemat, setelah gajian ia terlebih dahulu menyisihkan uang lima ratus ribu itu, sedangkan sisa uang dua juta lima ratus, harus aku cukup-cukupkan untuk sebulan dengan kondisi memiliki dua anak yang masih sekolah, Kia yang duduk di bangku kelas 2 SD dan Vita kelas 4 SD. "Kok banyak kali kuah sarden ini, jadi ga ada rasanya, makin lama kinerjamu sebagai seorang istri makin menurun ya, makananan kayak muntahan kucing begini kau suguhkan sama kami!" cecar Bang Rahmat saat makan sahur itu."Sengaja Bang, biar satu kaleng kecil cukup buat kita semua, aku pengen hemat, biar bisa membelikan baju lebaran buat anakku," sindirku agar ia mengerti."Haiss ... sibuk kali kau bahas baju lebaran, dah kayak mamak-mamak F* saja kau, inti dari lebaran itu mensucikan hati agar kembali fitrah, Allah tidak melihat baju baru atau tidak, yang Dia lihat hanya amal dan perbuatan kita.""Betul yang Abang katakan itu, kalau gitu, duit THR yang sudah terkumpul itu bagi dua ya Bang, tiga juta buat kami, dan tiga juta buat Mamak, kan Mamak ga perlu pakai baju lebaran baru, ini anakmu yang masih kecil ini, bajunya udah pada kekecilan semua, mereka lebih membutuhkan, sedangkan kehidupan Mamak Abang, berkecukupan di sana.""Hilang selera makanku, itu terus yang kau bahas, udahlah makanan yang kau sajikan kayak muntahan kucing, ditambah tuntunanmu yang terlalu banyak, sadar kau Salma, suamimu ini hanya satpam, bukan pejabat.""Entahlah Bang, ga ngerti aku sama jalan pikiranmu, aku tidak melarangmu untuk berbakti, tapi apa kau tidak kasihan sama anakmu ini? Abang lebih mementingkan memberi uang THR untuk Mamak hanya untuk dihamburkan begitu saja dari pada membeli gamis untuk anakmu.""Betul itu Kia! Vita! Kalian mau baju lebaran?" tanya Bang Rahmat dengan emosi. Dua gadis kecil itu mengangguk dengan takut. "Bagus! Sekarang anakku kau cuci otaknya agar menuntut baju lebaran dan aku jadi tidak berbakti sama Mamakku, istri macam apa kau, Salma! ""Lah, kok gitu bahasamu, Bang? Abang sendiri yang bertanya, mereka mengatakan 'iya', malah aku dibilang mencuci otak anakku, mereka masih kecil, anak tetangga semua udah beli baju, mereka cuma bisa diam saat ditanya kawan-kawannya sudah beli baju lebaran atau belum?""Ucapan tetangga kok didengarkan, ajari anak kita untuk hidup sederhana dan mensyukuri apa yang ada, kalau tetangga beli mobil? Kau menuntut minta belikan mobil, gitu? Bisa mati berdiri aku lama-lama sama tuntunan mu itu, bikin pecah kepalaku."Ya Allah, geram sekali mendengar ucapan Bang Rahmat ini, entah ajaran mana yang ia anut, dia berkata kepalanya mau pecah, aku malah sudah lama rasanya kepala ini mau meledak karena sikapnya yang demi untuk menabung untuk THR ibunya, kami harus super irit, jika aku mengeluh, Bang Rahmat selalu berkata kalau aku istri yang tidak pandai bersyukur dan lain sebagainya. ***Siang itu udara begitu terik, Kia dan Vita lebih memilih tidur siang setelah pulang mengaji di mushola dekat rumah, sedangkan aku sedari tadi tangan ini sibuk memainkan ponsel, bukan bermain sosmed atau game, tapi sedang memposting jualan baju temanku, ya, aku ikut memasarkan jualan pakaian seorang teman, jika ada yang laku, aku mendapatkan fee sepuluh ribu rupiah per 1 pcs pakaian, lumayan buat tambah-tambahan, saat sedang asik promosi, tanpa sengaja mata ini menangkap status adik iparku yang bernama Yuni, statusnya berhasil membuat hati ini panas