Share

Awal Penderitaan Dimulai

Gio kembali menarik tangan Handika. Pria itu membawa temannya semakin masuk ke TKP. Mereka berhenti tepat di tengah-tengah halaman rumah Rendra. Karena Handika bersama dengan Gio, pria itu bebas masuk ke TKP asalkan tidak menyentuh apapun dan tidak mengganggu penyelidikan.

“Aku tidak tahu, tetapi aku curiga jika ini bukan pembunuhan yang disengaja. Masa' iya seorang wanita muda tega membunuh pria yang umurnya jauh di atasnya? Dunia sudah beneran rusak dong,” ujar Gio mencoba menerka kasus yang ia tangani itu.

Handika mengangguk setuju dengan pendapat Gio. Ia sedikit tahu sifat korban, jadi ia setuju jika kasus ini bukan murni pembunuhan, melainkan ada faktor lain yang membuat tersangka —Hazel— berani melakukan tindak kriminal yang begitu menggegerkan.

“By the way, kamu kenal pengacara di sekitar sini tidak? Yang lumayan murah gitu, jangan yang mahal-mahal, aku tidak mampu," tanya Handika tiba-tiba.

“Hah? Kamu kenapa tiba-tiba ingin mencari pengacara? Memangnya kamu terlibat kasus apa? Sengketa tanah? Gila aja, loe kan belum punya rumah,” tanya Gio setengah mengejek.

Handika mendengus. Biasanya ia akan menanggapi ledekan temannya, tetapi kali ini ia sedang di-mode ‘tidak ingin diganggu’. Pria itu mengedikkan bahunya asal. Untuk kali ini Gio tidak harus mengetahui semuanya, atau sejauh ini jangan dulu.

“Sejak kapan kamu jadi main rahasia-rahasiaan seperti ini? Serius tidak lagi terjadi apa-apa, ‘kan?” Tadinya Gio keheranan, tetapi sekarang ia mulai mengkhawatirkan teman dekatnya itu.

Bagaimana tidak khawatir, Handika tinggal jauh dari orang tuanya. Ia merantau ke Jakarta sejak diterima sebagai PNS. Handika tinggal sendirian di kontrakan kecil. Hanya Gio dan satu temannya lah yang menemani pria itu. Itupun kalau keduanya tidak sama-sama sibuk bekerja sebagai polisi yang jadwalnya jauh lebih padat dibanding dengan sipir penjara seperti Handika.

“Tidak. Tadi aku cuma bertanya. Soalnya ada keluarga tahanan yang menanyakan itu kepadaku. Ya, barangkali kamu tahu dan bisa membantuku,” balas Handika berbohong.

Alasan itu cuma kebohongan. Tidak ada keluarga dari tahanan yang bertanya kepadanya soal itu. Handika bertanya soal pengacara sebab ia ingin menyewa jasanya untuk dirinya sendiri. Bukan karena ia sendiri yang terlibat kasus, tetapi pengacara itu disewanya untuk kasus Hazel. Ia merasa bertanggung jawab atas kejadian ini, meskipun ia tidak terlihat secara langsung dengan tragedi berdarah tersebut.

“Aku ada kenalan, tapi nanti ya aku kirim nomornya ke kamu. Dia pengacara yang mempunyai sisi manusiawi, tapi ya agak mahal sih. Cuma aku bertaruh kamu bakalan puas sama kerjanya. Dia nih terkenal jujur banget. Dia paling tidak suka disogok,” ujar Gio.

“Okay, kalau bisa hari ini, ya. Butuh banget soalnya,” ucap Handika seraya menepuk bahu teman akrabnya itu.

“Ya sudah, aku balik dulu. Semangat kerjanya, semoga kasus ini segera selesai,” lanjutnya.

Handika langsung berbalik dan meninggalkan Gio yang masih bertanya-tanya dengan tingkah aneh temannya itu. Tidak biasanya Handika menyembunyikan sesuatu darinya. Namun, tidak ada yang bisa dilakukan Gio. Ia tidak mungkin mendesak temannya itu untuk mengatakan yang sejujurnya.

Sementara itu....

Hazel baru saja sampai di rumah tahanan samping gedung utama kantor polisi itu. Selama masa penyelidikan dan peradilan berlangsung, Hazel harus ditahan di sana bersama dengan tersangka kasus lainnya.

“Ough!” Hazel mengaduh ketika ia terjatuh ke lantai karena ulah polisi yang mendorong tubuhnya dengan kasar.

