Malam harinya, lebih baik aku menginap di sini dulu. Lagi pula, aku juga tidak tahu kemana harus pergi. Untunglah ada mereka berdua, yang bisa aku jadikan teman perjalanan mungkin.
Aku mendapatkan kamar yang lumayan nyaman. Rasanya, kamarku di Indonesia tidak senyaman ini. Ruangan kamar sangat sederhana. Tadi, sebelum masuk, aku membayangkan jika aku akan mendapatkan kamar super mewah. Pasalnya, kuil ini bangunannya sangat megah, apalagi kamarnya? Dan ternyata tidak.
Akhirnya hari ini bisa istirahat juga. Sebenarnya, kenapa aku bisa menjadi sebodoh ini? Menjadi permainan sebuah mantra. Atau, Tuhan sengaja mengirimkan buku mantra itu padaku karena sebuah alasan? Mungkin, iya.
Aku pelan-pelan mengeluarkan buku ajaib dari balik bajuku. Akhirnya setelah beberapa kali mencoba, aku berhasil menemukan mantra untuk menyimpan buku ajaib tanpa terlihat, dan tanpa membawa beban pula rasanya.
Dan aku tertidur dalam kuil indah ini.
***
Pagi hari telah datang. Seperti matahari-matahari biasa di bumi Indonesia. Matahari disini juga sama hangatnya. Jadi, aku menyempatkan diri berjemur sejenak di bawah sinarnya, sebelum aku mengetahui bahwa Hanai dan Hinia mempersiapkan makanan. Setelah mengetahui, akhirnya aku menyusul mereka berdua.
“Kok, masak? Apakah tidak bisa dimantra saja?” tanyaku setelah sampai.
“Eh, kamu sudah bangun?” tanya Hinia.
“Rasanya akan berbeda. Mantra, hanya kami gunakan pada saat darurat.” Hanai ikut bicara.
“Lho? Tadi malam memangnya darurat, kok, bisa membuat minuman dengan mantra?”
“Tidak, aku hanya ingin membuat kejutan untukmu.” Jelas Hanai.
“Jadi, itu hanya pembatasan diri kami saja. Bukan aturan dari sebuah mantra bahwa hanya digunakan ketika darurat.” Hinia menjelaskan dengan sangat-sangat gamblang.
Bau bumbu masakan mengudara, menuju hidung-hidung tanpa ampun. Dan, seperti biasa yang kalian alami ketika memasak, akan bersin-bersin tidak karuan.
Ini aneh, kok, hanya aku yang bersin-bersin, mereka berdua tidak? Ah, mungkin mereka curang, sudah menggunakan mantra sedangkan aku tidak diberi tahu.
“Kalian pakai mantra, ya, kok tidak bersin-bersin?” tanyaku sebal.
Mereka berdua tertawa. Adakah yang salah dengan pertanyaanku. Atau, mereka baru sadar tentang ini, dan menertawakan diriku.
“Sebegitukah kita harus pakai mantra?” Hanai tertawa lagi.
“Kami bukannya menggunakan mantra. Tapi, lebih karena kami sudah terbiasa dengan bumbu masakan ini.” Hinia ikut tertawa.
“Begitu maksudnya. Nanti, kalau kamu lama di sini, akan terbiasa juga.” Kata Hanai sambil melanjutkan masaknya.
Keanehan yang aku alami sebenarnya bukan tentang masakan ini. Tapi, lebih mengarah kepada manusianya. Kenapa yang aku jumpai baru mereka berdua? Apakah tidak ada manusia lain? Jika menurut kata-kata yang dituturkan Hinia, atau bahkan Hanai, di sini masih ada manusia lain seharusnya.
“Kapan kita akan mencari mantra untuk kamu pulang?” Hinia tiba-tiba bertanya ketika kami mulai sarapan pagi.
Makanan yang mereka masak ternyata tidak berbeda jauh dengan makananku sehari-hari. Hanya saja, aku belum mengenal jenis sayuran dan daging yang dimasak. Dagingnya berbentuk seperti daging sapi, tapi rasanya lumayan berbeda. Sedangkan sayurnya, semacam sayuran sawi, tapi berwarna merah muda.
“Entah, aku ikut saja sama kalian.” Jawabku setelah menelan satu sendok nasi.
Oh iya, di sini juga menggunakan nasi. Rasanya juga sama dengan nasi Indonesia. Tidak ada yang berbeda. Mungkin, nasi adalah makanan internasional alam semesta.
“Baiklah, kalau begitu nanti siang kita mulai perjalanan.” Hanai memutuskan.
