Share

Bab 8 Kesepakatan

“Gue belum bilang setuju, ya, Lex! Jangan seenaknya memutuskan.” Aku menatap tajam pemuda di hadapanku.

Aku memang berutang banyak padanya, tapi bukan berarti dia bisa mengendalikan hidupku seenaknya.

“Kali ini posisi lo hanya bisa menurut, Ra? Jangan buat semuanya jadi sulit. Gue gak mau menggunakan cara kasar.” Alex berbicara santai. Dia bahkan sempat-sempatnya membereskan bekas makan kami.

“Lo bener-bener brengsek!” umpatku sambil menghentakkan kaki.

“Mulut lo, Ra! Sejak kapan kata-kata lo jadi kasar begini?” Alex menatapku tajam.

“Gue gak mau nikah sama lo. Lo pasti punya rencana macam-macam, kan?”

“Mau gue cuma satu macam. Tubuh lo! Lo gak mau ngelakuin itu di luar nikah, kan, makanya gue ajak lo nikah siri.”

Aarrrggh.

Dada mulai bergemuruh melihat Alex yang terus-menerus bisa mengendalikan keadaan. Haruskah aku menurut begitu saja. Kalau aku membantah, memangnya aku bisa mendapat uang sebanyak itu dari mana.

Tuhan. Kirimkan aku dewa penolong yang memberi tanpa pamrih.

“Ijan qabul di rumah gue. Lo cukup bawa saksi aja.” Alex berdiri dan melangkah begitu saja. Tidak peduli denganku yang masih menahan gemuruh di dada ini. Dasar orang kaya, seenaknya mengambil keputusan di kehidupan orang.

**

“Teh, berasnya abis, besok gak bisa masak nasi?” Aku terhenyak dengan pernyataan Ridho. Adikku ini memang bertugas untuk menanak nasi setiap harinya. Karena terkadang aku mencari tambahan uang dengan mencuci baju tetangga. Itu kukerjakan di pagi hari, tepat sebelum berangkat sekolah. Dan Ridho dengan senang hati mau membantu pekerjaan rumah.

“Besok kita puasa dulu gak apa-apa, Dek?” Hatiku nyeri saat mengatakan itu. Sudah sering kami terpaksa puasa karena tidak ada makanan yang bisa dimakan.

“Gak apa-apa atuh, Teh. Tadi siang udah makan enak ini.” Rani menyahut dengan wajah semringah. Hatiku bertambah nyeri melihat ekspresi kedua adikku yang tidak keberatan sama sekali. Jika aku menolak permintaan Alex, nasib kedua adikku akan lebih buruk dari ini. Kami akan jadi gelandangan karena pemuda itu pasti tidak sudi membiarkanku hidup tenang di sini, padahal belum bisa membayar utang.

“Ya udah, sekarang Teteh mau keluar dulu bentar. Kalian kunci pintunya. Jangan bukain pintu buat siapa pun sebelum teteh pulang, oke. Kalau teteh kemalaman, kalian tidur aja. Nanti teteh bawa kunci cadangan.”

“Mau ke mana, Teh? Ini udah jam delapan malam.” Ridho bertanya dengan nada khawatir.

“Ketempat temen teteh.”

Aku akan ke tempat Alex. Mau tidak mau harus menuruti maunya. Sudah bisa ditebak, pemuda itu tidak akan melepaskanku begitu saja. Jadi, sebaiknya aku bekerja sama. Kuputuskan berbicara di rumahnya karena tidak ingin teman sekolah tahu. Kebetulan malam ini warung Bu Jamilah tutup. Jadi aku rasa ini waktu yang tepat.

Rumah Alex cukup jauh. Berjarak dua puluh menit dengan kendaraan bermotor. Aku menggunakan angkutan umum yang masih banyak beroperasi. Lebih murah ketimbang naik ojek. Meskipun untuk ke dalam perumahan aku harus berjalan kaki.

Tepat pukul 20.30, aku sampai di kediaman Alex. Bangunan lama dengan pagar besi setinggi pinggang dan di cat cikelat. Halamannya ditumbuhi rumput yang subur. Ada sebuah pohon mangga yang terletak di sudut ruang terbuka tersebut.

Menurut kabar, Alex tinggal di rumah neneknya agar lebih dekat dengan sekolah. Walaupun kuno, tapi penataan taman kecil di halaman ini membuat suasana rumah tampak nyaman. Sangat terawat.

Aku berdecak saat menyadari sesuatu. Kenapa tadi tidak mengirim pesan. Bisa jadi Alex sedang keluar. Menurut Sarah pemuda itu kerap nongkrong di klub bersama temannya.

“Ah bodoh! Sudah capek malah orangnya gak ada.” Aku mengomel sendiri. Sudah memencet bel berkali-kali, si empunya rumah tidak juga membukakan pintu.