Hazel ditempatkan di satu sel sempit yang berisi 4 orang tersangka lainnya dengan jenis kelamin yang sama. Setelah pintu sel dikunci dengan gembok, polisi itu pergi begitu saja.

“Kamu dengar tadi para polisi membicarakan apa? Apa jangan-jangan wanita ini pelakunya? Ish... ish... ish... rupanya masih bocah, tapi sudah berani tengil,” sindir salah satu tersangka yang menempati sel itu, namanya Rani.

“Lah, iya. Berani sekali ya dia membunuh orang lain. Kita memang melakukan kejahatan, tetapi tidak se-fatal wanita itu,” balas tersangka lainnya.

Rani langsung menghampiri Hazel yang masih terduduk di lantai dingin sel itu. Ketika sampai di depan Hazel, tanpa berpikir panjang Rani langsung menendang Hazel dengan cukup kuat.

“Akh!” Lagi-lagi Hazel mengaduh kesakitan ketika tendangan Rani mengenai perutnya.

Hazel mencoba untuk membela diri dari serangan itu, tetapi tubuh Rani jauh lebih besar, begitu pula tenaganya. Jadi Hazel tidak bisa menahan tendangan dan pukulan yang ditujukan kepadanya itu.

“Loe, pembunuh sialan. Malu-maluin kaum kita saja!” bentak Rani.

Rani tidak berhenti begitu saja. Wanita yang menjadi tersangka karena kasus penjambretan tas itu tidak henti-hentinya menendang tubuh Hazel hingga Hazel terpental ke belakang.

Tiga orang lainnya bukannya melerai, mereka malah bersorak kegirangan melihat Rani menganiaya Hazel. Meskipun sel itu menjadi lebih gaduh dari sebelum, tetap saja tidak ada satu pun polisi yang datang untuk memisahkan keduanya.

"Ugh...," lirih Hazel kesakitan.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Hazel dipukuli oleh orang lain sampai hidung dan sudut bibirnya mengeluarkan darah segar.

“Percuma cantik kalau sifatnya seperti iblis!” hina Rani seraya mengayunkan kakinya ke belakang sebelum akhirnya ia menendang Hazel dengan lebih keras dari sebelumnya.

Hazel tak berdaya lagi. Akhirnya ia terbaring lemas di lantai dingin sel penjara itu.

Rani melakukan itu karena ia membenci perbuatan yang dilakukan oleh Hazel. Meskipun ia juga telah melakukan kesalahan, menurutnya perbuatan Hazel lebih berdosa dibanding dirinya sendiri.

Rani tahunya Hazel adalah seorang pembunuh. Ia tahu itu setelah mendengar obrolan singkat polisi-polisi yang bertugas di sana.

“Hei, tersangka R! Berhenti atau anda bisa terjerat pasal penganiayaan!” teriak seorang polisi.

Akhirnya setelah 10 menit Hazel menderita karena serangan Rani, seorang polisi datang dan langsung mengamankannya dari sel itu.

Hazel bisa bernapas lega karena ia tidak ditempatkan di sel yang sama dengan Rani lagi. Kini ia dimasukkan ke dalam sel penjara yang lebih sempit dan hanya bisa ditinggali dua orang saja.

Sesampainya di sel-nya yang baru itu, Hazel langsung duduk di pojokan dengan kedua kaki yang sengaja ia tekuk. Untung kedua tangannya sudah tidak diborgol lagi, jadi ia bisa memeluk kedua lututnya dengan erat. Sel-nya itu terletak paling belakang, jadi pencahayaan lebih remang-remang. Selain itu, udara di sekitarnya juga jauh lebih lembab dan dingin.

Setelah Hazel berusaha menyeka darah segar yang keluar dari hidung dan sudut bibirnya, ia hanya diam melamun sambil menatap lurus ke depan, tepat di arah pintu besi yang menghubungkan dengan ruangan setelahnya.

Waktu terus berjalan dan tidak ada seorang pun yang bisa menghibur Hazel. Akhirnya Hazel menangis lagi. Selain menangisi hidupnya yang begitu sial, ia juga meluapkan emosinya sehabis dipukul dan ditendang oleh tahanan lain. Tubuhnya terasa sangat sakit, nyeri, dan pegal, tetapi tidak ada yang bersedia menolongnya.

“Diamlah, berisik! Tidak ada gunanya menangis,” bentak seorang polisi yang baru saja tiba di sel Hazel.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status