"Kemudian, setelah wanita itu dicerai tiga oleh sang suami maka sang suami tidak boleh kembali lagi ke mantan istri, tidak boleh rujuk lagi ke mantan istri kecuali mantan istri sudah menikah lagi dengan laki-laki lain." Ucapan Pak Ustadz tadi pagi masih saja terngiang-ngiang ditelingaku.
Bayang wajah Amira kembali hadir menari-nari di kepalaku.
"Mas, nih aku bikin cemilan kue, coba nih dicicipinya dulu," ucapnya kemudian langsung menyuapiku kue itu dengan tangannya.
"Mas, aku punya tanaman baru, ayo lihat dulu," ajaknya sambil menggamit lenganku lalu menunjukkan tanaman-tanaman hias kesukaannya.
"Mas, terima kasih ya," jawabnya sambil tersenyum manis lalu merangkulku, setelah kuberikan sebagian gajiku padanya. Ya, hanya sebagian karena yang sebagian lagi aku pakai untuk biaya hidupku disana. Tapi dia tak pernah mengeluh tentang hal itu, Amira selalu menerimanya dan mengelola uang itu dengan baik.
"Mas, aku bikin nasi goreng lho, coba nih dimakan dulu, enak gak?" tuturnya lagi sambil menyuapiku makan.
"Hmmm, masakanmu selalu enak," aku akan menjawab seperti itu. Lalu senyuman itupun merekah dari bibirnya yang manis, memperlihatkan sebuah lesung di pipi kirinya.
"Alhamdulillah, mas sudah pulang?" pertanyaan yang selalu ia lontarkan ketika aku pulang, dia langsung menggamit lenganku dengan mesra, setelah kudaratkan ciuman di puncak kepalanya.
Tapi sekarang, aku tak bisa lagi bermanja-manja dengan istriku. Aku tak bisa bermesraan dengan istriku. Semuanya hanya tinggal kenangan. Amira, istriku yang menerima aku apa adanya. Kadang kala dia termenung, mungkin rindu mendamba seorang anak karena sudah sekian lama berumah tangga. Ya, tapi dia tak menunjukkan kesedihannya padaku, dia benar-benar menjaga perasaanku. Karena disinilah aku yang sedikit bermasalah, tapi tidak menutup kemungkinan suatu saat kami akan punya anak, jika Allah sudah menghendaki.
Aku menghela nafas panjang. Semua bayangan Amira kutepis kuat-kuat agar tak kembali hadir memenuhi kepala.
Aku melangkah dengan gontai, kujatuhkan diriku diatas sofa, di ruang televisi. Penat sekali rasanya. Aku tak bisa lagi kembali bersama Amira, walaupun bisa dia harus menikah dulu dengan orang lain. Aaarghhh ... Sialnya, kenapa aku harus mengalami ini semua?
Kupejamkan mata sebentar, dengan badan yang kusenderkan di sofa.
"Mas, ini diminum dulu teh manisnya, setidaknya bisa mengurangi rasa cemasmu, mas."
Aku terbelalak kaget, melihat Mbak Lani sudah duduk disampingku. Aku meliriknya dengan tatapan dingin, namun tak kuhiraukan ucapannya. Gara-gara dia rumah tanggaku hancur. Ah tapi, memang aku juga yang bodoh, percaya begitu saja dengan ucapannya.
Aku berlalu ke dalam. Namun baru beberapa langkah, dia mencegahku.
"Tunggu, mas!" ucapnya sambil meraih tanganku.
Aku terkesiap, segera kukibaskan tanganku dengan kasar. Apa maunya Mbak Lani ini?
"Mas? Kenapa kamu selalu mengabaikanku? Dari dulu kamu selalu saja begitu," lirihnya yang membuatku tak mengerti.
"Hah? Apa maksudmu, Mbak?"
"Mas, kamu jangan pura-pura gak tahu. Kamu pasti paham dengan perasaanku," ujar mbak Lani lagi.
Gerakannya sungguh tak terduga. Tiba-tiba saja dia memelukku dengan erat.
"Eh mbak, apa-apaan ini. Sadar dong mbak, kamu itu istri kakakku," tukasku sembari melepaskan pelukannya itu.
"Gak usah khawatir, mas. Mas'mu sedang pergi bersama Reni, ibu juga sedang tidak ada di rumah. Biarkan aku memelukmu sebentar saja," sahutnya lagi.
