Air mata ini tak berhenti menitik. Kenapa Mas Andri tak menghargai perasaanku? Semudah itu mengucap kata talak dan semudah itu juga bilang mau mencarikan muhalil untukku? Apakah sebuah pernikahan tak berarti untukmu, mas? Apakah pernikahan bagimu adalah sebuah permainan?
Aku menghela nafas dalam-dalam. Kuseka air mata yang berulang kali jatuh tanpa kompromi. Kenapa aku mendadak mellow begini.
"Beliiii...." teriak suara dari luar.
Aku terkesiap, lalu menghapus air mataku dan mengecilkan nyala kompor agar masakan tetap hangat namun juga tidak gosong.
Aku tergopoh-gopoh menghampiri pelanggan, seorang bapak-bapak dengan perawakan tambun, dan sebuah kacamata hitam disampirkan di kepala.
"Ya mau pesan apa, pak?" tanyaku sembari membawa kertas kecil dan pena untuk menuliskan pesanannya.
Pria tambun itu melihatku dari ujung kaki sampai ujung kepala dengan tatapan genit dan menggoda.
"Pesan kamu, neng? Berapa?" ujarnya dengan kerlingan mata yang membuatku tergidik ngeri.
"Maksudnya, pak?" tanyaku dengan gugup. Jujur, aku takut sekali menghadapi orang macam ini.
"Berapa untuk satu malam?" tanyanya lagi sambil menyeringai.
"Maaf, maksud bapak apa ya?"
"Halaaah jangan pura-pura gak tau, neng. Aku sudah lihat video bugilmu itu. Kulitmu begitu mulus, membuatku ingin mencicipinya," cercanya seraya mengedipkan mata genitnya.
Mukaku merah padam menahan amarah. Dari mana dia tahu kalau akulah yang ada di video itu? Ah memang ya, kalau video seperti ini pasti menyebar dengan cepat dari mulut ke mulut. Sungguh aku jadi dipermalukan karenanya, aku menanggung sanksi sosial, mereka melecehkanku, terang-terangan ingin membookingku satu malam. Benar-benar gila!
"Katakan saja berapa biayanya untuk satu malam? Aku sanggup memuaskanmu, dan kubayar sesuai yang kau inginkan!" sergahnya, nadanya mulai penuh penekanan.
Aku menggeleng-geleng perlahan. Segitu rendahkah aku di mata mereka gara-gara video itu?
"Tidak pak, tolong jangan mendekat, aku bukan perempuan seperti itu!" sahutku membela diri.
"Halaaah jangan sok jual mahal, neng. Katakan saja, kita janjian di hotel, beres kan?" ketusnya lagi.
Kondisi warung yang sepi membuat ia makin berani mendekat kearahku. Aku mundur perlahan, Budhe Narti belum juga kembali dari pasar.
"Ada apa ini?"
Tiba-tiba suara seseorang dari belakang mengagetkan kami. Kulihat pria tambun itu melangkah mundur dan kembali duduk di tempatnya.
"Eh anu mas, aku mau pesan makanan tapi si mbak'nya bilang masakannya belum lengkap," kilahnya berbohong.
"Hahaha..." tawa Mas Bian meledak. "Hei om, jangan kau pikir aku gak dengar ya! Aku sudah dengar semuanya! Om kalau butuh wanita penghibur datang langsung saja ke klub malam, bukan disini!" tukas Mas Bian dengan sorot mata tajam.
Jadi dari tadi Mas Bian ada disini? Sejak kapan?
"I-iya mas, aku gak jadi makan disini, permisi..." ujarnya sembari ngeloyor pergi.
Mas Bian berbalik memandangku yang sedang menangis. Duh, aku malu sekali ditatapnya begitu lekat.
"Mbak, kenapa dilecehkan orang diam saja? Lawan dong, mbak! Teriak kek, minta tolong, dia pasti akan takut!" tukas Mas Bian menasehatiku.
