Sesuai yang disarankan bu Rita, aku harus memulai aksiku. Ku selesaikan pekerjaan wajib di rumah ini. Mama masih mendiamkanku. Mungkin dia masih kesal dengan kejadian uangnya yang hilang itu, yang membuat mbak Helen mengomelinya. Syukurlah, setidaknya aku terbebas beberapa saat dari omelannya."Awas kamu, perempuan sialan. Aku pasti akan membuktikan kalau kamu malingnya," sungut mama saat berpapasan denganku. Aku menggendikkan bahu, tak peduli. Lagipula, dengan cara apa mama akan membuktikannya? Kejadian itu sudah lumayan lama. Tidak ada cctv, atau kamera perekam lainnya. Dan lagi, aku juga tidak pernah mengambil uang mama lagi untuk belanja. Sudah ada mas Rendi yang mengurusnya. Dia yang bertanggung jawab atas nafkah keluarga."Mas Rendi tidak ke Tangerang lagi?" tanyaku memijit lengannya. "Kau ingin aku pergi, Vi?" tanyanya dengan raut kecewa."Em, bukan begitu. Tapi ..." aku sengaja menggantungkan kalimatku. Aku taksir, mas Rendi akan mengira aku pasti berkeinginan mengikuti dia k
Ku lihat mbak Helen bergegas masuk. Memeriksa bunyi yang membuatnya curiga tadi. Sembari menahan napas seiring jantung yang berdegup kencang."Meaow."Langkah mbak Helen terhenti. Menatap galak kucing hitam yang mengeong. Duagh! Aku hampir memekik. Mbak Helen menendang kucing tak bersalah itu."Kucing sialan! Mengganggu saja. Minggir sana!"Kucing malang itu lari terbirit-birit. Maafkan aku kucing, kamu menjadi korban padahal tidak melakukan apa-apa.Mbak Helen masih mengomel. Jelas saja dia juga deg-degan mendengar suara benturan tadi. Kalau sampai yang tahu rencana liciknya itu mas Rendi, dia bisa habis. Kini wanita licik itu kembali ke kamarnya. Aku menyeringai miring. Ah, malang sekali nasib mas Rendi. Mempertahankan mbak Helen, padahal mbak Helen hanya mengincar hartanya saja.Sepertinya permainan akan semakin seru...Ku kembangkan usaha kue lebih maju lagi. Kami membeli ruko khusus di kota kecamatan dengan tema kue unik tradisional. Mengurusnya berempat pastinya. Kami sampai
Via, namaku. Gadis dua puluh satu tahun yang membiayai kuliahnya sambil bekerja di rumah makan Padang di kota ini. Aku berasal dari keluarga yang kurang mampu, karena itu segala macam pekerjaaan ku lakoni demi kelangsungan pendidikanku dibangku kuliah. Sesekali aku juga mengambil pesanan kue-kue untuk acara. Yang tentu saja kukerjakan setelah pulang dari bekerja di rumah makan. Capek memang. Pagi berangkat kuliah, langsung kerumah makan. Dan setelah lelahnya bekerja, terkadang harus membuatkan pesanan. Di rumah makan ini juga, pertama kali aku bertemu dengan mas Rendi. Seorang pria rupawan nan baik hati. Dia sering berkunjung kerumah makan tempatku bekerja sekedar untuk makan. Dari yang aku tahu, dia adalah pria sukses. Dia selalu memakai setelan jas rapi, layaknya pria kantoran. Dia selalu melihatku dan menyapaku yang sedang bekerja dengan seulas senyum manisnya. Dan itu juga yang membuat hatiku bergetar, grogi. Bahkan tak sungkan ia memberi pujian padaku, setiap kali mengantar pes
"Kamu yakin Vi, sama keputusanmu?" Fadil menatapku tak percaya. Aku mengangguk. Aku baru saja mengatakan padanya untuk berhenti kuliah. Dan lihatalah reaksi sahabatku ini, dia kaget? Tentu saja. Tapi kubiarkan saja dia dengan pikirannya. Aku memilih menatap langit bertabur bintang yang rasanya lebih indah dari malam-malam kemarin. Seulas senyum terbit di bibirku. Ah, semenjak mas Rendi melamarku, dunia rasanya semakin berwarna."Karena apa?" Pertanyaan Fadil menghentikan lamunanku. Aku menoleh, nada suaranya terasa berbeda.Dari sorot matanya, aku rasa dia kecewa dengan keputusanku untuk drop out dari kampus. Tanganku meraih kaleng minuman dingin yang sedari tadi menemani obrolan kita.Pemuda disampingku ini tertegun. Menatapku lama, tatapan yang sebenarnya sempat menggetarkan hatiku. Tapi itu dulu ya, aku sadar diri, perbedaan kita terlalu jauh. Dia berasal dari keluarga yang kaya, terhormat, dan ... pokoknya segalanya deh. Dan aku? Hmm, hanya sebatas gadis yang sering terseok-seok m