"Tidak!" Kudorong tubuhnya agak menjauh.
"Aku kangen sama kamu," rajuknya lagi. Entah kenapa Mbak Lani jadi seperti ini.
Glek! Aku menelan saliva, lelaki mana yang tak tergoda disuguhkan pemandangan yang tak biasa. Benar saja, sepertinya Mbak Lani sengaja memancingku. Dia memakai pakaian yang terbuka, dengan memperlihatkan belahan dadanya.
"Assalamualaikum..."
Suara salam sapa dari luar mengagetkan kami. Ya, pintu depan memang sengaja dibiarkan terbuka. Aku langsung beranjak ke kamar dan mengunci pintu. Aku terlalu pengecut, takut disalahkan lagi dan dipukuli tanpa ampun. Entahlah siapa yang datang. Tapi samar-samar kudengar suara Reni dan juga Mas Restu, terkadang mereka tertawa bersama.
***
[Mas, aku selalu iri dengan kemesraan kalian, kalau boleh memilih, mending aku saja yang jadi istrimu]
Bunyi chat wa Mbak Lani yang pernah dikirimkan kepadaku suatu hari. Aku tak pernah 'ngeh' maksudnya itu apa. Kupikir karena dia rindu pada kakakku, makanya dia mengirim chat itu padaku.
[Tunggu saja Mas Restu pulang, kan bisa mesra-mesraan] balasku waktu itu.
[Kalau sama dia mah kurang asyik, aku maunya sama kamu] balasnya lagi.
Aku tak mau ambil pusing, segera kuhapus chat itu dan tak pernah menanggapinya lagi. Barulah pesan WA'nya kemarin kutanggapi, sebuah pesan yang membuatku tersulut emosi. Foto tentang Amira dengan lelaki itu, Bian. Wajah Amira terlihat tersenyum padanya, hatiku langsung terbakar cemburu.
"Ndri, sini makan dulu. Nih mas udah beliin mie ayam favoritmu," titah Mas Restu dari balik pintu. Dia berulang kali mengetuk pintu membuat telingaku berisik.
Tak berselang lama aku bangkit, aku membuka pintu itu. Sebenarnya Mas Restu adalah kakakku tersayang, tapi entah kenapa sekarang aku jadi ikut sebal padanya karena sudah membela istrinya.
"Dek, sana ganti pakaianmu. Harusnya kamu malu pakai begitu, kan ada adik iparmu," perintah Mas Restu pada Mbak Lani.
"Iya, mas," jawabnya kemudian berlalu.
"Ayo sini, makan bareng. Sudah lama kita gak makan bersama seperti ini, kalau mas gak pulang," ajaknya lagi.
Aku hanya mengangguk.
"Habis makan, mas perlu bicara empat mata denganmu, Ndri," ujar Mas Restu lagi. Nada bicaranya cukup lembut namun begitu tegas.
Aku mengangguk lagi. Beberapa menit kemudian, ibupun datang. Tergurat lelah di wajahnya.
"Ibu habis dari mana?" tanya Mas Restu.
"Dari Budhe Narti, habis ngobrol sama Amira," sahut ibu dengan ekspresi datar.
"Bagaimana kabar Amira, Bu?" tanya Mas Restu.
"Ya, dia masih menangis. Ibu paham perasaannya, dia pasti sangat terluka karena tiba-tiba ditalak tanpa alasan yang jelas," jawab ibu sambil melirikku.
"Iya Bu, ini semua salah Andri," jawabku.
"Ya sudah, sementara jangan bahas itu dulu. Ibu makan dulu ya, tadi Restu udah beliin makanan favorit kalian," ucap Mas Restu sambil memberikan sebuah bungkusan bakso.
"Iya, terima kasih nak," jawab ibu.
Mbak Lani kembali, sudah berganti pakaian dengan yang lebih sopan. Sesekali Mbak Lani mencuri pandang ke arahku. Entahlah apa yang dia pikirkan.
***
"Ndri, sebenarnya apa yang terjadi pada kamu dan istrimu?" tanya Mas Restu dengan nada lirih.
Aku menatapnya, melihat wajah teduh kakakku. Lalu kuberikan ponselku yang berisi chat dari Mbak Lani.
