"Bu Mega, sebaiknya menantu Ibu dibawa ke puskesmas," ucap seorang Ibu. "Betul Bu, biar diperiksa lebih lanjut, takutnya ada cedera." Pak Kades juga ikut memberi usul. "Oh, tidak perlu Pak Kades, saya akan membawa anak saya ke rumah sakit colombia Medan, anak saya harus dapat perawatan yang terbaik, tidak levellah hanya ke puskesma, ayo Salma, kita ke rumah, nanti naik mobil si Burhan kita ke RS, Vita, Kia, ayo ke rumah nenek.""Mak, tidak Mak, maafkan Salma, kali ini Salma harus bertindak tegas, Bang Rahmat sudah kelewatan.""Apa maksudmu, Salma?""Salma harus buat laporan, ini sudah kekerasan.""Kekerasan kepala otak, kau.""Diam kau, Rahmat!" sentak Bu Mega yang semakin geram dengan tingkah bodohnya Rahmat. "Mari Bu, kalau mau ke kantor polisi, saya antarkan," ucap salah seorang pria yang merasa jengah melihat Rahmat yang berkata kasar pada istrinya. "Ini sebenarnya bagaimana ceritanya, kita berkumpul dulu di kantor kepala desa, kita bicarakan." Pak kades memberi usul. "Boleh
Suara token listrik benar-benar mengganggu, tetapi Salma abai karena sebentar lagi ia akan berangkat ke rumah orang tuanya yang ada di Belawan. "Berapa hari kita menginap di rumah Nenek, Bun?" tanya Vita saat Salma memasukkan baju dagangannya ke dalam plastik besar, Salma ingin berjualan di sana sekalian hendak menghindar dengan Rahmat untuk beberapa saat. "Lima hari.""Berarti kita lebarang di rumah Nenek Belawan? Enggak di Binjai, Mak?" Gadis sepuluh tahun itu bertanya lagi. Salma diam sebentar, sangking banyaknya pikiran yang berkelebat di kepalanya, ia lupa kalau lima hari lagi akan lebaran, kedua orang tuanya pasti heran dan bertanya, kenapa tidak lebaran bersama Rahmat, Salma membuang nafas kasa dan berpikir sejenak, masalah itu, nanti saja dipikirkan, yang penting untuk saat ini, ia tidak ingin bertemu dulu dengan sang suami yang sama sekali tidak menghargainya. "Jangan banyak tanya dulu, Vita. Cepat masukan baju-bajumu, buku pelajaran, bantuin juga adekmu, gerak cepat, Vit
"Alamak, kok kau pulaklah di sini, Tina!""Kenapa rupanya? Bukannya semalam kita udah wik-wik, mantab kali Abang, pengen lagi Tina, Bang. Udah lama taman kecil Tina ini gersang, baru semalam lah Abang siram dengan hot nya.""Jadi? Yang semalam itu, kau?" tanya Rahmat dengan mata yang membeliak, Tina mengulas sesambit senyum nakal sambil mengangguk. "Iyah, Abwang, itu Tinah," ucapnya dengan suara dibuat mendayu dan menggoda. "Allahuakbar, keluar kau, Tina!""Eh, ga bisa gitu lah, Abang udah kasi Tina enak semalam, Abang juga keenakan sama barang Tina, mana boleh main usir-usir aja." Tina tidak mau beranjak dari tempat tidur terebut, Rahmat mengusap wajahnya dengan kasar lalu berdiri memakai pakaiannya dan melempar pakaian Tina ke tempat tidur, agar wanita yang masih tiduran dengan pose menggoda itu segera mengenakan pakaiannya. "Keluar kau, Tina, aku mau berangkat kerja, ingat ya, kejadian ini jangan sampai ada yang tau, terutama Salma, ini sebuah insiden.""Kau Tina, pengen? Macam
"Ya Allah," ucap Salma lirih merasai sakit di hatinya, ia bagai di persimpangan yang tidak tau kemana harus menuju. "Bunda," panggil Vita dan Kia, gegas ia melap air mata dengan ujung jilbab instan yang sedang ia kenakan lalu menoleh ke arah kedua anaknya seraya mengulas senyum. Dua bocah itu segera naik ke atas sepeda motor supra tahun lama milik Salma. Wanita yang dirundung rasa sedih itu diam sebentar dan berpikir, kemana ia harus pergi, apakah ke rumah Rahmat? Atau ke kontrakan orang tuanya, kembali tetesan bening mengalir, ia menarik nafas untuk sekedar melegakan rasa sesak di dada dan Salma memutuskan untuk kembali ke Belawan, kalau sudah sampai di sana, tidak mungkin orang tuanya mengusir, apalagi pakaiannya dan kedua anaknya ada di sana. Di tempat lain. Tina sepanjang hari bersenandung dengan riang, wanita berbadan semok itu merasa senang karena berhasil tidur dengan Rahmat, lelaki yang selalu ada dalam fantasinya, Rahmat yang berbadan tegap dengan wajah yang rupawan, mem