Aku hanya menunduk. Tiba-tiba tercium aroma gosong dari belakang.
"Astaghfirullah hal'adzim..." aku berlari menuju dapur, masakan yang Budhe Narti titipkan padaku matang dengan sangat sempurna, ah bukan maksudnya melebihi sempurna, karena bagian bawahnya sudah kering tak berkuah dan berkerak alias gosong.
Mas Bian malah terkekeh.
"Harusnya tadi dimatiin dulu, mbak," cetusnya.
"Tadi udah kunyalain dengan api kecil. Ternyata malah jadi begini."
"Itu karena ditinggal terlalu lama."
"Duh, budhe pasti akan marah sama aku, aku sudah merugikan usahanya."
Mas Bian tertawa lagi, kenapa sih dia hobi tertawa hari ini? Apa ada yang lucu?
"Ada apa, mas? Apa ada yang lucu?" tanyaku sambil melihat baju yang kupakai dari ujung kaki sampai ujung bahu. Rasanya tak ada yang salah.
"Hmm... Iya, kamu sangat lucu dan menggemaskan," celetuknya membuatku makin tersipu.
"Eheemm... Eheemm..." Budhe Narti berdehem, aku makin kikuk dibuatnya.
"Yan, tolong tuh bawain belanjaan budhe kesini," titah Budhe Narti pada ponakannya.
"Siapp, budhe!"
Setelah Mas Bian pergi keluar, akupun berbicara dengan Budhe Narti kalau masakannya gosong.
"Budhe, maafin aku, masakannya gosong."
"Memangnya kamu lagi mikirin apa, nak? Kok bisa gosong?" tanya Budhe sambil menaruh belanjaan sayur yang dibawanya.
"Tadi ada yang berlaku gak sopan sama Mbak Amira, budhe," celetuk Mas Bian sambil membawa barang-barang belanjaan itu. "Sudah aku bilangin sama dia budhe, kalau ada yang kurang ajar langsung aja teriak minta tolong. Mbak Amira ini terlalu pendiam, harusnya minimal bisa menjaga dirinya sendiri," tukas Mas Bian lagi lebih tepatnya terkesan mengomeliku.
"Iya, benar itu nak. Kamu harus bisa beradaptasi dengan keadaan, ayo bangkit, yang kuat. Budhe yakin, kamu bukan perempuan lemah," sambung Budhe Narti.
Aku hanya bisa mengangguk. Mas Bian dan Budhe Narti benar, aku harus jadi perempuan yang kuat, harus bisa melindungi diri sendiri, aku sudah tak punya siapa-siapa lagi sekarang, kalau bukan aku sendiri lalu siapa?
***
"Budhe, sepertinya aku ingin pulang saja ke kampung," aku mulai membuka suara.
"Lho kenapa to? Disini gak betah?"
"Betah budhe, justru aku merasa gak enak, ngrepotin budhe terus," jawabku lagi.
"Gak ngrepotin nak, budhe malah merasa terbantu dengan adanya kamu. Udah, kamu jangan berpikiran pendek seperti itu. Emangnya kalau pulang kampung kamu mau tinggal dimana? Budhe dengar orang tuamu sudah meninggal, dan rumah mereka sudah dijual kakakmu, benar?"
Aku terdiam, memang benar, kalau pulang pasti aku akan didzolimi kakakku lagi. Sudah untung aku jauh dari mereka. Tapi kalau kondisinya seperti ini, aku harus bagaimana?
"Jangan merasa gak enak. Budhe sudah menganggapmu seperti anak sendiri. Lagi pula budhe tinggal sendirian, budhe malah senang kalau kamu disini, jadi budhe ada yang nemenin," jawab Budhe Narti. "Jangan pergi ya nduk, jadi anak angkat budhe disini," imbuhnya lagi.
Aku langsung memeluk erat tubuh Budhe. Dia benar-benar seperti seorang ibu bagiku, meskipun baru beberapa hari tinggal bersamanya. Sikapnya kepadaku tak berbeda dengan ibu mertuaku, mereka sama-sama baik.
