Halo! Mohon maaf kemarin tidak update ya. Aku akan coba update lebih rutin lagi. Nah, untuk tebak-tebakannya ... siapa sih yang datang di akhir bab itu?
"Astaga, Kana!"Elia tidak menyangka bahwa ia bisa membodohi istri kedua Dirga semudah ini. Ternyata memang benar, paling baik memanglah bersandiwara sebagai seorang ibu bagi sosok yang tidak pernah mendapatkan figur ibu dalam hidupnya.Buktinya, Kana jatuh dengan mudah. Elia bisa membuat perempuan itu melakukan hal-hal yang ia inginkan sampai akhirnya Kana kelelahan, meskipun Elia harus meminta beberapa orang suruhan untuk menjadi temannya dan membuat Kana makin tertekan.Namun, toh, hal tersebut berhasil.Dengan begini, Elia bisa dengan mudah menyingkirkan janin yang ada di perut Kana. Tanpa calon bayi itu, Dirga tidak akan memenuhi syarat menjadi penerus Keluarga Dewantara. Dengan sedikit dorongan lagi–"Jika terjadi sesuatu pada mereka, aku akan membuatmu membayar dengan harga yang pantas."Celakanya bagi Elia, Dirga datang saat itu bersama beberapa orang penjaga yang langsung mencengkeram kedua lengan Elia dan membawa wanita paruh baya itu menjauh, sementara Dirga mengangkat tubuh
“T-tunggu–” Kata-kata gadis berkulit putih pucat tersebut teredam oleh ciuman yang didaratkan oleh sang suami dengan tiba-tiba. Terkukung di bawah dominasi tubuh pria tersebut, Kana tidak bisa berkutik selain mencoba untuk bernapas. “Dirga–” Sekali lagi, Kana mencoba mendorong bahu suaminya tersebut. Bukan ini yang seharusnya terjadi. Semestinya, Kana dan Dirga sudah berada dalam mobil sekarang dan pergi berkencan, menonton pemutaran film di drive-in cinema seperti yang sudah mereka rencanakan sebelumnya usai pria itu selesai bertemu dengan kakeknya, kepala keluarga Dewantara. Namun, Dirga Dewantara seakan tuli, tidak peduli dengan penolakan Kana. Ia justru dengan sigap mencekal pergelangan tangan Kana dan menguncinya di atas kepala perempuan itu. Malam ini, yang Kana lihat bukanlah sosok suaminya yang senantiasa memperlakukan Kana dengan lembut dan penuh kasih. Seraut wajah itu tampak buas, dengan sorot mata sedingin es. Tubuh kokoh di atasnya tidak lagi membuat Ka
Meskipun sudah dua bulan menjadi istri kedua, Kana masih saja dihantui pertanyaan yang pada akhirnya ia jawab sendiri. "Apakah tidak apa-apa aku berada di sini?" Menjadi anak angkat sebenarnya membuat Arkana Paramita tidak berharap banyak. Ia hanya ingin menemukan pria baik, yang kemudian melamar Kana karena cinta dan membawanya pergi dari kediaman Mahendra untuk menciptakan sebuah keluarga bahagia. Seperti dalam cerita-cerita dongeng yang ia baca ketika masih kecil. Namun, ternyata sosok yang menawarkan hal tersebut adalah Dirga, pewaris utama Dewantara Group yang sudah memiliki istri. "Kamu juga harus ingat mengapa kamu menerima lamaran Dirga waktu itu, Kana," ujar sebuah suara lain di kepala Kana. Ya, itu cinta. Akan tetapi bukan hanya itu saja. Kana mengingat betapa lembut dan baiknya Dirga memperlakukan dirinya, bagaimana pria itu kemudian menyanjung tingkah remeh Kana–bahkan saat orang lain tidak pernah memperhatikannya. Dirga juga baik pada kedua oran
Kana berkedip, entah kenapa merasa ucapan Helena menusuk hatinya. Apa kakak madunya itu sedang memamerkan bahwa perhatian dari Dirga begitu besar? Selain itu, kenapa sepertinya Helena tidak sakit? Dia terdengar sehat, walau wajahnya sedikit pucat. ‘Itu ….’ Mata Kana memicing, mendapati ada yang aneh dari warna pucat bibir Helena. ‘Apa itu alas bedak?’ Ketika Kana sedang sibuk memperhatikan wajah Helena dari dekat, wanita tersebut menggenggam tangannya pelan. “Tanganmu dingin,” komentar Helena, manik hitamnya yang terlihat menenggelamkan menatap lurus ke arah Kana. “Kenapa? Takut padaku?” Kana berkedip, tersadar bahwa ia harus segera memulihkan diri dari keterkejutannya. Kala Helena meremas tangannya, dia yakin bahwa kakak madunya tersebut sebenarnya baik-baik saja. ‘Untuk apa … Helena berpura-pura sakit?’ batin Kana dalam hati, merasa sangat bingung. “Tentu tidak, Helen. Aku hanya … sedikit terkejut karena kamu mendadak berdiri dari tempat tidur. Apa kamu baik-baik