dingin. (Alhamdulillah, dua stel baju lebaran dibelikan Mamak, untuk cucu kesayangannya, total baju Ayumi sudah lima pasang, semangat terus puasanya Ayumi, gadis sholehanya Mamah.) Hah? Mertua membelikan anaknya Yuni baju lebaran? Sedangkan anakku harus berlapang dada memakai baju yang lama karena ayah mereka lebih mementingkan ibunya daripada anak dan istrinya, segera aku screenshoot status Yuni dan aku kirim ke Bang Rahmat yang sedang bekerja di sebuah Bank sebagai satuan keamanan, setelah terkirim dan dibaca, gegas tangan ini memencet tombol panggil. "Hhmm, apa?" jawab suamiku malas-malasan di ujung telepon. "Waalaikum salam, ucapkan salam, Bang," protesku"Assalamualaikum, apa Salma? Abang lagi sibuk ini!""Abang sudah lihat kan? Mamak membelikan baju lebaran untuk anaknya Yuni.""Trus? Masalahnya apa?" "Ya masalah buat ku Bang! Anaknya Yuni dibelikan, tapi anakku enggak, padahal sama-sama cucunya dan kau malah lebih mementingkan ngasi THR 6 juta daripada membelikan anakmu baju, bisa kan Bang uangnya bagi dua, aku rasa 3 juta cukup untuk THR mamak, dan tiga juta lagi buat Vita dan Kia.""Ga dirumah, ga di kantor, itu terus yang kau bahas, muak aku Salma! Hilangkan rasa iri di hatimu itu, mentang-mentang Mamakku membelikan baju untuk anaknya si Yuni, langsung iri lah kau, mumpung puasa banyak-banyak kau istighfar biar sembuh penyakit hatimu itu, aku ga mau dengar lagi kau bahas uang THR yang mau aku kasi buat Mamakku, surgaku ada di telapak kakinya, mau aku kasi seluruh hartaku pun, ga akan bisa membalas semua jasa Mamakku kepadaku yang telah melahirkan dan membesarkan aku.""Bukan begitu, Bang, cuma sebagai suami, adillah sedikit.""Sudahlah Salma, jangan bahas lagi, aku lagi kerja," ucap Bang Rahmat lalu sambungan telepon dimatikan olehnya. Jengkel? Sudah pasti.Kembali aku bermain sosial media untuk menghilangkan rasa kesal di hati ini, dan tanpa sengaja aku melihat Story ibu mertua yang sedang berbelanja di sebuah Mall, jujur hati ini panas melihatnya, tanpa pikir panjang, segera aku membuka celengan ayam di atas lemari dan membangunkan Vita dan Kia agar segera bersiap karena aku ingin membawa mereka berbelanja baju lebaran."Mau kemana kita, Bunda?" tanya Vita, si sulungku. "Cuci muka lalu ganti pakaian, bangunin Kia juga ya Nak, kita ke pajak central, sekarang. Beli baju lebaran. Vita yang tadi bertanya dengan iris yang sedikit memicing karena sedang tidur siang, kini iris jernih gadis sepuluh tahun itu membulat dengan sempurna, seolah tidak percaya dengan apa yang ia dengar, karena tadi subuh ia mendengar sendiri kalau ayahnya tidak berniat membelikan mereka baju lebarang. "Betul ya Bunda? Kita mau beli baju lebaran?" tanyanya lagi meyakinkan seolah tidak percaya dengan apa yang ia dengar, sepertinya keinginannya untuk membeli baju lebarang sudah ia kubur dalam-dalam saat subuh itu dan kini harapan itu muncul sehingga bibir-bibir mungil gadis kecilku melengkung membentuk sebuah senyuman yang bahagia, bagaimana tidak bahagia aku melihatnya. Sembari menunggu Vita dan Kia cuci muka dan berganti pakaian, gegas aku mengambil kotak celengen yang selama ini tempat Bang Rahmat menabung untuk THR Mamaknya,