***
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun untuk membantu Budhe Narti berjualan. Tak seperti biasanya hari ini aku merasa sedikit pusing, dan perutku terasa mual. Rasanya begah sekali, sudah ingin muntah.
"Hueek...! Hueek...! Hueek...!"
"Kamu gak apa-apa, nduk?" tanya Budhe Narti di depan kamar mandi.
"Iya, gak apa-apa budhe," jawabku setengah berteriak.
Aku keluar dari toilet, Budhe Narti sudah menyambutku dan memberiku minyak kayu putih. Kuoles minyak kayu putih ke perutku. Entah kenapa tiba-tiba merasa begini.
"Kamu kenapa, nduk?" tanya Budhe Narti sambil mengisik punggungku.
"Entahlah budhe, mungkin masuk angin."
"Kalau gitu kamu istirahat saja, gak usah bantuin budhe," tukas Budhe lagi.
"Tapi nanti budhe repot?"
"Gak apa-apa. Tenang aja nanti ada si Bian yang bantuin."
"Memangnya Mas Bian gak kerja budhe?"
"Dia sih di rumah terus tuh, tapi uangnya banyak, hahaha," Budhe Narti tergelak dalam tawanya.
Aku menautkan kedua alisku tak mengerti. Masih bertanya-tanya tentang pekerjaan apa yang dilakoni Mas Bian. Ah, kenapa aku jadi kepo begini.
"Ayo sarapan dulu, nduk, biar perutmu ada isinya."
"Iya, budhe."
Aku melangkah ke meja makan, rupanya Mas Bian sudah berada disana.
"Budhe, biasa ya aku numpang sarapan disini," ujarnya sambil meringis.
"Makanya punya istri biar ada yang masakin," celetuk budhe lagi.
"Hahaha..." Mas Bian justru tertawa lalu memandang ke arahku.
Baru separuh makan, tiba-tiba perutku terasa mual kembali. Aku berlari ke toilet dan memuntahkan disana.
"Hueek...! Hueek...! Hueek...!"
Rasanya tidak nyaman sekali. Pandanganku jadi berkunang-kunang.
"Mbak, mbak gak apa-apa?" tanya Mas Bian, dia terlihat khawatir padaku.
Aku hanya mengangguk.
"Tapi wajahmu pucat, mbak."
"Bian, antarkan saja Amira ke Bu bidan terdekat, feeling budhe sih sepertinya Amira hamil," timpal Budhe yang membuat jantungku berdetak lebih cepat. Hamil? Bukankah itu hanya kemungkinan kecil? Tapi, memang sih aku belum haid sampai sekarang. Jangan-jangan memang benar aku sedang hamil.
"Gimana, mbak?" tanya Mas Bian.
Aku menggeleng perlahan. "Tidak usah, mas."
"Jangan menolak mbak, ayo aku antar mbak ke Bu Bidan," cetusnya.
"Iya nak, biar tahu pasti tentang kondisimu," sahut Budhe Narti lagi.
Akhirnya aku mengangguk dan mengikuti langkah Mas Bian keluar. Aku menaiki boncengan motornya menuju rumah praktek Bu Bidan.
Sampai di ruangan Bu Bidan aku diperiksa, ditensi darah dan ditanyai macam-macam perihal keluhanku. Lalu aku diminta untuk melakukan test pack selanjutnya perutku di USG.
"Selamat ya mas, istri anda hamil," ucap Bu Bidan sembari tersenyum setelah melihat hasilnya.
Aku dan Mas Bian saling bersitatap. Bu bidan sudah salah paham, kami bukanlah suami istri, Mas Bian hanya mengantarku saja.
"Kandungannya sudah memasuki usia 5 minggu, harus dijaga bener-bener ya mas, istri anda gak boleh stress dan kecapekan, nanti pengaruh ke Janin."
"Apakah ini kehamilan pertama anda, mbak?"