Singkat cerita, aku dan mas Rendi resmi menikah. Sayangnya, kata mas Rendi orang tuanya tidak bisa datang. Aku memakluminya. Karena memang jarak yang sangat jauh.Sama sepertiku, mas Rendi juga merupakan perantau. Aku di ujung selatan pulau Sumatera, sedangkan mas Rendi berasal dari ujung pulau Jawa. Kami bertemu di sebuah kota di Jawa Barat.Untuk akad nikahnya, kami mengadakan di kediamanku. Dan selama seminggu, mas Rendi izin cuti dari kerjanya.Kini, setelah menikah, aku ikut ke mes, tempat tinggal mas Rendi selama bekerja."Vi, Bulan depan kita pulang ya," ajak mas Rendi."Maksud mas kerumah orang tua mas Rendi?" Mas Rendi mengangguk.Aku melonjak senang. Akhirnya, aku akan bertemu dengan mertuaku juga. Tapi degdeg-an juga sih, ada perasaan khawatir. Bagaimana jika mereka kurang menerima kedatanganku? Apalagi, aku sering mendengar cerita dari teman-teman perempuan di mes. Katanya mereka lebih memilih tinggal di mes daripada bersama mertua. Tapi tetap saja, aku ingin bertemu mertu
"Mas, tolong jelasin. Apa maksud semua ini?" Aku menginterogasi mas Rendi setelah kami dikamar kami. Mas Rendi menghela napas. Tadi hampir saja terjadi perang, bahkan wanita itu berhasil menampar pipiku, dan mengataiku 'pelakor', 'wanita sialan', dan kata kata berisi makian kotor lainnya, sebelum kemudian akhirnya mas Rendi mengalihkanku ke kamar. Sementara ibu dan wanita tadi berteriak teriak marah dan memaki maki dari luar. Aku sedikit banyak sudah dapat meraba apa yang terjadi. Mas Rendi sudah beristri. Jadi aku pelakor?Aku memegang kepalaku yang mendadak terasa berat. Kejutan? hah! kamu sudah berhasil memberi kejutan untukku mas. Tapi aku harus mendengar langsung dari mulutmu langsung."Bukankah aku sudah bilang berkali kali Vi. Jangan kaget jika yang terjadi tidak sesuai dengan bayanganmu.""Tapi kan gak gini juga mas,""Benar, bukan ini yang aku bayangkan. Khayalanku salah total. Aku kira aku akan mendapat sambutan hangat. Tapi nyatanya apa ...." Aku terisak. Sesak sekali dada
Efek kelelahan karena perjalanan dan menangis tadi membuatku terbangun jelang malam. Aku keluar dengan mata yang masih sembab, dan kepala sedikit pusing. Aku membuka pintu kamar, dan berjalan kebelakang untuk membasuh wajah.Namun, ternyata dimeja makan mereka sudah berkumpul. Aku memaksakan mengulas senyum, meski hanya mendapat tatapan tak mengenakan dari mereka."Jadi wanita pemalas seperti ini yang kamu nikahi, Ren. Jam segini baru bangun, huh!" Aku tersenyum tipis. Meski sebenarnya sakit sekali."Sudahlah ma, bagaimanapun juga dia istri Rendi.""Lalu aku kamu anggap apa, Mas?" Istri pertamanya yang sedari tadi diam mulai mengeluarkan kembali unek uneknya. Nada bicaranya cukup menusuk."Kamu tetap istriku Helen. Apa kamu lupa?" jawab mas Rendi dingin.Wanita yang dipanggil Helen itu mendengus. Wajahnya memerah. Menatapku tajam, sebelum akhirnya membuang mukanya kembali."Sudah, cuci muka dulu Vi. Nanti kesini lagi, makan malam," perintah mas Rendi. Aku mengangguk . Meski merasa be
Pagi menyapa suram.Aku menguap lebar, mengangkat kedua lenganku keatas. Peregangan sejenak. Aku sedikit mengernyitkan mata, sinar matahari nekat menerobos dari celah hordeng jendela yang sedikit terbuka. Hmm.. Jangan bilang aku bangun kesiangan ya, apalagi pemalas, kebiasaanku begini. Suka bangun agak siang. Biasalah, di kosan tidak ada aturan untuk bangun pagi.Aku memandang sekeliling. Asing. Aku mengernyitkan dahi. Ah! ya, aku lupa. Sejak kemarin aku berada di rumah mas Rendi. Sejenak ku hela napas panjang. Hari baru akan segera terlewati.Aku berjalan menuju meja rias dan menyisir rambut panjangku. Mengikatnya kebelakang.Melamun seraya melirik pintu kamar. Sepertinya dari tadi malam mas Rendi belum masuk kekamarku. Setelah membenahi tempat tidur, aku membuka pintu dengan menguap. Lalu berjalan kekamar mandi.Kulihat mbak Helen sedang mengecat kukunya. Aku tersenyum menyapa. Namun dia hanya melirikku selintas, tidak menanggapi. Dan kembali mengurusi kukunya."Ya ampun. Jam segin