"Terus kamu langsung percaya dengan ini?" tanya Mas Restu lagi.
Aku mengangguk.
"Kenapa gak kau tanyakan dulu pada istrimu atau pada ibu?"
Aku terdiam. Mas Restu mengambil nafas dalam-dalam lalu mengembuskannya secara perlahan.
"Kamu itu gak pernah berubah ya, terlalu gegabah, apa-apa langsung emosi, gak dipikir-pikir dulu."
"Iya mas, aku menyesal, sudah salah paham padanya. Hatiku hancur sekarang, aku sudah tidak bisa kembali dengan Amira."
Mas Restu terlihat mengerutkan keningnya. "Mas gak bisa bantu memperbaiki hubungan kalian, tapi mas akan coba bantu, kenapa istri mas mengirim pesan seperti itu, apa maksudnya."
Aku mengangguk.
"Ya sudah kamu yang sabar ya, dek. Jadikan ini sebagai bahan pelajaran agar kamu bisa menghargai hubungan dan tidak serta merta mengambil keputusan secara emosi," ucap Mas Restu, kemudian diapun beranjak pergi.
***
Pagi harinya, aku berpamitan untuk berangkat kerja. Begitu pula dengan Mas Restu."Ndri, mas belum sempat cari tahu. Mas ada panggilan mendadak dari kantor, makanya hari ini mas berangkat," bisiknya.
Akupun mengangguk, kami bersalaman dengan ibu.
"Hati-hati dijalan ya, nak," ungkap ibuku.
"Mas, aku duluan ya," pamitku. Segera kulajukan motorku dengan kencang, aku menuju ke rumah Budhe Narti, rumah tampak sepi, jadi aku menuju ke warungnya. Benar saja, kulihat Amira sedang membantu Budhe Narti, kebetulan dia ada di luar sedang mencuci sayuran. Aku menghampirinya.
"Dek," sapaku.
Dia terkejut melihat kedatanganku, lalu menghentikan aktivitasnya sebentar.
"Ada apa, mas?" tanyanya. Wajahnya sudah lebih tenang, tak nampak mendung di matanya.
"Apa kamu baik-baik saja?"
"Ya, mas. Seperti yang kau lihat," jawabnya.
"Kamu bekerja disini?"
"Iya mas, aku bantu-bantu budhe, kebetulan warungnya kan ramai."
Aku hanya mengangguk-angguk seperti orang bodoh. Entah apalagi yang harus kukatakan padanya, ada kecanggungan diantara kami.
"Dek, mas kangen sekali padamu," ucapku. Dia hanya menunduk.
"Mira, titip masakan ini sebentar, nak. Budhe mau ke pasar dulu!" suara teriakan dari dalam memecah kecanggungan kami.
"Iya, iya, budhe. Tunggu sebentar," jawab Amira dengan nada setengah berteriak.
"Mas, maaf, aku harus ke dalam dulu."
Dia kemudian berbalik.
"Dek, tunggu," cegahku. Dia berhenti, namun tetap membelakangiku.
"Kalau masa iddahmu selesai, bagaimana kalau mas yang mencarikan muhalil untukmu?"
Kuberanikan diri untuk mengungkapkan hal itu. Tak ada jawaban darinya, dia berlalu begitu saja tanpa sepatah kata apapun.
"Dek, mas masih ingin rujuk denganmu," gumamku dalam hati.