"I-iya, bu," jawabku agak gugup.
Bu bidan tersenyum. "Rasa mual, ingin muntah, pusing, bawaannya lemes, itu normal untuk ibu hamil, tidak apa-apa, nanti akan hilang dengan sendirinya seiring bertambahnya waktu. Trimester pertama memang biasanya sebagian ibunhil akan mengalami seperti itu atau bisa disebut morning sickness. Orang jawa bilangnya ngidam."
"Ada pertanyaan lagi?" tanya Bu bidan kembali. Aku hanya menggeleng,
"Baik, kalau tidak ada pertanyaan lagi, ini ibu kasih resep vitamin saja ya sama asam folat. Oh iya mas, belikan susu ibu hamil saja ada yang khusus untuk mengurangi rasa mual, di apotik atau minimarket banyak dijual," tukas Bu Bidan lagi pada Mas Bian.
"Baik, Bu Bidan," jawabnya sambil tersenyum. Lalu kami berpamitan.
"Kau dengar tadi?" tanya Mas Bian sambil terus menatapku. "Tidak boleh stress dan tidak boleh capek, jangan banyak pikiran ya," ucap Mas Bian padaku.
Aku hanya menunduk. Benar saja seperti dugaan Budhe Narti, Bu Bidan menyatakan kalau aku hamil. Harusnya berita kehamilan ini adalah berita kebahagiaan untukku, karena sudah 8 tahun ini aku selalu mendambakannya, mendambakan seorang anak. Tapi kini, saat Allah mengabulkan semuanya, aku justru kehilangan suami. Suami yang sudah menemani hari-hariku selama ini, dia sudah bukan suamiku lagi. Tak terasa butiran bening menetes dari kedua bola mataku.
"Hapus air matamu mbak," ucap Mas Bian menyadarkanku. Dia menyodorkan sapu tangan miliknya.
"Jangan bersedih, aku tahu perasaanmu, mungkin ini terlalu sulit. Tapi demi bayi yang ada dalam kandunganmu mbak, kamu harus kuat. Dan tenang saja, dedek bayi tidak akan merasa kekurangan kasih sayang seorang ayah, aku yang akan menggantikan peran ayah untuknya," ungkap Mas Bian lagi, entah apa maksudnya.
"Bagaimana hasilnya, Nduk?" tanya Budhe Narti ketika kami sampai."Mbak Amira hamil, Budhe," celetuk Mas Bian. Dia melirikku yang masih terdiam membisu."Bukankah ini kabar gembira? Kenapa kamu murung, Nduk?" tanya Budhe Narti lagi."Tidak apa-apa, budhe," jawabku. Sebenarnya aku khawatir dengan kehidupan anak ini selanjutnya. Apakah aku bisa menghidupi dan mendidiknya dengan baik? Selain menjadi seorang ibu, aku juga harus menjadi seorang ayah untuknya."Padahal sudah kubilang budhe, supaya Mbak Amira gak perlu khawatir masalah kebutuhan bayinya, aku bisa membantunya. Tapi dia masih saja murung," sahut Mas Bian lagi."Bian, masalahnya gak semudah itu. Wanita itu punya perasaan. Banyak yang harus dipikirkan. Bukan hanya kebutuhan fisik bayinya saja, psikisnya juga perlu. Bayi itu juga butuh kasih sayang seorang ayah. Sedangkan disini posisi Amira sedang sulit. Mungkin dia masih shock. Dia baru bercerai dengan sang suami. Bahkan mungkin suaminya pun