“Memangnya kalian tidak ada kesibukan?” tanyaku.
“Sekarang tidak. Sekarang, kesibukanku adalah mencarikan mantra pulang untukmu.” Kata dia lagi.
Aku terdiam. Rasanya tidak enak dengan mereka. Aku yang baru datang, bahkan baru kenal satu hari lalu, sudah membuat mereka berdua ikut sibuknya. Andai aku bisa mencarinya sendiri, tidak akan begini jadinya.
“Kita mulai dari mana?” tanya Hinia pada kakaknya.
“Pertama, mungkin kita bisa menuju Kuil Damsaqie.”
“Tapi, kan, itu jauh sekali.”
“Lalu kemana kalau tidak ke sana?”
Semua melanjutkan sarapan pagi. Aku sangat bahagia mendapatkan teman perjalanan sebaik mereka. Semoga, aku segera bisa pulang, agar tidak merepotkan lebih besar dan lebih banyak lagi.
“Bagaimana, Safa, kamu suka dengan masakan kami pagi ini?” Hinia meminta penilaian.
“Aku suka, rasanya tidak jauh berbeda dengan masakan kami.” jawabku datar.
“Ha? Apakah benar? Apakah di bumi masakannya seperti ini?” Hanai terkejut sepertinya.
Aku kaget juga. Apakah tempat ini bukan bumi? Apakah aku berada di planet lain?
“Iya, Safa, saat ini kamu sedang berada di planet Kulstar. Gugusan planet dari galaksi Valmoursi.” Hanai menjelaskan.
Saat inilah aku baru mengerti, bahwa aku tidak di bumi lagi. Dan, nama planetnya aneh sekali, belum pernah aku mendengarnya. Galaksi Valmoursi? Galaksi apa itu? Apakah jauh dengan Bima Sakti?
Hem... ini benar-benar kisah yang sangat mendebarkan. Bagaimana mungkin hanya dengan membaca mantra beberapa baris aku sudah berada di planet lain? Hemm... sungguh pengalaman yang sangat menantang dan juga sangat mengesankan. Perjalanan ini sangat mengesankan. Mungkin, jika dijadikan sebuah novel maka akan menjadi novel paling best seller. Sebab, pertama, ditulis oleh orang yang mengalaminya sendiri. Dua, memang ini adalah sebuah kisah yang nyata.
Ah, tapi aku tidak bisa terlalu bahagia. Bukankah dengan berada di planet lain aku harus mencari jalan keluar? Bukankan demikian seharusnya? Iya, aku harus segera mencari jalan untuk kembali pulang, entah itu dengan apa, atau dengan cara yang sudah disebutkan oleh mereka berdua, mencari mantra kepulangan.
Ini adalah awal sebuah kisah, permulaan sebuah kisah. Bisa jadi kisahku di planet ini sangat panjang, sebab tidak ada manusia yang bisa menentukan masa depan. Pun dengan masa depanku di planet aneh ini. Kulstar.
Baiklah, aku sekarang akan menikmati makanan ini. Mungkin, aku adalah orang pertama kali yang makan di plane lain, kalau tidak salah. Wkwkwk. Entahlah, rasanya aku masih berada di bumi saja. Tidak banyak yang berbeda kecuali nanti, aku mengetahui bahwa ada sebuah teknologi yang lebih tinggi daripada teknologi bumi.
Omong-omong, bagaimana keadaan orang tuaku di rumah? Apakah baik-baik saja? Bagaimana jika aku tidak bisa kembali pulang secepat mungkin? Pastilah mereka akan sangat kebingungan mencariku. Pertama, karena aku tidak pernah pergi lama, kecuali dengan ijin yang jelas. Kedua, aku jarang sekali keluar jauh dari rumah. Wkwkwk. Biasa, aku adalah anak mama.
Teman, semoga saja aku lekas menemukan cara untuk segera kembali ke bumi, dan berkumpul seperti biasanya dengan keluargaku. Amin.
Eh, teman-teman, apakah kalian sudah tahu kisah pertama kali aku menemukan buku ajaib ini? Aku lupa. Wkkwkw. Apakah aku sudah mencaritakannya kepada kalian atau belum. Aku tidak akan menceritakannya lagi sekarang. Semoga saja aku sudah pernah menceritakannya kepada kalian, jadi aku tidak perlu repot-repot lagi menceritakan kepada kalian. Hahaha. Ikuti terus kisahku sampai selesai.
