“Baiiklah kyai, saya memahami semua itu. Tapi saya sebagai laki-laki yang sudah sangat jatuh hati dengan putri kyai berusaha untuk mencoba bisa mempersunting putri kyai. Alasan saya mempersuntingmu bukan hanya sekedar paras yang memang cantik, tapi perilaku, kepribadian dan kecerdasannya yang membuat saya luluh untuk jatuh hati yang pertama kalinya. Karena selama ini saya belum pernah merasakan yang namanya jatuh hati kepada wanita. Apapun hasilnya nanti, saya sudah menyiapkan diri dengan segala kemungkinan. Jika kyai berkenan al hess saya sunting saya akan berjanji membuat dirinya bahagia, aman dan nyaman seumur hidup. Tapi sebaliknya jika Alhesa sendiri yang sudah memiliki tambatan hati, dirinya merasa bahagia bersama orang tersebut maka saya akan menerimanya. Bagi saya kebahagiaan Alhesa yang terpenting bagi saya.” Ujarnya kepada nabinya.“Baiklah, saya ucapkan terimakasih atas niat baikmu dan saya juga yakin kamu memang orang yang baik,amanah, dan bisa bertanggung jawab. Tapi kam
Administrasi sudah selesai dilaksanakan oleh Alhesa. Ketika kembali ke kamar dilihatnya semua barang bawaan sudah bersih tidak ada, faqih begitu tangkas dan cekatan akan hal ini, lalu abi dan uminya sudah siap untuk kembali ke pesantrennya.Faqih membantu membopong abinya dari samping dan umi menggandengan tangan alhesa dari belakang. Jika hal ini dilihat orang mereka seperti sudah menjadi keluarga asli. Dimana menantu bersama sang mertua laki-laki dan putrinya bersama sang ibu dari belakang.Sesampainya di mobil kyai ubed yang duduk disamping faqih banyak berbincang mengenai perhelatan politik yang sedang terjadi. Dirinya bersama umi berbincang mengenai model gamis yang saat ini sedang tren. Sudah sangat seperti keluarga yang menyatu dari mereka.Sesampainya dirumah para santri sudah berjejer di sepanjang jalan untuk menyambut sang guru yang sudah sehat. Iringan hadroh dan sholawat saling bersahutan, di saat itu juga kyai ubed menitikan air mata karena pesantren yang selama ini dilind
❤️❤️❤️Seseorang tiba-tiba mendorong tubuhku melesak kembali masuk ke kamar mandi. Napas hangatnya membuat sesak. Bau busuk alkohol yang dulu sangat kusuka, menusuk penciuman hingga mendorong sesuatu dalam perut ingin keluar. Mual. Aku sangat mual. "Fay!" Mataku melebar sempurna, lelaki yang sudah kulupakan keberadaannya kini berdiri di depan dan berbuat kurang ajar. Ke mana semua orang? Kenapa pria ini bisa masuk ke kamar? "Bah! Bu! Mas Indra! Tolong Lian!" Aku berteriak sekuat tenaga. Berharap satu dari mereka datang dan menolong. Tidak ada suara sesiapa. Rumah ini sangat sepi. Ya Tuhan, aku baru ingat tadi pagi Ibu bilang akan ke rumah Bude dengan Abah. Karena perjalanan lumayan jauh, tidak mungkin mereka berboncengan, Mas Indra pasti menyetir mobil untuk mereka. "Diam Jalang!" seru Fay meremas mulutku hingga rasa sakit dan perih menyusul kemudian. "Tidak! Kamu mau apa di sini?" Ya Tuhan aku sangat takut. Apa yang akan pria ini lakukan? Handuk yang terlilit bahkan tak me
"Mana? Di mana bercak darahnya?" Suamiku masih seperti orang kesurupan, membolak-balik sprey yang berantakan karena hubungan pertama kami."E-e-em-maafin Adek," gagapku sambil menunduk dalam. Pria itu menghentikan pergerakan lalu menatap ke arahku."Aku, aku, aku ... sudah tidak perawan," ucapku dengan mata memanas. Air mata ini tumpah juga setelah kutahan-tahan."Kamu membohongiku dan keluargaku, Dik?" Pelan suara itu meluncur dan menekan. Saat mendongak untuk melihat wajah suami, dua mata itu memerah dan basah. Mungkin kah sama sepertiku, matanya perih dan panas? "Ma-maaf."Aku kembali menunduk. Belum juga bisa menstabilkan deru takut dalam dada, lenganku ditarik kasar. Sambil memegangi selimut aku pasrah mengikutinya."Jangan, Gus." Aku menggeleng saat sadar ia akan membuka pintu kamar. Berusaha menahan kemauannya.Di luar banyak sekali orang. Mereka masih bantu-bantu, bahkan dua orang tua dan kakakku masih di sini. Apa suamiku akan mengatakan pada semua orang bahwa aku sudah t