Hari demi hari berganti, menjalani kehamilan pertama tanpa suami rasanya nano-nano, menyedihkan. Tidak ada yang bisa menjadi sandaran hati ketika rasa lelah menanti. Meskipun Budhe Narti sudah melarangku untuk bekerja, tapi aku merasa tak enak hati. Aku memang sudah tak membantunya berjualan di warung, karena hidungku terlalu sensitif, mencium aroma masakan saja sudah membuatku mual. Jadi, aku hanya melakukan tugas rumahan yang ringan."Hueek... Hueek... Hueek..."Mendadak perutku mual-mual kembali. Apakah bawaan bayi memang seperti ini? Pusing, mual, muntah, badan meriyang tak karuan. Rasanyaaku ingin menangis saja."Sabar ya mbak, hanya itu yang bisa aku ucapkan. Oh iya, ini mbak, ada buah dan susu hamil untukmu. Biasanya ibu hamil suka yang seger-seger," tukas Mas Bian. Dia memberikan parsel berisi buah-buahan dan juga susu untuk ibu hamil."Mas, gak usah repot-repot," sahutku."Aku gak merasa direpotkan kok. Sudah tanggung jawabku," jawabnya la
Aku mulai membukakan mata, kulihat sekeliling, ruangan yang rapi, suasana hening, ada selang infus yang menancap di tanganku. Sudah kupastikan ini pasti sebuah ruang perawatan di rumah sakit. Seketika aku tersadar. Bayiku, bagaimana dengan bayiku?"Alhamdulillah mbak, kamu sudah sadar," ucap seseorang. Aku menoleh, ada Mas Bian duduk di sisi kananku yang tak kusadari kehadirannya."Bayiku, bayiku gimana, mas?" tanyaku sembari meraba perut yang masih rata."Alhamdulillah, bayi mbak gak apa-apa.""Beneran, mas? Aku gak keguguran kan?""Enggak. Nanti kalau dokter berkunjung, tanyakan langsung saja," sahut Mas Bian.Aku mengangguk. Tak berselang lama, Bu dokter dan perawat datang. Perawat memeriksa tensi darahku lalu mencatatnya."Alhamdulillah semuanya normal, besok ibu sudah boleh pulang," ucap Bu dokter."Bayi saya tidak apa-apa kan, dokter?""Alhamdulillah tidak apa-apa. Lain kali harus dijaga ya, jangan sampai jatuh lag
POV BianAku tak mengerti apa yang ada dipikiran Amira, wanita itu seringkali menangis. Membuat hati ini ikut merasa iba. Kenapa air mata itu tak kunjung kering justru semakin banyak, padahal sudah berbulan-bulan, bahkan tiap hari dia selalu menitikkan air mata.Dia terlalu melankolis. Aku paham, masalah ini terlalu berat untuknya. Diceraikan oleh sang suami dengan tuduhan selingkuh denganku, serta video dia sedang mandi dan tetiba hamil, pasti dia sangat shock menjalani semuanya. Dikucilkan oleh para tetangga, bahkan ada yang hampir melecehkannya adalah sanksi sosial yang ia dapatkan dari ulah seseorang yang tak bertanggung jawab.Sedangkan disatu sisi, sang suami, maksudku sang mantan suami seakan angkat tangan tidak mau mencari tahu siapa sebenarnya yang sudah menjebak Amira. Bahkan dia sibuk mencari pembenaran sendiri, ingin rujuk lagi dengan Amira dan meminta aku menjadi muhalilnya. Ironis bukan?Sungguh aku tak habis pikir dengan jalan p
"Awas ya, Amira! Aku akan buat perhitungan denganmu!" ancam Lani sembari mengacungkan jari telunjuknya ke muka Amira.Lani kemudian pergi begitu saja meninggalkan Amira dengan dada yang berguncang emosi. Amira menghela nafas dalam-dalam."Mas Bian, keluarlah, jangan sembunyi terus!" seru Amira yang membuatku terkejut. Ah, jadi dia sudah tahu aku ada disini.Aku keluar dari persembunyian dan mensejajari langkahnya. Akuu tersenyum sembari menggaruk-garuk kepala yang tak gatal."Kenapa kau mengikutiku, Mas?" tanyanya yang membuatku gelagapan."Ah... Aku khawatir sama kamu," jawabku."Bukankah kamu sendiri yang nyuruh aku jadi wanita yang kuat? Yang harus bisa membela diri?" sanggahnya lagi."Emhh iya, itu benar. Tapi aku gak nyangka kamu bisa berubah secepat ini.""Iya, ini semua ini karena kamu. Terima kasih sudah selalu mendukungku. Ucapanmu tempo hari membuatku berpikir. Kamu benar, mas. Kalau bukan aku yang melindungi diri sen