Siang harinya kami benar-benar berangkat menuju Kuil Damsaqie. Persiapan perjalanan cukup banyak. Untunya, Hanai mempunyai mantra untuk menyimpan barang pada alam ghoib, sehingga kami tidak keberatan membawa. Aku hanya membawa tas punggung kecil, berisi makanan dan air bersih.“Untuk sampai menuju Kuil, kita membutuhkan waktu sekitar satu setengah hari.” Hanai memimpin perjalanan.“Sudah tahu, kali.” Hinia mencibir.“Tapi, kan, Safara belum tahu.” Hanai membelalakkan mata pada Hinia.Begitulah mereka berdua. Namanya juga adik-kakak. Kalau dekat bertengkar, tapi kalau jauh rindu mungkin. Memang, adik-kakak adalah dua spesies manusia yang sulit dimengerti. Tidak pula untuk dipisahkan.“Jauh juga, ya.” Aku berkata sendiri.“Sebenarnya tidak terlalu jauh. Hanya saja, nanti ada beberapa tempat pemeriksaan. Sedangkan kamu bukan spesies manusia Kulstar, maka kita akan melewati sebuah ja
Kawan, perkenalkan namaku Safara Yunan. Aku adalah seoarang perempuan yang selalu ceria. Usia 20 tahun. Tidak ada yang perlu aku bebankan dalam hidupku, sehingga menjadikan langkah berat. Tidak, aku adalah wanita yang kuat.Teman, aku akan menceritakan kepadamu sebuah kisah ajaib dalam hidupku. Ini adalah tentang buku ajaib. Buku yang selalu aku bawa kemana-mana. Tidak pernah aku meninggalkan dalam sedetikpun, tidak pernah setelah aku menemukannya.Lima tahun yang lalu, ketika aku jalan-jalan disebuah taman kota Madiun, aku menemukan sebuah buku antik. Lumayan antik, aku sangat menyukai bentuknya, warnanya, sampai aku menyukai isinya.Buku itu berwarna coklat tua, sangat gelap. Namun, judulnya sangat cerah, berwarna kuning keemas-emasan. Aku tidak paham dengan bahasa judulnya. Namun anehnya, dari sekian keanehan, terdapat bahasa Jawa di dalamnya.“Emm, buku apa itu?” tanyaku dalam hati ketika pertama melihat buku itu.Saat itu, aku mene
Mobil terbang berjalan dengan kecepatan standar, 60 km/menit, menggunakan kemudi manual. Hanai, berhati-hati betul dalam mengemudikan mobil. Aku melihat kesamping, Hinia tidur lelap di atas kursinya yang dibuat seperti tempat tidur. Aku tidak jadi tidur, kasihan kepada Hanai kalau aku ikutan tidur.“Memangnya tidak ada jalur pasti untuk mobil terbang ini?” tanyaku pada Hanai.“Kamu bertanya pada siapa?” Hanai menjawab.“Ya, kamulah. Memangnya ada siapa lagi.”“Oh, aku kira bertanya kepada Nia.”“Dia sedang tidur.”“Kok, kamu tidak menyebut namaku?”Ha? Iya, aku baru sadar, bahwa aku belum pernah menyebutkan namanya. Entah kenapa, aku harus malu ketika akan menyebut namanya. Sehingga, sampai detik ini aku belum pernah menyebut namanya.“Kamu sebut saja namaku dengan sebutan Nai, gampang, kan?” perintahnya.Baiklah, mulai sekarang aku akan
Dua belas jam penuh kami mengudara bersama mobil terbang. Kadang, Nia yang menggantikan Nai, ketika dia lelah. Sebenarnya, aku ingin menggantikan, masalahnya aku belum bisa mengemudikan mobil terbang itu.Sekarang malam tiba, namun belum terlalu gelap. Atau mungkin, planet Kulstar tidak pernah gelap? Lampu-lampu menyala indah, dari berbagai atap rumah. Aku melihat jam tangan milikku, pukul setengah sepuluh malam.Kenapa, ya, jam tangan ini masih sesuai dengan waktu planet Kulstar? Apakah sama waktu Bumi dengan Kulstar? Kebingunganku terjawab ketika Hanai menjelaskan.“Jadi, semua mesin waktu dengan otomatis akan menganut waktu Kulstar. Belum lama sebenarnya alat pemersatu itu digunakan, baru sekitar lima tahunan. Jadi, jika kita melalui suatu wilayah yang waktunya berbeda, mesin waktu milik kita akan menyesuaikan dengan posisi.”“Tapi, kan, jamku ini bukan buatan Kulstar?” aku masih minat bertanya.“Ini untuk semua ala
