Share

Bab 7

Setelah lelah seharian bergelut dengan tumpukan dokumen di kantor, dengan terpaksa pemuda tampan itu datang ke kediaman Rukmini. Wanita renta itu yang memintanya datang ke sana, untuk membicarakan tanggal pasti pernikahan dirinya dengan Zakia.

Hal yang paling dihindari dalam hidupnya adalah pernikahan. Meskipun sudah memiliki kekasih, sungguh dalam hati Arga tak sekali pun tercetus ingin menikah. Pemuda berhidung bangir itu turun dari mobil Alphard miliknya, setelah melalui hutan pinus demi menemui Rukmini satu jam lamanya.

Sepanjang perjalanan, pemuda itu merasa ada yang janggal. Sekelebat bayangan putih mengikutinya dari belakang. Seiring dengan langkah lebarnya bau dupa dan melati menguar secara bersamaan. Merasa dejavu, Arga pun bergidik bahu. Mungkin hanya perasaannya saja, begitu pikirnya.

Pemuda itu memasuki rumah mewah bertingkat dua, Arga menatap kagum luasnya rumah itu. Banyak barang-barang mewah dan antik menyapa mata. Seperti guci, lampu gantung, piring-piring keramik raksasa dan masih banyak barang antik lainnya.

Karena semalam tidak sempat memperhatikan rumah Rukmini, mata elang itu memindai sekeliling. Ada sebuah lukisan terpajang di dinding ruang tamu yang menarik perhatiannya. Dalam lukisan itu terdapat sebuah gubuk tua yang berdiri kokoh di tengah hutan, di dalamnya terdapat satu orang dewasa dan dua orang bocah yang saling berpelukan.

Pemuda itu tidak menampik bahwa lukisan itu sangat indah. Saat asyik-asyiknya menatap lukisan itu, seketika bulu kuduknya meremang seiring dengan embusan angin dingin menyapa kulit. Arga mengusap tengkuk belakang lehernya, serasa ada yang membelai dengan lembut di belakang sana.

Ditatapnya lekat lukisan itu, seperti ada yang bergerak di sana. Arga mengucek matanya, memastikan bahwa ia hanya salah lihat. Dalam hitungan ketiga, ada sebuah tangan yang keluar dari lukisan itu, membuat Arga terperangah dan perlahan menjauh.

“Arga, kamu sudah datang, Nak?” Rukmini tersenyum dengan raut wajah keriput. Seperti biasa, Hardi menjadi pengawal pribadi bagi wanita tua itu.

Arga berbalik menatap Rukmini, lantas mengangguk dengan senyum yang dipaksakan. “Iya, Nek,” jawabnya singkat seraya mengusap tengkuk leher yang basah oleh keringat. 'Apa-apaan tadi? Apakah aku sedang berhalusinasi?' Arga bergelut dengan pikirannya sendiri.

“Arga, apakah kamu baik-baik saja?” tanya Rukmini, mengguncang lengan Arga pelan. Pemuda itu tampak melamun, seperti ada beban berat yang dipikulnya.

“Oh! Tidak. Sepertinya saya sedikit lelah karena pekerjaan di kantor. Ya, saya pasti lelah,” ucap Arga manggut-manggut. Pemuda itu berusaha meyakinkan dirinya sendiri, bahwa tidak terjadi apa-apa tadi. Ditatapnya kembali lukisan itu, memang tidak ada apa-apa. Arga semakin yakin bahwa dirinya hanya berhalusinasi saja. 

Meskipun raut wajahnya tampak tenang, tetapi dalam hati ia sungguh tegang. Dalam hidupnya jarang sekali menemukan hal-hal di luar nalar. Bisa dibilang ini kali pertama dalam sejarah hidupnya setelah dewasa. Tampak Arga memijit pangkal hidungnya, ia merasa pusing jika memikirkan semuanya dengan logika. 

Rukmini berdeham karena tidak ingin membuat pemuda di hadapannya curiga. “Duduk dulu, Nak. Kamu pasti lelah,” titahnya.

Pemuda tampan itu mengangguk patuh, lantas menjatuhkan bobot tubuhnya di atas sofa di ruang tamu itu. Dia menengadah menatap langit-langit dengan kepala bersandar pada sofa, tampak lampu gantung mewah menyapa mata. Pemuda itu sejenak memejam, bulu mata lentik dengan alis tebal menghiasi wajah pemuda itu.

Di dalam kamar, tampak Zakia duduk bersandar pada ranjang. Decit ranjang terdengar saat Murni turut menjatuhkan bobot tubuhnya di tepian. Pandangan gadis remaja itu terpaku pada dinding kaca di sebelah sana, ada sesuatu yang membuat bibirnya kelu. 

“Sayang, tadi kata Bi Ijah kamu menjerit. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu ditemukan tergeletak pingsan di dalam ruangan itu?” cecar Murni, dengan raut wajah ditekuk. 