"Ya, para tetangga pada ngomongin kalian. Seolah-olah rumor yang beredar bahwa kalian berselingkuh di belakang Andri itu benar, apalagi kamu sering datang kesini," ucap Budhe lagi."Budhe yang bilang sendiri kalau aku suruh nemanin Amira tiap hari," kilah Mas Bian."Iya, memang budhe yang nyuruh. Tapi makin kesini budhe makin tak nyaman dengan ocehan tetangga.""Baik, aku siap tanggung jawab. Aku akan menikahi Amira. Tapi apa Amira siap menikah denganku?" sahutku. Aku menatapnya lekat.Dia tertunduk, sepertinya malu. Aku justru terkekeh melihat tingkahnya yang tanpa sadar dia memegangi perut dan pipinya secara bergantian."Bagaimana denganmu, Amira? Kalian sudah sangat cocok," cetus Budhe lagi."Emmh... Aku... Maksudku, apa Mas Bian gak malu punya istri seperti aku? Mas Bian masih lajang, sedangkan aku...""Aku akan terima apapun kondisimu," tukasku dengan cepat.Wajahnya merona lagi, namun dia tetap diam."Kamu ma
TTD 14POV LaniHari itu aku melihat wajah Mas Andri muram, bahkan lebih muram dari biasanya. Setelah kutahu ternyata karena ia tak bisa rujuk dengan Amira. Bukankah harusnya aku bahagia? Tapi kenapa, walaupun mereka sudah berpisah, Mas Andri tetap saja cinta mati sama Amira dan bersikeras untuk kembali padanya?Padahal aku sudah berhasil memisahkan mereka, tapi aku belum berhasil merebut hatinya. Aku ingin sekali membuatnya bertekuk lutut padaku. Sebenarnya aku ingin membalaskan dendam padanya, ada satu alasan yang membuatku harus begini. Alih-alih ingin membalaskan dendam justru aku yang kepincut sendiri. Terkesima dengan pesona adik ipar.Aku pergi menjejakkan langkah entahlah mau kemana, pikiranku masih kalut. Bagaimana caranya biar Mas Andri melihatku. Reni aku tinggal di rumah bersama neneknya. Biarlah dia sudah besar, bisa main sendiri. Ayahnyapun jarang ngasih perhatian pada anak dan istri. Ah, sebenarnya aku sudah malas, ingin sekali
"Kamu itu udah punya anak malah pergi-pergi gak jelas!" omel ibu mertuaku, membuatku tambah benci padanya."Maaf bu, tadi memang Nita ngajaknya dadakan. Aku kira gak bakal lama, ternyata malah lama begini. Lani janji bu, lain kali gak akan diulangi lagi. Ya sudah, Lani permisi, mau mandi dulu," ucapku sambil ngeloyor pergi."Andri, baringkan Reni di kamarnya. Kasihan dia," pinta ibu yang samar-samar kudengar dari dalam.Aku langsung bebersih diri, menghilangkan aroma-aroma yang tadi menempel. Kusemprot dengan minyak wangi. Setelahnya aku bergegas ke dapur untuk membuatkan mereka teh manis yang aku campur dengan obat tidur.Kuhidangkan teh manis itu bersama cemilan yang tadi sempat kubeli."Ini tehnya bu, mas.""Tumben kamu bikinin ibu teh," sahut ibu. Tapi dia tetap menyesap teh buatanku.Aku tersenyum. "Sekali-kali gak apa-apa to bu, lagian Amira kan sudah gak ada. Jadi biar aku yang gantian melayani ibu," s