Share

TWINS PUNYA CEO
TWINS PUNYA CEO
Author: Afiqahly

ZETA ARASYA

Disalah satu ruangan rumah sakit terdapat seorang wanita yang tengah terbaring lemah di brankar dengan berbagai alat yang menempel ditubuhnya sebagai penopang hidup. 

Wanita itu adalah Zeta Arasya, nama panggilannya Zeta. Dirinya bisa seperti ini dikarenakan kejadian beberapa bulan lalu yang mengakibatian dirinya koma seperti ini. Dokter sendiri sudah tak bisa memprediksi akankah Zeta bangun atau menyerah dan dia akan meninggal. 

Saat ini ada 1 dokter dan 2 suster yang tengah mengecek keadaan Zeta, suster sibuk mencatat apa yang dikatakan oleh seorang dokter itu. Sedangkan sang dokter meneliti perkembangan Zeta dari waktu ke waktu. 

"Pasien sepertinya tak mau bangun dari tidur panjangnya," ujar suster yang bernama Dea, ia sendiri sedih melihat sang pasien yang tak kunjung bangun dari tidur panjangnya. 

"Kita akan berusaha buat dia bangun, kasian masih muda banget," jawab Dokter yang bernama Dokter Farhan. 

"Pasien membuka matanya dok," Pekik suster Dea kala melihat tangan Zeta mulai bergerak disusul dengan kelopak matanya yang perlahan-lahan terbuka. 

Dokter Farhan langsung saja mengecek keadaan Zeta dengan telaten. 

"Anda bisa dengar saya?" Sayup-sayup Zeta mendengar suara itu. Jujur saja tubuhnya terasa sakit ia berusaha untuk berbicara dan membuka matanya namun tak bisa semua terasa sakit. 

Zeta pun mengangkat tangannya pelan pertanda ia mendengar suara sang dokter, untung saja dokter itu mengerti. Dokter Farhan mulai melepaskan beberapa alat yang sudah tak diperlukan Zeta dibantu oleh suster Dea. 

"Mau minum?" tanya suster Dea, Zeta pun mengangguk lemah. 

Suster Dea membantu Zeta minum lewat sedotan, walau tumpah-tumpah dibadan Zeta suster Dea dengan telaten mengelapnya. Sekarang tenggorokan Zeta sudah tak kering lagi. 

"Terimakasih," ujar Zeta lirih dan dibalas senyum manis oleh suster Dea. 

Dokter Farhan menyuntikkan obat bius supaya Zeta bisa beristirahat, dan mereka berdua pergi dari ruangannya membiarkan sang empu istirahat dengan tenang. 

***

Sudah 2 minggu Zeta dirawat dirumah sakit, beberapa teman baiknya datang bergantian menjenguk dirinya. Kejadian beberapa bulan lalu merenggut kedua orang tuanya. Kecelakaan yang membuat ia sempat koma, beruntung Tuhan masih memberinya kesempatan untuk hidup walau tidak bersama orang tuanya. 

Keadaan Zeta sudah membaik, suster Dea pun merawat dirinya dengan ikhlas. Seperti saat ini, Zeta sedang disuapi makan oleh suster Dea. Sebab tangannya yang masih cidera dan mengakibatkan ia tak bisa makan sendiri. 

"Makasih kak, udah mau ngerawat Zeta," ujar Zeta tulus, ia memang memanggil suster Dea dengan sebutan kakak. 

"Sama-sama, kakak dari dulu pingin banget punya adek dan sekarang kesampean," ujar suster Dea, ia dan Zeta hanya terpaut 4 tahun saja. 

"Zeta beruntung bisa kenal kakak," ujarnya terharu, suster Dea pun tersenyum dan memeluk hangat wanita itu.

"Zeta, boleh pulang sekarang?" tanyanya.

"Kakak panggil dokter Farhan dulu ya," pamit Suster Dea dan diangguki oleh lawan bicaranya. 

Tak lama Suster Dea datang dengan dokter Farhan, Zeta pun langsung diperiksa olehnya. 

"Kamu boleh pulang, tetapi harus istirahat. Dan tangannya jangan banyak-banyak gerak, beberapa hari pasti tanganmu akan sembuh," pesan Dokter Farhan. 

"Terimakasih dokter," ujar Zeta.

"Sama-sama, saya permisi," pamit dokter Farhan lalu pergi meninggalkan Zeta dan Suster Dea. 

Zeta pun menganti bajunya dibantu oleh Suster Dea. Sebelumnya ia sudah menghubungi salah satu temannya untuk datang kesini dan mengantarkan dirinya pulang, sebenarnya suster Dea ingin mengantarkan Zeta pulang namun dia harus mengurus beberapa pasiennya. 