Zakia tidak menjawab. Gadis itu bungkam seribu bahasa. Tangannya menjulur, menunjuk cermin usang di pojok ruang belajar. Dia ingin berucap ada sesosok wanita di dalam sana, tetapi ia tidak dapat berkata-kata.  Bibirnya benar-benar kelu.

Murni menautkan keningnya, mata indah itu melihat lurus ke arah jemari telunjuk putrinya. Dengan sedikit terperangah, wanita itu kembali menatap Zakia. “Apakah kamu ... baru saja melihat seorang wanita bergaun putih?” tanyanya memastikan.

Zakia mengangguk dengan mata berembun. Gadis itu masih syok. Dalam hati mulai bertanya-tanya, ada apa dengan rumah ini? Siapa Amanda? Kenapa perempuan itu sempat hadir dalam mimpiku? Pikirannya semakin berkecamuk.

“Apakah kamu mengetahui sesuatu tentang sosok itu?” Murni bertanya dengan seraut gelisah. Jemari tangannya diremas kuat, bermandikan keringat. 

Zakia ingin mengangguk, tetapi tiba-tiba saja kepalanya terasa kaku. Perlahan, gadis itu menggeleng pelan. Semua yang terjadi benar-benar di luar kendali. 

“Em ... ya, sudah. Bunda ke bawah dulu, ya? Bunda dengar nenek memanggil Arga untuk datang hari ini. Kamu istirahatlah, jaga diri baik-baik,” pesannya seraya mengembuskan napas secara perlahan. Tangan Murni mengelus lembut surai hitam Zakia yang terlihat semrawut, kemudian mengecup kening putrinya dengan lembut. 

Zakia merasakan benda kenyal itu terasa dingin menyapa kulit. Mata gadis itu terpejam, merasakan besarnya kasih sayang sang bunda terhadap dirinya. Ia tidak menampik, bahwa Murni adalah ibu yang baik. Sejenak, gadis itu hanyut dalam angannya tentang masa-masa di mana sang bunda akan membela, saat Rukmini dan Hardi menghakiminya. Ketika terjatuh, Murni selalu ada untuk membasuh lukanya. Tanpa terasa, air mata Zakia menetes.

Murni sudah hilang ditelan pintu. Zakia kembali pada kenyataan, bahwa tinggal ia sendiri di kamarnya. Gadis itu menelan saliva dengan kepayahan. Pandangannya tidak bisa lepas dari dinding kaca transparan itu. Ia merasa, seperti ada mata yang mengawasinya di balik buku-buku yang berjejer rapi. Tubuh gadis itu beringsut, kepalanya bersembunyi di balik selimut.

Tak, tak, tak.

Terdengar suara langkah sepatu mendekat. Di bawah selimut pastel yang membungkus tubuhnya, Zakia gemetaran menahan takut. “Dia datang lagi. Dia datang lagi. Tuhan, tolong lindungi aku dan adikku. Jangan sampai dia masuk ke dalam.” Tanpa disadari, bibirnya bergumam pelan.

Gadis itu membeliak, kala selimut yang membalut tubuhnya ada yang menarik. “A-apa maumu?” gagap Zakia seraya menatap sosok wanita bergaun putih itu.

Seberkas senyum tipis menghiasi bibir pucat sosok itu. Cantik, satu kata yang keluar dari bibir Zakia. Akan tetapi, pujian itu hanya berlaku untuk sekejap saja. Sosok itu menyeringai, sorot matanya yang putih dan kosong menghunus tajam. 

Angin berembus kencang membuat jendela terbanting cukup keras. Seisi kamar tampak tunggang-langgang dalam sekejap mata. Secepat kilat sosok itu merasuki tubuh Zakia, memaksa gadis itu untuk ikut ke alamnya.

Zakia yang awalnya mengejang perlahan berjalan menuju balkon dengan tatapan kosong, kemudian menaiki pagar pembatas balkon. Ia terdiam untuk sejenak, sebelum akhirnya terjun bebas.

“Non Kia ...!” pekik Bi Ijah terkejut, mendapati nona mudanya terkapar di taman belakang.

Dengan posisi tengkurap dan tangan telentang, gadis itu memejam dengan darah mengucur deras di kepalanya setelah menghantam batu. Sesosok perempuan bergaun putih itu menyeringai sebelum akhirnya menghilang diterpa angin.

Langkah wanita tua itu tergopoh-gopoh dengan deraian air mata. Ia menarik tubuh Zakia ke dalam pelukannya. “Nyonya, Tuan, tolong Non Kia ...!” jeritnya histeris.

Murni, Rukmini, Hardi, dan Arga yang berada di ruang tamu lekas berlari menghampiri Bi Ijah yang menangis histeris. Untuk sejenak mereka terpaku, sebelum akhirnya membopong tubuh gadis itu menuju IGD.

Sementara Arga, pemuda itu mengernyit heran, ada apa dengan Zakia? Seenggan itukah dia menikah dengan dirinya, sampai nekat terjun dari lantai dua? Entah. Arga segera menepis pikirannya dan ikut mengantar gadis itu ke rumah sakit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status