Jantungku detaknya tak beraturan. Apa yang terjadi selama berjam-jam aku menunggu? Pikiran buruk tentang Fay terus mengganggu. Sedikit saja bahkan tak bisa berprasangka baik pada bajingan itu."Kamu harus tetap tenang, Li. 90 persen dari apa yang kita takutkan sering kali tak terjadi. Gegabah hanya akan menghancurkanmu!" Nasihat bijak Ibu terus terngiang-ngiang dalam ingatan. Wanita itu seorang Ibu sekaligus motivator bagiku."Em, maaf, ya, Dik. Tadi guru abang dari Ma'had tempat abang mondok dulu datang. Ndak enak kalau ndak ngobrol dulu.""Inggih Gus, eh, Bang," jawabku gugup. Saat melihatnya sekilas, bibir merah Gus membentuk senyum simpul. Manis.Kenapa dia tersenyum? Jika dugaanku tentang Fay benar, harusnya Gus marah. Kecuali dia seperti malaikat, ah, tapi aku tak percaya jika ada manusia bak malaikat. Ini dunia nyata, segala sesuatunya bersifat realistis. Itulah mengapa aku memilih bungkam."Apa adek mau memulainya sekarang?" tanya Gus Bed yang memandangku dengan jarak begitu
Malam P(4)"Dek ....""Ya, Bang."Tuhan ... beri hamba kekuatan menerima apa pun keputusannya. Kepada siapa lagi aku berharap? Bukankah makhluk adalah tempat bersandar yang lemah?Pria yang kini hanya mengenakan sarung dan kaus oblong putih tipis itu menolehkan kepala. Dari samping hidung bangirnya mendominasi pandanganku. Pipi putih bersih ditumbuhi jenggot halus. Betapa paripurna ciptaan Allah itu? Fisik rupawan dengan akhlak menawan.Bukankah wajar jika aku mati-matian berusaha menutupi kejadian sebelumnya?Tak lama meluncur pernyataan dari bibirnya. "Maafkan, abang, ya."Maaf? Apa? Apa aku tak salah dengar? Kenapa maaf kata yang keluar dari mulutnya? Harusnya ia murka saat mendapati istrinya sudah tidak lagi masih gadis.Atau minta maaf karena tidak bisa menerima keadaanku?Tidak. Pasti ada yang tak beres."Untuk apa, Bang?" tanyaku bingung. Sebisa mungkin kulembutkan suara di hadapannya. Aku pun ingin dia benar-benar jatuh cinta padaku, seperti halnya aku yang tak mau kehilangan
Waktu telah berganti. Namun, bayangan menjijikkan Fay dan anaknya yang bisa saja sudah tumbuh dalam rahim tidak juga hilang. Aku harus berpura-pura tak terjadi apa pun di depan Gus Bed dengan bahagia. Layaknya pengantin baru. Semoga saja kehamilan benar tidak datang di tahun pertama, agar Fay tak mengira ini anaknya dan terus menerorku. Tuhan, kebohongan ini sungguh menyiksa. Sampai kapan aku terus dihantui rasa takut seperti sekarang? "Tidak, Li! Kamu tidak boleh lemah."Setelah frustasi dengan pesan yang Fay kirim, aku memutuskan untuk menggunakan kontrasepsi. Dengan atau tanpa izin Gus. Kuharap memang belum ada pembuahan dalam rahim. Tak membuang waktu kutekan kontak temanku 'Shinta' yang kini berprofesi sebagai seorang bidan. [Shin, lo bisa ke pesantren malam ini. Gue butuh bantuan lo buat pasang KB.]Tak berapa lama Shinta membalas. [Boleh, Li. Jam berapa?]Cepat aku membalas. [Habis magrib aja, ya, Shin. Tolong jangan bilang siapa-siapa tujuan kamu nemuin aku. Ta
Berbagai macam kejadian mulai bermunculan di benak. 'Mas Indra yang tidak bisa mengendalikan diri dan memukuli Fay. Lalu keduanya adu mulut dan rahasiaku terbongkar di depan semua orang.''Fay tidak terima atas pernikahanku, lalu dia cari gara-gara dengan menceritakan semuanya pada semua orang, lalu Gus Bed tak terima dan bertengkar dengan Fay.''Atau yang paling ringan .... Fay mabuk dan menyerang Gus atau siapa pun sambil berteriak bahwa dia telah meniduriku.'Ah, Fay kamu benar-benar membuatku snewen setiap harinya!Raudah dan beberapa santri yang memegang urusan konsumsi sampai ikut ke luar dari tenda dan berdiri bersama tamu lain di kain pembatas antara laki-laki dan perempuan. Aku sangat penasaran dan takut sekaligus. Kalau saja tanpa dandanan ini, aku sudah berlari ke arah mereka dan membantah semua ucapan Fay. Namun, apa daya? Aku seorang pengantin yang didandani sedemikian rupa cantiknya, hingga akan jadi fitnah jika keluar dan dipandang semua lelaki yang bukan mahram.Saba