Air mata ini tak berhenti menitik. Kenapa Mas Andri tak menghargai perasaanku? Semudah itu mengucap kata talak dan semudah itu juga bilang mau mencarikan muhalil untukku? Apakah sebuah pernikahan tak berarti untukmu, mas? Apakah pernikahan bagimu adalah sebuah permainan?Aku menghela nafas dalam-dalam. Kuseka air mata yang berulang kali jatuh tanpa kompromi. Kenapa aku mendadak mellow begini."Beliiii...." teriak suara dari luar.Aku terkesiap, lalu menghapus air mataku dan mengecilkan nyala kompor agar masakan tetap hangat namun juga tidak gosong.Aku tergopoh-gopoh menghampiri pelanggan, seorang bapak-bapak dengan perawakan tambun, dan sebuah kacamata hitam disampirkan di kepala."Ya mau pesan apa, pak?" tanyaku sembari membawa kertas kecil dan pena untuk menuliskan pesanannya.Pria tambun itu melihatku dari ujung kaki sampai ujung kepala dengan tatapan genit dan menggoda."Pesan kamu, neng? Berapa?" ujarnya dengan kerlingan m
"Bagaimana hasilnya, Nduk?" tanya Budhe Narti ketika kami sampai."Mbak Amira hamil, Budhe," celetuk Mas Bian. Dia melirikku yang masih terdiam membisu."Bukankah ini kabar gembira? Kenapa kamu murung, Nduk?" tanya Budhe Narti lagi."Tidak apa-apa, budhe," jawabku. Sebenarnya aku khawatir dengan kehidupan anak ini selanjutnya. Apakah aku bisa menghidupi dan mendidiknya dengan baik? Selain menjadi seorang ibu, aku juga harus menjadi seorang ayah untuknya."Padahal sudah kubilang budhe, supaya Mbak Amira gak perlu khawatir masalah kebutuhan bayinya, aku bisa membantunya. Tapi dia masih saja murung," sahut Mas Bian lagi."Bian, masalahnya gak semudah itu. Wanita itu punya perasaan. Banyak yang harus dipikirkan. Bukan hanya kebutuhan fisik bayinya saja, psikisnya juga perlu. Bayi itu juga butuh kasih sayang seorang ayah. Sedangkan disini posisi Amira sedang sulit. Mungkin dia masih shock. Dia baru bercerai dengan sang suami. Bahkan mungkin suaminya pun
Hari demi hari berganti, menjalani kehamilan pertama tanpa suami rasanya nano-nano, menyedihkan. Tidak ada yang bisa menjadi sandaran hati ketika rasa lelah menanti. Meskipun Budhe Narti sudah melarangku untuk bekerja, tapi aku merasa tak enak hati. Aku memang sudah tak membantunya berjualan di warung, karena hidungku terlalu sensitif, mencium aroma masakan saja sudah membuatku mual. Jadi, aku hanya melakukan tugas rumahan yang ringan."Hueek... Hueek... Hueek..."Mendadak perutku mual-mual kembali. Apakah bawaan bayi memang seperti ini? Pusing, mual, muntah, badan meriyang tak karuan. Rasanyaaku ingin menangis saja."Sabar ya mbak, hanya itu yang bisa aku ucapkan. Oh iya, ini mbak, ada buah dan susu hamil untukmu. Biasanya ibu hamil suka yang seger-seger," tukas Mas Bian. Dia memberikan parsel berisi buah-buahan dan juga susu untuk ibu hamil."Mas, gak usah repot-repot," sahutku."Aku gak merasa direpotkan kok. Sudah tanggung jawabku," jawabnya la
Aku mulai membukakan mata, kulihat sekeliling, ruangan yang rapi, suasana hening, ada selang infus yang menancap di tanganku. Sudah kupastikan ini pasti sebuah ruang perawatan di rumah sakit. Seketika aku tersadar. Bayiku, bagaimana dengan bayiku?"Alhamdulillah mbak, kamu sudah sadar," ucap seseorang. Aku menoleh, ada Mas Bian duduk di sisi kananku yang tak kusadari kehadirannya."Bayiku, bayiku gimana, mas?" tanyaku sembari meraba perut yang masih rata."Alhamdulillah, bayi mbak gak apa-apa.""Beneran, mas? Aku gak keguguran kan?""Enggak. Nanti kalau dokter berkunjung, tanyakan langsung saja," sahut Mas Bian.Aku mengangguk. Tak berselang lama, Bu dokter dan perawat datang. Perawat memeriksa tensi darahku lalu mencatatnya."Alhamdulillah semuanya normal, besok ibu sudah boleh pulang," ucap Bu dokter."Bayi saya tidak apa-apa kan, dokter?""Alhamdulillah tidak apa-apa. Lain kali harus dijaga ya, jangan sampai jatuh lag
