Share

Terjebak Hasrat  Duda Cerewet
Terjebak Hasrat Duda Cerewet
Penulis: Ekapacul07

1. Rencana Buruk

Laura terbangun karena perutnya merintih lapar. Ia duduk seraya memegang perut yang terasa perih. 

"Duh, laper banget gue. Terakhir diisi nasi uduk semalam, pagi tadi cuma aer putih doang," gumamnya lirih. 

Ya, sudah seminggu ini ia irit makan. Klimaksnya adalah kemarin karena sisa uang di dompetnya hanya dua puluh lima ribu. Tadinya ia ingin membaginya untuk tiga hari. Kemarin pagi ia sarapan cuma air putih segelas, lalu dibawa tidur. Siangnya ia membeli mi instan dan sisanya untuk sampo saset. Semuanya habis lima ribu. Semalam, ia mengisi perut dengan nasi uduk tanpa telur dan tanpa gorengan, maka bisa seharga sepuluh ribu saja. 

Laura meraih dompetnya yang tergeletak di sisi bantal dan membukanya. Tangannya menarik selembar uang sepuluh ribu, satu-satunya penghuni dompet berbahan kulit yang ia beli di Singapura sewaktu keluarganya berlibur ke sana. Mata Laura menatap duit di tangannya dengan nanar. 

"Kalo duit ini habis, terus gue harus makan apa?" Laura menaruh duit itu ke kasur. Lantas ia menekuk kaki dan menopangkan dagu di atas kedua lutut. 

"Gue terpaksa harus bekerja, tapi gue gak punya ongkos buat cari kerjanya. Mau ngutang sama teman, itu memalukan apalagi dengan kondisi gue kayak sekarang, bisa diketawain sedunia. Jadi gue harus kerja yang gak pake ongkos. Tapi kerja apa itu?" Laura mendesah resah. Ia menyibak selimut dan melangkah menuju jendela. Membuka tirai dan daun jendela yang terbuat dari kaca. Pandangan ia jatuhkan ke bawah sana. Dari kamarnya yang berada di lantai 22, pemandangan di bawah tidak terlalu jelas, sehingga ia mengalihkan matanya ke angkasa yang cukup cerah. Warna birunya menyejukkan, menjernihkan otaknya untuk melanjutkan berpikir bagaimana nasibnya selanjutnya. 

"Kalo gak butuh ongkos, berarti gue harus mencari kerja di sekitar sini. Terus kalo gue dapat pekerjaan di kantor, sebulan dulu gue baru gajian. Lalu gue makan dari mana sehari-hari? Arrrggghhh!" Laura meremas rambut panjangnya yang masai. 

"Tenang, Lau. Tenang." Laura mengatur napas agar hatinya sedikit tenang. "Lo gak bisa berpikir kalo lo malah kacau begini. Tenang, Lau. Tenang. Lo pasti akan melewati badai besar ini," hiburnya pada diri sendiri. Lantas ia menyilangkan tangan di dada dan berdiri tegak dengan tatapan masih ke langit biru. 

"Oke, Oke. Kerja kantoran mesti gue skip. Gue harus cari kerja yang dapat makan dan minum gratis. Juga dapat wifi gratis. Sudah sejak dua hari lalu HP gue mati karena gak bisa beli paket data. Pekerjaan itu contohnya rumah makan... tapi bagaimana kalo ada teman kuliah yang pas makan di rumah makan tempat gue kerja? Mending kalo teman, masih bisa menatap iba. Bagaimana kalo geng rese itu yang memergoki gue jadi pelayan? Gue bisa diketawain mereka tujuh hari tujuh malam. Uh! Jadi skip aja niat kerja di rumah makan, restoran atau sejenisnya. Terus gue kudu kerja apa?" Laura memijat pelipisnya yang nyeri. Ia menarik kursi bundar yang ada di depan meja rias ke tepi jendela. Sambil duduk, ia menopang dagu di kusen jendela. Pikirannya terus berkelana, mencari pekerjaan yang cocok untuk kondisinya saat ini. 

Tiba-tiba ia teringat tetangga depan kamarnya. Sejak menghuni kamar ini  seminggu lalu, Laura beberapa kali bertemu penghuni kamar depan, bahkan dua kali berpapasan di tangga. 

"Nak cantik, kamu yang tinggal di depan kamar kami ya?" tegur seorang wanita yang rambutnya hampir didominasi warna putih  Laura mengira wanita tersebut berusia kisaran pertengahan  kepala enam. Saat itu mereka ketemu dalam lift, sama-sama ingin menuju ke lantai bawah 

"Ya Tante, eh Bu, eh...." Laura menggaruk kepala karena bingung mesti menyapanya dengan panggilan apa. 

