Terbongkar Setelah 10 Tahun PernikahanBab 43Arkana mengemudikan mobil sportnya dengan kecepatan lumayan kencang. "Bro, gue titip absen ya!" titahnya pada Gio, teman yang bisa dikatakan cukup dekat dengannya. Arkana menghubungi Gio saat mobil yang dikemudi sudah terparkir."Kemana lu? Tumbenan mau cabut di kelasnya bu Rania?""Ada urusan lah pokoknya. Titip, ya!""Iya, kalau bisa. Kalau enggak ya takdir lu terdaftar absen."Setelah menutup sambungan telepon, Arkana menaruh ponsel canggihnya itu ke dalam tas kulit model salempang.Dengan sigap dia berjalan menuju ruang untuk melapor."Pak, bisa kah saya bertemu dengan bapak Ibra?" tanya Arkana tanpa basa-basi saat petugas menanyakan maksud kedatangannya."Tapi antri ya, Dik. Soalnya tadi bapak Ibra sudah ada yang besuk. Kalau boleh tahu adik siapanya?""Kira-kira berapa lama antrinya, Pak? Saya ... saya ... anaknya, Pak." Arkana memang ragu menjawab, entah apa yang membuat dia ragu walaupun beberapa detik kemudian dia tegas menjawab
"Iya, tapi saya kurang tahu apa isinya, karena privasi."Dua hari lalu, Ibra memang menitipkan surat tersebut pada petugas."Kalau boleh tahu siapa yang menjemputnya, Pak?""Tidak ada, Mbak. Tidak ada yang menjemput.""Begitu, ya. Hmm ... apa bapak menanyakan di mana rumah papa saya?""Tidak, Mbak.""Baik lah, Pak. Terima kasih. Maaf sudah menganggu."Kinara berjalan tak berdaya menuju area parkir.Saat sudah di dalam mobil barulah dia membuka surat yang diberikan pak Mulyono tadi. Dan, setelah dibuka, rupanya ada beberapa tiga lembar kertas.Surat yang berisikan permintaan maaf Ibra karena sudah menyakiti Laras, Kinara, dan Arkana. Panjang lebar dia tuliskan dan di lembar terakhir rupanya ada surat kuasa, dia menyerahkan kuasa pada Arkana untuk menjadi wali nikahnya minggu depan."Maafkan, aku, Pa ...." teriaknya sembari menundukkan kepalanya di stir mobil.Tiba-tiba air mata Kinara lolos deras dari bola matanya yang indah."Gimana, Ki? Apa kata papamu?" desak Laras saat dia baru saja
Paham agama, rupanya tak bisa meredam hati mas Ibra untuk tidak mengkhianati ku dalam bahtera rumah tangga yang sudah diarungi 10 tahun."Mas, ini siapa? Kenapa dia mengirim capture pesan antara kamu dengan dia?"Aku bertanya pada mas Ibra yang baru saja keluar dari kamar mandi usai membersihkan diri setelah memadu kasih kerinduan sebulan tak mengarungi samudra pahala sang Pencipta.Dia tampak menghela napas dan dia lepas perlahan, tak ada ketakutan atau kepanikan sama sekali digurat wajahnya."Akhirnya kamu tahu, Dik. Sini dulu! Duduk sini! Mas jelaskan semuanya."Dia memegang pergelangan tanganku, lalu kami duduk di bibir ranjang."Dia Annisa, Dik. Dia istriku juga."Luruh sudah air mataku, mendengar kata yang terucap dari bibir lelaki yang sangat pandai memperlakukan aku layaknya seorang istri. Tidak pernah membentak jika kami berselisih paham, tidak pernah memaksa apa yang tidak bisa aku lakukan."Bagaimana bisa, Mas?" Aku menarik tangan dalam genggamannya. Menjauh beberapa senti
Selepas Mas Ibra pergi dengan membawa kopernya, terdengar ucapan salam kala Laras dan Kinara hendak masuk ke dalam rumah. Dalam keheranan, Laras tetap menjawab salam."Siapa itu, Ma?" Kinara bertanya kala perempuan yang cukup asing baginya itu berjalan mendekatinya."Nggak tahu, Ki. Mama juga nggak kenal," jawab Laras sekenanya."Pagi, Mbak."Merasa ada yang aneh dari gelagat perempuan itu. Laras pun menyuruh Kinara masuk ke dalam rumah lebih dulu. Takut ada kata-kata yang belum sepatutnya dia dengar. Untung Kinara menurut tanpa protes.Dia melepas maskernya, membuat Laras kaget bukan main. Jelas dia tahu betul dengan sosok yang berdiri di depannya saat ini."Apa kabar, Mbak?""Liana? Kok bisa tahu rumah mbak di sini? Aku baik, silakan masuk!""Iya, Mbak. Ada yang ingin aku sampaikan," sahutnya kala masuk ke dalam rumah."Kayaknya serius betul. Mau sampaikan apa, Li? Kedengarannya serius.""Iya, Mbak. Ini memang hal penting dan serius.""Apa? Sampaikan saja atau mau aku buatkan minuma