Fix. Alex pasti sedang keluar.

Baru dua langkah meninggalkan teras, terdengar suara pintu dibuka. “Ra, kok, gak kasih kabar mau ke sini?”

Aku bernapas lega mendengar suara Alex. Pemuda itu sepertinya baru selesai mandi. Terlihat dari rambutnya yang masih basah.

Oooh jadi itu sebabnya Alex tidak segera membuka pintu.

“Lo ada waktu gak? Gue mau ngomong masalah kemarin.”

“Masuk dulu, Ra. Di luar dingin. Kamu ke sini naik apa? Gak pakai baju hangat lagi.” Alex menggeleng melihat penampilanku yang hanya mengenakan kaos plus celana jeans, “lain kali telepon aja. Biar gue yang ke tempat lo.”

Alex menarikku begitu saja lalu membimbingku duduk di sofa. “Gue bikin minum dulu.”

“Gak usah, Lex –” Belum selesai bicara Alex susah menghilang di balik pintu.

Aku mengamati sekeliling. Ruangan ini bercat putih ini sangat nyaman. Satu set sofa warna hitam. Ada meja panjang tepat di seberangnya dengan beberapa pernak-pernik dan foto keluarga. Di atasnya ada hiasan dinding berupa kaligrafi Asmaul Husna. Aku menduga, itu pasti pilihan neneknya Alex. Karena mustahil pemuda seperti Alex memilih hiasan semacam itu.

“Nih, biar badanmu anget. Lain kali gak usah ke sini. Biar gue yang ke sana. Gak baik cewek jalan sendirian malam-malam gini.”

“Ck, aku usah lebay deh.” Aku mencibir pada Alex. Sikapnya makin ke sini sok ngatur. Sok peduli. Padahal aku belum mengatakan setuju dengan pernikahan itu.

“Bukan lebay, tapi gue gak mau kalau sampai apa yang gue inginkan diambil orang. Lo lupa tempo hari Juragan Jaka mau nodai lo.”

Astaga! Aku kira dia peduli denganku. Nyatanya hanya mengkhawatirkan kesenangannya sendiri.

Sebelum mengatakan niatku ke rumah ini, aku menyeruput lebih dulu cokelat panas yang dibikinkan Alex. Manis. Creme. Dan aromanya menenangkan. Alex pintar sekali memilihkan minuman untukku.

“Gue setuju dengan permintaan lo. Dan setelah itu, apa yang harus gue lakuin?”

“Pakai nanya, ya belah durenlah?” Alex menyeringai lebar.

Sial. Kenapa dia santai sekali mengatakan itu. Padahal jantungku sudah dag dig dug.

“Maksudnya, gue gak perlu tinggal bareng lo, kan? Karena gue gak mungkin ninggalin adik-adik gue.”

“Soal itu gampang, Ra. Gue bakal jemput lo kalau emang lagi pengen aja, kok.”

Aku mendelik mendengar ucapan Alex. Sekarang menjadi gadis paling murahan. Cewek panggilan. Yang dipanggil ketika mau begituan saja.

Astaga! Jalan hidup apa yang aku pilih?

“Lo udah makan?” tanya Alex dengan lembut.

Aku menjawab dengan gelengan. Sumpah. Sekarang berasa jadi gadis paling lemah, yang bergantung pada Alex. Sekedar memenuhi isi perut pun dia yang memenuhinya.

“Ya udah, yuk! Makan dulu di luar sekalian gue antar pulang. Gue ambil jaket dulu.”

Lagi-lagi Alex langsung nyelonong masuk. Begitu kembali dia langsung memakaikan jumper army di tubuhku. Aku yang terkejut, hanya menurut saja ketika dia memasukan kepalaku ke lubang baju hangat tersebut. Pemuda ini merapikan rambutku begitu selesai memakaikan baju.

“Yuk!”

Aku berjalan di belakang Alex. Pemuda itu gegas mengunci pintu dan mengeluarkan motor dari garasi. Aku berdecak kesal, motor Alex tidak nyaman jika dibuat berboncengan. Aku harus duduk merapat agar tidak pegal atau pun jatuh.

“Peluk, Ra!” serunya sambil menarik tanganku lalu melingkarkannya di perutnya.

Aku hanya bisa mendengkus menuruti semua permintaannya. Hanya beberapa menit, kami berhenti di depan kedai sate.

 “Lex, boleh gak makan malamnya diganti uang aja.” Aku mengatakan itu dengan menahan malu. Apalagi Alex sekarang menatapku dengan satu alis terangkat.

Bodo amat Alex mau berpikir apa. Yang terpenting besok Ridho dan Rani bisa makan. Akan kugunakan uang pemberian Alex untuk membeli beras dan telur.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status