Aku terpaksa menutup kedua telinga ini karena mendengar suara teriakan Bang Rahmat yang menggelegar, mungkin tetangga kiri kanan dapat mendengar suara teriakannya, Bang Rahmat pun berjalan tergesa ke arah kamar, lalu kembali terdengar teriakannya. "Istri dajal kau, Salma! Sini Kau!"Aku berusaha tetap tenang walau tidak dapat dipungkiri jantung ini ikut bertalu-talu, bismillah saja. "Apa, Bang?""Apa, kau bilang? Apa? Dasar gila kau Salma! Bisa-bisanya kau mengambil isi celengan untuk Mamakku, istri durhaka kau! Ga akan kau mencium wangi surga! Dajal kau, Salma!" "Kau lah yang dajal, Bang! Lebih kau pentingkan Mamak mu ketimbang anak dan istrimu, udah capek aku sabar selama ini, Bang!""Capek kau bilang? Aku yang lebih capek punya istri macam kau, Salma! Istri ga bersyukur, istri yang terlalu banyak menuntut, untung aja aku bekerja sebagai satpam, coba kalau levelku lebih tinggi lagi, bisa-bisa korupsi aku karena tuntunan mu itu, aku ga mau tau, balikan uang itu, sekarang!" Bang R
Karena situasi yang mendesak, barang dagangan tadi aku masukan ke bawah kursi untuk sementara, karena gerakan itulah cara yang tercepat agar tidak terlihat oleh Bang Rahmat. "Loh, katanya mau pulang larut?""Ga tenang pikiranku di warung kopi itu, penasaran aku, apa aja yang kau beli tadi sampe THR untuk Mamaku langsung habis? Paling masih ada sisa kan? Sini, mana uangnya?""Udah abis, Bang," ucapku beralasan, aku tidak ingin dia tau kalau aku hendak berdagang, bisa-bisa modal dan keuntungannya, diminta sama Bang Rahmat. "Jangan bohong kau Salma, kau itu terlahir dari keluarga miskin, bukan hobimu belanja, paling kau belikan baju lebaran Kia dan Vita saja, pasti masih ada sisa, sekarang aku minta baik-baik sama mu, mana sisanya?" tanya Bang Rahmat dengan wajah mulai tegang, ini sudah pukul sepuluh malam, jika aku terus berbohong, pasti terjadi keributan dan kedua anakku yang mungkin sudah tidur di kamarnya, pasti kaget saat mendengar pertengkaran kami. Jujur aku tidak suka karena bi
"Lepaskan, Bang!""Mau jadi istri durhaka? Sudah kewajibanmu melayani suami!"Semakin aku memberontak, Bang Rahmat semakin keras memaksa, aku tau ini memang sudah kewajiban seorang istri melayani suami, tapi tidak seperti ini caranya dengan cara memaksa apalagi Bang Rahmat tidak memakai alat kontrasepsi saat ini dan aku pun baru lepas KB, sudah setahun ini aku lepas dan memakai alat kontrasepsi saja saat pencampuran kami, tapi saat ini Bang Rahmat melakukan itu semua tanpa pelindung sama sekali. "Mampus kau, Salma!" pekiknya saat ia telah selesai menuntaskan semuanya, rasanya sakit sekali hati ini, ya Allah, kenapa Bang Rahmat semakin hari semakin dzolim terhadapku, ku dorong dengan kasar tubuhnya, ia pun melempar senyum sinisnya, kegiatan ini sudah sering kami lakukan, tapi bukan dengan cara seperti ini. Tergopoh diri ini menuju kamar mandi, aku membersihkan diri yang terasa kotor dengan isakan tangis. "Jangan sok anak perawan kau, Salma. Gitu aja pake nangis, padahal sudah longga
"Oalah Tina, punya harga diri dikitlah jadi wanita, terang-terangan mengatakan kalau mau jadi istri kedua.""Ya, namanya juga usaha Kak, siapa juga yang ga mau dimanjakan suami dengan hidup berkecukupan," ucapnya sambil memilin-milin ujung rambutnya, kasihan si Tina ini, seolah-olah tidak ada lagi lelaki lain sampai minta jadi istri kedua, kalau saja dia mengetahui fakta yang sebenarnya, bisa sawan mungkin dia saat minta jadi istri kedua Bang Rahmat. "Kalau berkecukupan, mana mungkin aku dagang keliling begini, Tina, sebaiknya kau kau pikir-pikir lagi jika ingin menjadi istri kedua Bang Rahmat.""Cemburu ya Kak? Hahaha, paling Kak Salma yang ga bisa mengatur keuangan, wajar sih, kata Bang Rahmat Kak Salma ini terkejut badan, karena dulu dari keluarga miskin yang ga biasa megang duit banyak. Tapi sekarang dapat suami yang bisa memanjakan Kak Salma dengan uang, jadinya Kak Salma lupa diri." Matahari yang mulai terik membuat cuaca semakin panas, ditambah mendengar celotehan Tina yang