Zeta sudah selesai ganti baju dan temanya pun datang, padahal ia hanya menghubungi satu orang saja tapi kenapa yang datang 4 orang. 

"Zeta akhirnya kamu pulang juga." Zeta mengelus dada kala suara cempreng temannya menyapu indra pendengarannya. 

"Kita rindu kamu Zeta," ujar Lisa, sedangkan yang bersuara cempreng tadi bernama Bia. 

"Jangan percaya, dikampus dia paling seneng kalau gibahin kamu," celetuk Bea, kembaran Bia yang sifatnya kalem. 

"Ngomongnya suka bener yah bund." Bia cengegesan. 

"Ngaku juga kamu," ujar Ais, teman Zeta yang sifatnya jail. 

"Kok berantem sih? Ayok anterin aku pulang," ucap Zeta kesal, mengapa teman-temannya ini malah berdebat. 

"Yoklah," pekik mereka bersamaan membuat suster Dea yang ada disana mengelus dada sabar melihat kelakuan orang didepannya itu. 

"Kak Dea, Zeta pamit pulang yah." Zeta memeluk suster Dea. 

"Kalau ada apa-apa hubungi kakak," Ujar suster Dea. 

Mereka menuntun Zeta keluar dari rumah sakit, salah satu dari mereka membawa mobil besar yang muat untuk 6 orang. Mereka semua adalah sahabat baik Zeta, yang menemani dirinya saat suka maupun duka.

"Bye kakak." Zeta melambaikan tangannya ke arah suster Dea yang berdiri didepan lobby rumah sakit.

Suster Dea membalas lambaian tangan wanita itu, saat mobil yang ditumpangi Zeta mulai menjauh ia meneteskan air matanya. Ia beruntung bisa kenal dengan Zeta, wanita baik dan lemah lembut, semoga ia bisa bertemu dengan Zeta dilain waktu. 

Sedangkan dimobil kini rusuh, semua teman Zeta berbicara dengan nada tak santai, kalau Zeta dia sibuk melihat kearah jalanan tak menanggapi celotehan para sahabatnya. 

"Lis anterin aku ke makam mama papa dulu ya," pinta Zeta kepada Lisa yang sedang menyetir. 

"Iya," jawab Lisa. 

Zeta memang belum mengunjungi makam kedua orang tuanya, bahkan saat mereka dimakamkan ia masih terbaring koma. Sedih rasanya jika seorang anak tak bisa melihat almarhum kedua orang tua untuk terakhir kalinya, namun ini sudah takdir dan tak ada seorang pun yang bisa melawan takdir. 

Sampailah mereka ditempat pemakaman umum, Zeta dan teman-temannya berjalan menuju makam kedua orang tua Zeta. Setelah menemukan Zeta berjongkok dan mulai menaburkan bunga yang sempat ia beli didepan tadi. 

"Ma pa maafin Zeta baru bisa kesini, tenang disana pa ma Zeta sudah mengikhlaskan kepergian kalian. Terimakasih sudah mendidik Zeta menjadi wanita kuat, Zeta akan selalu do'ain papa dan mama dari sini. Sampai ketemu disurga-Nya." Zeta mengelus batu nisan yang bertuliskan nama orang tuanya. 

"Zet, kita pulang yuk," ajak Bia. 

"Kamu harus banyak istirahat," ujar Ais. 

Zeta pun berdiri, mereka berjalan menuju mobil untuk mengantar Zeta pulang ke rumahnya. 

Sampailah mereka dirumah Zeta, mereka turun begitu juga dengan Zeta.

"Ngak mau ditemani kita, kamu sendiri loh," ujar Lisa. 

"Ngak papa lis, aku berani kok sendiri," ujar Zeta, ia tak mau merepotkan teman-temannya. 

"Yaudah kita pulang, kalau ada apa-apa hubungi kita yah," pesan Bea. 

"Iya Be," jawab Zeta. 

"Makasih udah mau nemenin aku selama di rumah sakit hiks hiks aku beruntung bisa kenal kalian." Zeta memeluk mereka satu persatu. 

"Kita kan sahabat," ujar Ais. 

"Bener tuh," celetuk Bia. 

Setelah semua teman-temannya pamit, Zeta memasuki rumah peninggalan orang tuanya. Rumahnya tak terlalu besar, hanya rumah lantai 2. Zeta adalah anak tunggal, dia tinggal disalah satu desa. Zeta sekarang tengah menempuh pendidikan kuliah dijurusan psikologi, entah ia bisa melanjutkan kuliahnya lagi atau tidak. 

Zeta sebelumnya tinggal di kota, namun saat ia masuk SMP keluarganya mengajak dirinya pindah ke Desa. Desa yang ia tempati sekarang tergolong desa yang modern. Papa Zeta didesa mempunyai usaha toko roti yang lumayan terkenal.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status