"Jangan harap kita akan mendapatkan anak yang shaleh dan Shalehah, kalau orang orang tuanya sendiri tidak mempunyai kepribadian yang baik dan berakhlakul karimah”, tutur Rahmat lagi sambil melirik Salma. " Masya Allah, sungguh luar biasa menantu Bapak ini," ucap Pak Nurdin dengan kagumnya, yang semakin membuat Rahmat membusungkan dada jumawa. Pak Nurdin semakin yakin, jika Rahmat ini memanglah sosok suami idaman dunia akhirat. "Betapa beruntungnya kau Salma, mendapatkan suami seperti Nak Rahmat ini.""Ya Allah Pak, sudah cukup!" Salam memekik seraya menutup kedua telinganya sebagai protesnya pada bapaknya yang terus-terusan memuji Rahmat yang sudah menghancurkan mentalnya sedemikian rupa. "Nah … lihatlah Pak, beginilah memang si Salma kalau dinasehati, tapi saya tetap sabar, tetap menyayangi dia sepenuh hati dan nurani saya. Dek, janganlah bertingkah seperti itu di depan orang tuamu, mereka sudah sepuh, jangan membuat malu mereka dan menambah beban pikiran orang tua, Sayang," ujar
Salma diam mematung, suara itu memang samar, ditambah suara erangan seorang wanita yang seperti ditahan-tahan, tapi Salma tau kalau itu suara manusia yang sedang melakukan adegan dewasa dan itu di kamar sebelah, tungkai kaki Salma terasa lemas, apa mungkin, Bang Rahmat? Ah, rasanya tidak mungkin, karena lelaki yang masih berstatus suaminya itu biasanya setia, yang Salma komplain kan selama ini ya karena zalim pada istri mengenai nafkah plus lisanya yang kasar dan menyakiti, kalau untuk setia, Rahmat bisa dikatakan setia. "Abwaang …." Samar Salma menangkap suara itu, tapi seperti ada yang membekap agar tidak terdengar, Salma memberanikan diri melangkah keluar, jantungnya bertalu berdegup kencang, suara ranjang berderit masih terdengar di indera pendengaran Salma, dengan tangan gemetar, ia mengangkat tangan hendak membuka handle pintu, ternyata terkunci dan suara ranjang berderit juga tidak terdengar lagi, rasa penasaran Salma semakin menggebu, ia ketuk pintu kamar karena tidak sepert
"Maksudmu apa, Tina?" Salma menatap Tina, wanita yang sedang mengenakan baju daster bermotif dengan lengan you can see itu malah tersenyum sinis. "Aku kasihan aja sama Vita dan Kia, punya ibu pelitnya luar biasa, pantesan anak-anak Kak Salma kurus cungkring kayak ga pernah diurus.""Ga usah heboh mengurusi hidup orang lain lah Tina, urus hidup masing-masing aja.""Ya, namanya juga kita tinggal di Indonesia, wajarlah kita saling kritik, itu tandanya aku peduli, kalau ga bisa ngurus suami sama anak, mending Kak Salma mundur, masih banyak perempuan yang jauh lebih bagus dari Kak Salma yang bisa mengurus keuangan dalam rumah tangga.""Nampak-nampaknya, ngebet kali kau pengen jadi istri Bang Rahmat, iya?" tanya Salma menelisik. "Jangan jadi pelakor kau, Tina. Hadeh, gawat kampung kita ini kalau ada pelakor," ucap Bu Tiur yang sedari tadi memang sudah ada di warung sayur itu, ibu-ibu yang lain pun ikut menatap sinis pada Tina. "Kalian ini, dikit-dikit main tuduh saja, ga ada rasa keped
Ditatap seperti itu membuat Salma merasa kikuk. "Mamak, udah, sembuh?" "Aku langsung saja pada intinya ya Salma, dosa apa keluargaku sama mu sampai tega kali kau melaporkan Rahmat ke polisi? Dosa apa?""Mak, Salma dipukuli Mak, di pinggir jalan, maksud Salma biar Bang Rahmat ga ngulangi lagi perbuatannya.""Alaaaah, ga mungkin si Rahmat mukulin kau, kalau kau ga durhaka sama suami.""Selama ini Salma ga pernah durhaka, Mak.""Mana ada maling teriak maling, kau aja ga sadar selama ini udah jadi istri durhaka kau halangi-halangi anakku biar ga berbakti samaku, apa ga durhaka itu, namanya?" cecar Bu Mega sambil menunjuk-nunjuk Salma. "Mak, sudah berulang kali Salma bilang, hidup kami pas-pasan Mak, tapi mulai sekarang, Salma ga akan menghalang-halangi lagi, mau ngasi enam juta, sepuluh juta sekalipun, ga akan Salma halang-halangi, tapi, dahulukan dulu nafkah istri dan anak-anaknya.'"Pengajian di mana kau selama ini? Ajaran sesat itu, makanya kau punya otak pintar dikit, punya hp jan