Moter sudah mengudara dengan normal. Dan kali ini, rupanya Nai bertambah hati-hatinya. Dia menjaga jarak dengan moter lain, tidak terlalu dekat. Begitu pula dengan kecepatannya, tidak terlalu ganas lagi. Kemudi manual beroperasi.“Kenapa, Nai, bisa sampai tabrakan?” tanya Nia yang tidak tidur lagi.“Siapa yang tabrakan?” Nai menjawab.“Kita-lah.”“Tidak, hanya srempetan.”“Sama saja. Kenapa?”“Tidak sengaja. Terlalu cepat moternya.”Kemudian Nia melanjutkan tidurnya. Mudah sekali dia tidur. Padahal, aku yang dari tadi menginginkan tidur, tidak lekas juga menutup mata. Aku menyempatkan diri melihat jam tangan, pukul satu pagi.“Safa, lanjutkan tidurmu.” Nai berkata.“Tidak, belum ngantuk lagi.”“Kalau begitu ceritalah!”“Cerita apa?”“Kehidupanmu di Bumi.”“T
Benar, pukul delapan pagi aku dibangunkan oleh tangan lembut Nai. Matanya terlihat merah, wajah lesu. Mungkin tadi semalaman dia tidak tidur.“Silahkan, manusia Bumi itu harus segera masuk ruang rahasia.” Kata Kanisan.“Dimana?” tanya Nai.Kanisan mengetikkan sebuah kode pada layar depan moter. Lalu, setelah dia selesai menuliskan, keluar sebuah cahaya putih dari bagian belakang moter. Dari sana, terbentuk sebuah pintu besi, hitam. Apakah itu ruangan yang akan aku masuki?“Nah, itu, silahkan masuk, manusia.” Kanisan lagi.“Nanti, setelah dia masuk, dia akan dikemanaka-kan?” tanya Nai lagi.“Dia hanya berada di balik ruang moter ini. Tidak usah terlalu khawatir.” Kanisan tersenyum.“Safa, masuklah. Jangan takut.”Akhirnya aku menuruti apa yang dikatakan oleh Nai. Aku masuk ruangan itu tanpa adanya sebuah rasa takut. Tapi, rasa-rasanya aku juga takut.
Malam-malam Ketua Keamanan datang pada Pemimpin Keamanan. Dia melaporkan bahwa ada hal aneh beberapa hari terakhir ini.“Pai, sistem keamanan kota beberapa hari terakhir mendapatkan hasil pantauan kurang menyenang-kan.” Katanya pada Pemimpin Keamanan.Pemimpin Keamanan tidak bertanya begitu saja, melihat mimik wajah Ketua Keamanan dengan seksama, barulah mengeluarkan intrgasi.“Apa makudmu?” begitu.Pemimpin Keamanan itu berbadan tegap, meskipun dalam posisi duduk. Demikian, ketika berdiri badannya semakin tegap, semacam tentara. Wajahnya merah padam, selalu begitu. Namun dari wajah yang merah padam itu, keluar sebuah sinar kehalusan hati.Pimpai, adalah nama Pemimpin Keamanan itu. Sedangkan Ketuan Keamanan, yang badannya hampir sama dengan Ketua, tinggi besar, bernama Dolkai. Wajahnya menunjukkan bahwa dia adalah orang kasar, tidak sabaran, namun teliti. Tidak gampang menyerah pula.“Sistem kami mendeteksi bahw
Setelah Kalsti berhenti bekerja pada sore itu, dia pulang menuju rumahnya. Dalam otaknya hanya ada satu angan-angan, satu keinginan, satu rencana, menangkap secepat mungkin makhluk aneh yang sedang menjadi berita terhangat.Bukan hanya soal keamanan Kulstar, tapi lebih pada sebuah pangkat. Andai dia segera mendapatkan cara terbaik, jitu, segera menangkap makhluk yang dipercaya adalah manusia, maka dia akan naik pangkat. Tidak akan hanya menjadi asisten saja seperti saat ini.Maka, setelah sampai rumah dia melupakan istirahat. Hanya makan, minum, mandi, setelah itu kembali bekerja pada ruangan pribadinya. Kalsti adalah orang yang sangat suka dengan perkembangan teknologi, selalu mengikuti perkembangan yang terjadi. Tidak disanksikan lagi bahwa di rumahnya, disetiap sudut remahnya, terpapar sebuah alat-alat canggih.“Apa alat yang bisa aku gunakan untuk saat ini?” katanya dalam sepi ruangan kerja pribadinya.Dia berpikir, berpikir, dan berpikir.