POV BianAku tak mengerti apa yang ada dipikiran Amira, wanita itu seringkali menangis. Membuat hati ini ikut merasa iba. Kenapa air mata itu tak kunjung kering justru semakin banyak, padahal sudah berbulan-bulan, bahkan tiap hari dia selalu menitikkan air mata.Dia terlalu melankolis. Aku paham, masalah ini terlalu berat untuknya. Diceraikan oleh sang suami dengan tuduhan selingkuh denganku, serta video dia sedang mandi dan tetiba hamil, pasti dia sangat shock menjalani semuanya. Dikucilkan oleh para tetangga, bahkan ada yang hampir melecehkannya adalah sanksi sosial yang ia dapatkan dari ulah seseorang yang tak bertanggung jawab.Sedangkan disatu sisi, sang suami, maksudku sang mantan suami seakan angkat tangan tidak mau mencari tahu siapa sebenarnya yang sudah menjebak Amira. Bahkan dia sibuk mencari pembenaran sendiri, ingin rujuk lagi dengan Amira dan meminta aku menjadi muhalilnya. Ironis bukan?Sungguh aku tak habis pikir dengan jalan p
"Awas ya, Amira! Aku akan buat perhitungan denganmu!" ancam Lani sembari mengacungkan jari telunjuknya ke muka Amira.Lani kemudian pergi begitu saja meninggalkan Amira dengan dada yang berguncang emosi. Amira menghela nafas dalam-dalam."Mas Bian, keluarlah, jangan sembunyi terus!" seru Amira yang membuatku terkejut. Ah, jadi dia sudah tahu aku ada disini.Aku keluar dari persembunyian dan mensejajari langkahnya. Akuu tersenyum sembari menggaruk-garuk kepala yang tak gatal."Kenapa kau mengikutiku, Mas?" tanyanya yang membuatku gelagapan."Ah... Aku khawatir sama kamu," jawabku."Bukankah kamu sendiri yang nyuruh aku jadi wanita yang kuat? Yang harus bisa membela diri?" sanggahnya lagi."Emhh iya, itu benar. Tapi aku gak nyangka kamu bisa berubah secepat ini.""Iya, ini semua ini karena kamu. Terima kasih sudah selalu mendukungku. Ucapanmu tempo hari membuatku berpikir. Kamu benar, mas. Kalau bukan aku yang melindungi diri sen
"Ya, para tetangga pada ngomongin kalian. Seolah-olah rumor yang beredar bahwa kalian berselingkuh di belakang Andri itu benar, apalagi kamu sering datang kesini," ucap Budhe lagi."Budhe yang bilang sendiri kalau aku suruh nemanin Amira tiap hari," kilah Mas Bian."Iya, memang budhe yang nyuruh. Tapi makin kesini budhe makin tak nyaman dengan ocehan tetangga.""Baik, aku siap tanggung jawab. Aku akan menikahi Amira. Tapi apa Amira siap menikah denganku?" sahutku. Aku menatapnya lekat.Dia tertunduk, sepertinya malu. Aku justru terkekeh melihat tingkahnya yang tanpa sadar dia memegangi perut dan pipinya secara bergantian."Bagaimana denganmu, Amira? Kalian sudah sangat cocok," cetus Budhe lagi."Emmh... Aku... Maksudku, apa Mas Bian gak malu punya istri seperti aku? Mas Bian masih lajang, sedangkan aku...""Aku akan terima apapun kondisimu," tukasku dengan cepat.Wajahnya merona lagi, namun dia tetap diam."Kamu ma
TTD 14POV LaniHari itu aku melihat wajah Mas Andri muram, bahkan lebih muram dari biasanya. Setelah kutahu ternyata karena ia tak bisa rujuk dengan Amira. Bukankah harusnya aku bahagia? Tapi kenapa, walaupun mereka sudah berpisah, Mas Andri tetap saja cinta mati sama Amira dan bersikeras untuk kembali padanya?Padahal aku sudah berhasil memisahkan mereka, tapi aku belum berhasil merebut hatinya. Aku ingin sekali membuatnya bertekuk lutut padaku. Sebenarnya aku ingin membalaskan dendam padanya, ada satu alasan yang membuatku harus begini. Alih-alih ingin membalaskan dendam justru aku yang kepincut sendiri. Terkesima dengan pesona adik ipar.Aku pergi menjejakkan langkah entahlah mau kemana, pikiranku masih kalut. Bagaimana caranya biar Mas Andri melihatku. Reni aku tinggal di rumah bersama neneknya. Biarlah dia sudah besar, bisa main sendiri. Ayahnyapun jarang ngasih perhatian pada anak dan istri. Ah, sebenarnya aku sudah malas, ingin sekali