"Panggil saja Oma Beth. Namamu siapa, Nak cantik? Sebagai tetangga, kita harus saling mengenal, bukan?" Senyum ramah terbit di bibir yang dipoles lipstik warna merah menyala, membuat Oma Beth tampak lebih segar 

"Nama saya Laura, Oma. Biasa dipanggil Lau." Laura membalas uluran tangan itu dan ia menyunggingkan senyum ramah ke anak perempuan yang berdiri di sisi Oma Beth, menatapnya tak berkedip. Laura menebak umurnya sekitar lima tahun. 

"Hai, cantik sekali kamu," puji Laura jujur. Bocah yang rambutnya ikal mayang dan diikat dua dengan pita pink itu memang sangat cantik. Kulitnya bersih, pipi chubby-nya ranum membuat Laura gemas ingin mencubitnya. Namun, tentu saja itu tak ia lakukan. 

"Ini cucu Oma satu-satunya, Lau. Namanya Clarissa. Kamu bisa memanggilnya Cla." Oma Beth setengah membungkuk. "Ayo, ulurkan tanganmu, Cla."

Bocah yang terus menatap Laura tapi tak sedikit pun tersenyum itu segera menuruti perintah omanya. 

Laura duduk jongkok sebelum membalas perkenalan tersebut. "Hai, Cla. Salam kenal dari Tante Lau, ya."

"Apakah kita berteman?" Kata-kata pertama akhirnya meluncur dari mulut mungil bocah itu. 

"Tentu saja." Angguk Laura yang melebarkan senyumnya. 

Percakapan itu terhenti setelah mereka berpisah di luar lift. Laura bertemu dengan Oma Beth untuk kedua kalinya di tangga, kemarin. Saat itu Oma Beth sedang menuruni tangga sambil menjinjing plastik hitam, tapi kelihatannya tidak terlalu berat sehingga Laura merasa tak perlu membantunya saat melewati wanita itu. 

"Dari mana, Lau?" sapa Oma Beth terlebih dahulu. 

"Dari membeli mi instan. Oma mau ke mana?" Sejak pertemuan pertama kemarin, Laura telah merasa akrab dengan wanita ramah itu. 

"Mau buang sampah. Pembantu di rumah gak pernah ada yang betah karena papanya Cla terlalu cerewet." Kekeh Oma Beth sebelum mereka berpisah. 

Laura tak mengingat percakapan itu lagi setelahnya karena baginya tidak penting. Namun, kali ini ia memikirkannya. 

"Oma Beth tidak punya pembantu? Sepertinya ide bekerja di tempat Oma Beth memang sangat buruk, tapi satu-satunya pekerjaan yang bisa mendapat makan dan minum gratis adalah pembantu. Gue tidak mengenal banyak orang, jadi bekerja dengan Oma Beth saja, apalagi wanita itu sepertinya sangat baik, semoga saja penilaian gue ini tidak salah," gumam Laura. "Tunggu! Kemarin Oma Beth bilang papanya Cla sangat cerewet? Artinya lelaki itu banyak omong? Mungkin dia banci? Ah, gue pikir gelut sama banci tidak terlalu mengkhawatirkan. Baiklah, gue harus gercep sebelum gue mati kelaparan." Laura bangkit dari kursinya dan langsung menuju kamar mandi. Selesai mencuci muka dan sikat gigi, ia merapikan rambut dengan sisir dan ditekuk dengan ikat rambut asal-asalan. Lantas ia gegas menuju pintu. 

Laura melangkah ragu menuju pintu yang berada tepat di depan kamarnya dan ia menekan bel perlahan. Terdengar langkah diseret ke pintu. Laura menyiapkan senyum manisnya untuk menyambut Oma Beth. Namun, senyumnya langsung lenyap saat daun pintu terbuka. Laura menebak tinggi pria itu 180 cm lebih. Rambut hitamnya agak panjang dan berantakan, menutupi leher dan dahi sehingga menutupi sebagian wajah. Walau begitu, Laura tahu wajah tampan di depannya hampir sempurna. Tulang hidung menjulang dengan lubangnya tidak terlalu besar. Bibir kehitaman yang tidak tebal tampak seksi saat terkatup rapat. Puas mengamati bibir yang di atasnya tumbuh rambut berusia sekitar lima hari, Laura mengunci pandangan ke mata yang sedang menatapnya tajam. Laura tidak tahu apakah pria tersebut alisnya botak atau lebat sebab tertutup poni yang cukup panjang dan berantakan. 

Baru saja Laura hendak menanyakan keberadaan Oma Beth, tetapi pria itu sudah berkata duluan. 

"Sorry, tidak menerima pengemis!" Pria itu hendak menutup pintu kembali. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status