"Kamu baik-baik saja?" Mendengar pertanyaan suaminya, Kana tersenyum kecil. Ia menyukai nada khawatir yang terselip dalam suara Dirga–kekhawatiran yang sama seperti yang ia dengar ketika Helena pingsan tadi. "Aku baik-baik saja," jawab Kana. Tentu saja, mendapatkan perhatian dan perlakuan manis suaminya membuat Kana merasa lebih baik dalam waktu singkat. "Jangan khawatir." Tanpa mengatakan apa pun lagi, Dirga hanya memandang Kana yang tampil dalam balutan jubah tidur berbahan satin, menampilkan tulang selangkanya dengan jelas. Selewat beberapa saat, pria itu menyibak selimut, menyambut Kana untuk bergabung dengannya di tempat tidur. Sang istri tersenyum, lalu memeluk tubuh suaminya. Tampaknya malam ini pun, Dirga akan tidur bersamanya. "... Helena tidak apa-apa?" gumam Kana. "Kamu lihat sendiri tadi." Maksud Kana bukanlah mengenai kondisi fisik Helena, melainkan reaksi kakak madunya tersebut mengenai kabar kehamilan Kana. Meskipun, memang, respons Dirga
Seorang pria dengan kemeja putih mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang tamu, mengamati interior kediaman Dewantara dengan ekspresi muram. Bibirnya melengkung ke bawah dan ada kerutan tipis di dahi, sementara kedua tangannya berada di dalam saku celana, seakan-akan kemewahan ruangan tersebut tidak mampu menyenangkan hatinya. “Barra?” Perlahan, pria itu memutar badannya ke sumber suara ketika mendengar namanya disebut. Kala netra cokelat tersebut bertemu dengan sepasang mata hitam milik Kana, sorot mata dingin itu sejenak berubah hangat, meskipun masih tidak ada senyum di bibirnya. “Kak …,” balas Barra dengan suara rendah. Kana bisa menangkap kekecewaan dalam satu kata tersebut. Meskipun merupakan saudara angkat, hubungan Barra dan Kana baik, bahkan bisa dikatakan erat. Sejak kecil, keduanya nyaris tidak bisa dipisahkan. Barra yang lahir setahun setelah keluarga Mahendra mengadopsi Kana lebih sering menghabiskan waktunya dengan sang kakak dibanding dengan orang tua
“Barra!” Kana refleks membentak adiknya itu, membuat Barra menoleh ke arah kakaknya. Dia tidak menyangka Barra akan bersikap tidak sopan kepada Dirga. “Habis,” ucap pria yang lebih muda tersebut sembari menoleh pada Kana. Senyum miring yang tadi ia berikan pada Dirga seketika berganti dengan senyum tanpa dosa. “Rasanya aneh kalau laki-laki memanggil laki-laki lain dengan sebutan ‘kakak’.” Kana menghela napas. “Tapi, Bar–” “Sudahlah, Kana,” sela Dirga dengan suara tenangnya. Wajah pria itu masih saja dingin dan tidak terbaca. “Aku tidak masalah.” Meskipun suaminya sudah mengizinkan, tetap saja Kana merengut karena menganggap adiknya tidak sopan. Ia menyayangkan hal tersebut lantaran ini adalah pertemuan pertama Dirga dan Barra, dua pria yang Kana harapkan untuk akur ke depannya sebab keduanya adalah sosok-sosok paling berharga dalam hidup Kana. Dirga menyaksikan Kana yang tengah cemberut dan hal itu tanpa sadar mengundang senyum tipis di bibir putra pertama Keluarga Dewantara terse
“Sa-saya, Tuan?” Sasmi tergagap. Ia menunduk dalam-dalam. Sorot mata Dirga begitu tajam dan menusuk, membuatnya ciut.“Aku tidak suka mengulangi kata-kataku.” Dirga langsung berbalik dan menghampiri Kana setelahnya, tanpa memedulikan Sasmi yang membungkuk hormat sebelum undur diri, kembali ke dapur. “Sudah tidak apa-apa?” tanya pria itu kemudian sembari menyodorkan segelas air putih pada istri keduanya. Berbeda ketika ia bicara dengan Sasmi tadi, nada suara Dirga terdengar lebih lembut dan hangat. Sorot matanya juga lebih ramah.Dengan ragu, Kana menurunkan tangan yang menutupi hidung dan mulutnya sejak tadi. Perasaan mualnya menghilang begitu saja. Dengan tenang, perempuan itu meneguk air putih yang disodorkan Dirga sementara dengan tangannya yang bebas, suaminya tersebut merapikan anak rambut Kana dengan hati-hati.Tepat seperti dugaan Dirga, Sasmilah penyebab Kana merasa mual sebelumnya. Beruntung tadi Dirga mampu menghubungkan kondisi istri keduanya tersebut dengan informasi yang