"Sayang, kamu di mana? Kok mas sampai hotel resepsionisnya bilang kamu lagi keluar. Ke mana? Kok nggak bilang-bilang dulu?""Iya, Mas. Aku udah di jalan, paling lima belas menit lagi sampai hotel."Terbang ke Padang kali ini Ibra tidak sendirian, dia bersama istri mudanya. Namun, Ibra sama sekali tidak tahu jika istri mudanya itu datang menemui Laras."Dari mana kamu, Sayang?" Pertanyaan yang pertama kali terlontar kala Liana menghampiri dirinya yang tengah duduk di ruang tunggu hotel"Ntar aja ceritanya di kamar, Mas."Mereka pun menuju kamar sembari bergandengan tangan, terlihat mesra sekali."Jadi kamu pilih yang mana, Mas? Aku sudah berusaha membujuk mbak Laras untuk tidak berpisah dengan kamu. Tapi ...,"Liana menceritakan semuanya pada Ibra."Mungkin Laras masih shock dengan apa yang terjadi, Sayang. Harusnya kamu tidak perlu ke sana. 'Kan sudah janji sama mas juga.""Iya, cuma aku nggak tenang, Mas. Apalagi setelah mendengar cerita kamu semalam. Bahkan mbak Laras milih tidur di
"Mas, kenapa kamu harus memenuhi semua permintaannya mbak Laras? Kamu tahu, itu menyakitkan bagiku.""Aku bisa apa, Sayang. Aku juga tidak mau kehilangan Laras apalagi kehilangan Kinara, lima tahun sudah aku di sini sama kamu. Apa salahnya jika aku sekarang hidup serumah bersama Laras juga anak semata wayang kami. Laras belum mau aku sentuh dalam hal r*nj*ng. Jadi, cuma kamu seorang yang akan melayaniku sejauh itu. Dia juga tidak membatasi aku untuk bertemu dengan kamu, Sayang. Bukankah itu kelonggaran yang cukup lapang?""Aku tidak yakin, Mas. Aku tidak percaya. Kalian menikah sudah 10 tahun, mana mungkin mbak Laras menolak kalau kamu ajak, apalagi kalian serumah. Bisa-bisa semakin intens.""Jangan berlebihan cemburunya, aku akan komit pada syarat yang diberikan Laras. Kamu tenang saja.""Gimana aku bisa tenang, Mas. Kamu di sana bukan dalam waktu sehari ataupun dua hari. Namun, lebih dari itu.""Ini konsekuensi aku, Sayang. Kamu juga harus berlapang dada jika yang terjadi seperti in
"Dik, aku sudah di sini, tapi kamu selalu mengacuhkan aku," protes Ibra saat dia sedang membuat surat lamaran pekerjaan."Oh, maaf, Mas. Mungkin karena aku terbiasa tanpa ada kamu di sini kali ya.""Kamu tumben rapi banget hari ini, apa mau sesuatu dari ku, Dik?""Nggak lah, Mas. Kan aku udah pernah bilang, kalau kamu mau yang intens silakan terbang ke rumah adik maduku, aku belum siap.""Ngilu hatiku, Dik. Dengar kamu berujar seperti itu. Padahal aku kangen sama kamu, bukan Annisa.""Oh iya, tapi sayangnya, aku belum siap menyambut kangen kamu, Mas. Tolong pahami, ya! Kamu ingat dan nggak akan ingkar janji atas kesepakatan kita 'kan? Aku yakin kamu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang aku berikan ya 'kan, Mas.""Iya, Dik. Iya, meski sakit, aku coba untuk mengerti kamu. Semoga segera kamu bisa menjawab rasa kangen aku, Dik.""Aku pamit, ya, Mas. Buru-buru soalnya ada kegiatan. Jangan lupa, nanti tolong jemput Kinara sekolah sama suapin dia makan siang, ya! Jangan sampai telat jem
"Selamat ya, Bu. Ibu hamil. Sudah tujuh minggu.""Haa? Apa, Dok? Aku hamil?" Laras tak percaya dengan apa yang dikatakan dokter yang memeriksa perutnya secara manual.Iya, kita USG dulu, ya, Bu.""Dokter serius? Istri saya benaran hamil?" Ibra ikut kaget, tapi ada bahagia tergugat dari wajahnya."Iya, Pak. Mana mungkin saya berbohong. Selamat ya, Pak."Kinara ikut pun ikut bahagia mendengar bahwa dia akan jadi kakak.Ibra memutuskan mengantar Laras ke rumah sakit selepas pingsan ketika memasak di dapur tadi pagi. Awalnya, Laras menolak, tapi Ibra terus memaksa. Apalagi wajah Laras terlihat begitu pucat."Saya pesan 'kan sama bapak dan ibu agar lebih menjaga kandungan kali ini, agak lemah. Untuk ibu jangan sampai banyak pikiran juga.""Bapak juga bantu ibu agar dia tidak banyak pikiran. Kalau tidak kasihan sama calon bayi di kandungannya.""Baik, Dok."Dokter Irda pun meresepkan obat penguat serta vitamin tambahan untuk Laras."Aku tidak perlu di papah, Mas!" Laras berusaha melepaskan