"Kenapa kau? Bunting kau sampe mual begitu?" tanya Bang Rahmat saat melihat wajahku yang seperti orang ingin muntah. "Nggak Bang, aku mual karena perkataan Abang itu, ya udahlah, lanjut saja makannya Bang.""Besok-besok kalau mau jualan, jangan di lingkungan ini ya, agak jauh sedikit, biar ga malu aku," ucap Bang Rahmat sambil menyomot tempe goreng. "Di lingkungan terdekat dulu Bang, baru nanti melebar ke tempat lain.""Dikasih tau suami, membangkang terus kau Salma. Kalau ku bilang agak jauh, ya agak jauh.""Makan dulu Bang, ga baik berdebat saat makan.""Kau yang ngajak berdebat, aku mana ada."Hening. Lebih baik tidak perlu aku tanggapi ucapan Bang Rahmat ini, diam dan fokus pada makanan yang terhidang di meja makan, setelah ini aku ingin ikut tarawih bersama Vita dan Kia. Ramadhan akan segera berakhir, aku tidak tau, masih dikasih umur atau tidak bertemu di ramadhan berikutnya, maka dari itu aku ingin memanfaatkan di hari-hari terakhir ramadhan ini sembari memohon dan berdoa a
Setelah berbuka, Tina, janda muda pemilik body nan aduhai itu berniat bertandang ke warung Kak Mia, hatinya masih penasaran, kenapa, Salma, istri Bang Rahmat yang merupakan lelaki incarannya itu berdagang keliling, karena setahu Tina, Rahmat tipe lelaki idaman yang selalu memanjakan dan setia pada istri, belum lagi tampangnya yang rupawan dengan postur tubuh yang gagah. Tidak jarang Tina selalu membayangkan yang tidak-tidak saat melihat Rahmat memakai seragam satpam yang pres body, panas dingin rasa hati Tina melihatnya. "Kak, Bang Rahmat sudah kesini," tanya Tina saat sudah sampai di warung Kak Miah. "Ngapain kau nanya si Rahmat?""Kayak ga tau aja lah Kak Mia ini, terpesona aku sama Bang Rahmat.""Kok ada ya, terpesona sama laki orang.""Cinta itu tidak memandang status Kak, namanya juga terpesona ya terpesona, Bang Rahmat sangat beda dengan mantan suamiku yang kasar itu, aku dulu abis dipukulin Bang Zali, suka mabuk, judi dan main perempuan, yang buat aku nelangsa, dia ga pernah
Di saat diri ini dalam keadaan bingung bagaimana caranya mendapatkan uang enam juta, aku masuk ke dalam kamar membuka lemari untuk melihat apa ada sesuatu yang bisa dijual untuk mengembalikan uang yang telah aku ambil, sibuk tangan ini membolak balik baju dalam lemari, apalah yang hendak dijual jika yang tersimpan hanya baju-baju lama, perhiasan tidak punya, cincin kawin sudah terjual untuk biaya lahiran Vita, sedangkan cincin kawin Bang Rahmat terjual untuk biaya lahiran Kia, kota perhiasan isinya hanya bros jilbab harga sepuluh ribuan dan jarum pentul, ya Allah, kenapa aku bisa jadi sekalut ini dengan ancaman Bang Rahmat. Percuma aku bernegosiasi dengan Bang Rahmat, dia pasti tidak mau mendengarkan, ngasi THR enam juta untuk mamaknya, sudah harga mati yang tidak bisa ditawar, teringat lagi postingan Yuni–adik iparku yang anaknya dibelikan baju lebaran, teringat juga sama postingan Bu Mega–mertuaku yang sedang belanja, apa aku telepon saja mertuaku ya, cerita padanya tentang kesusa